Berkhidmat Kepada Umat Berbakti Kepada Negeri, Memacu Kinerja, Mengawal Kemenangan Indonesia

Selasa, 02 Agustus 2016

Sunni Indonesia



Konstruksi Sunnisme Kalangan Tradisionalis Islam di Indonesia
(analisis kritis atas formulasi ASWAJA – NU) *
Oleh :
H.Abdullah Syamsul A, S.Ag. M.H.I. **

Taqdim


Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah , yang dalam khazanah  barat disebut Sunnisme, adalah sebuah ideologi (faham keagamaan) yang memiliki nuansa dinamis. Dinamikanya bisa dilihat dari keragaman masing-masing kelompok pendukungnya dalam mengaktualisasikan ideologi ini. Keragaman tersebut timbul dari perbedaan pendekatan atau cara pemahaman pendukungnya terhadap ideologi  Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.  Selain itu disebabkan perbedaan konteks historisitas di mana dan kapan ideologi ini diaktualisasikan.
Di Indonesia. Diskursus  Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah memiliki nuansa yang khas. Ideologi ini diakui oleh mayoritas umat Islam, walaupun wujud aktualisasinya berbeda-beda antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Di sinilah, Nahdlotul ‘Ulama’ (NU) merupakan salah satu fariannya. Organisasi Islam dengan jumlah massa terbesar ini mempertegas jati dirinya sebagai “pembela” Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah   - - yang dilingkungan NU lebih akrab disebut dengan akronim  “ASWAJA” - -.
Makalah ini akan memfokuskan kajiannya pada karekter paham keagamaan NU untuk kemudian mencoba menakarnya dengan konsep Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.




Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah : Dalam Lintasan Historis, Politik dan Pemikiran.

Sejarah telah menuturkan, Walaupun ajaran dasar tentang sunnah dan Jama’ah ada dalam al-Qur’an dan Hadits, namun perkataan al-Sunnah dan al-Jama’ah sebagai idiom sosial-keagamaan Islam muncul setelah beberapa peristiwa politik dalam sejarah dini Islam. Kaum sunni atau Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah,  sebagai golongan adalah “produk” sejarah, politik dan pemikiran Islam.
Apabila kita mau menelusuri dan menganalisa dengan cermat, maka kita akan memahami bahwa ide paham sunni tidak dapat dilepaskan dari bibit-bibit perpecahan dikalangan umat Islam yang sudah tumbuh mulai dari masa Nabi SAW, dan beliau sendiri sangat memprihatinkan hal itu dan mengemukakan antisipasi-antisipasi. Fenomena yang mengindikasikan bagi potensi perselisihan dan perpecahan itu adalah suatu ironi yang terjadi pada diri Rasul Allah SAW sendiri : yaitu ketika beliau wafat, jenazah beliau tidak segera dikebumikan, dan baru bisa terealisasi tiga hari kemudian. Hal ini sama sekali tidak sesuai dengan petunjuk-petunjuk beliau.  Kalau kita cermati apa yang terjadi selama tiga hari tersebut?, tidak lain ialah pertikaian politik tentang siapa yang akan menggantikan beliau dalam kapasitas selaku kepala negara. Dengan diangkatnya Abu Bakr yang disponsori ‘Umar, persoalan itu memang dapat terselesaikan(sementara), namun bibit-bibit pertikaian itu tidak semuanya dapat dimusnahkan.
Meletusnya peperangan  antara ‘Ali dengan basis kufah di Irak dan Mu’awiyah dengan basis Damasakus di Syiria yang sempat memakan korban ribuan jiwa para sahabat Nabi, kiranya dapat dijadikan sebagai bukti sejarah bahwa bibit-bibit perpecahan itu memang belum pupus sama sekali. Pertikaian yang memicu terjadinya perang yang kita kenal dengan sebutan perang siffin itu sejenak memang dapat dihentikan. Tapi ia masih menuntut korban lagi yaitu jiwa ‘Ali sendiri, Khalifah bijak yang ke tiga. Tidak lama setelah itu, berdasarkan penuturan cerita yang cukup variatif, Hasan, putra ‘Ali yang telah dinobatkan untuk menggantikannya, turun dari kedudukannya, pada tahun 41 H. dan menyerahkan urusan pemerintahan kepada Mu’awiyah. Peristiwa tersebut nampaknya sangat melegakan umat Islam, dan tahun itupun disebut ‘a>m al-Jama>’i,   tahun persatuan menyeluruh. Karena sudah sekian lamanya umat bertikai, maka persatuan kembali itu membangkitkan kenangan manis masa-masa ‘Abu Bakr dan ‘Umar.  Dengan modal itu program-program politik dapat dimulai lagi, khususnya ekspansi yang sempat tertunda bertahun-tahun. Akan tetapi, karena bibit-bibit pertikaian tadi memang belum dapat diberangus secara keseluruhan, maka tidak lama kemudian peristiwa karbala yang amat memilikun terjadi, ketika Husein putera ‘Ali, terbunuh dengan sangat sadis oleh tentara Yazid bin Mu’awiyah, yang saat itu telah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai penguasa. Peristiwa itulah yang membangkitkan sentimen simpati dan dukungan yang luar biasa kepada keluarga ‘Ali, yang kemudian sentimen itu mengkristal menjadi gerakan yang sangat teguh dan bersemangat. Mereka itulah yang disebut kaum syiah, dengan jargon utamanya penegakan keadilan dan pembelaan kepada kaum yang lemah.
 Konfrontasi-konfrontasi terus terjadi, di Hijaz misalnya, telah meletus pertikaan besar antara ‘Abd Allah bin Zubair (keluarga dekat ‘Aisyah, istreri tercinta Nabi) yang memberontak terhadap rezim Damaskus. Pertikaian tersebut baru dapat dihentikan setelah Abd Allah bin Zubair terbunuh. ‘Abd al-Malik bin Marwan, penguasa Damaskus pada saat itu, berupaya keras agar pembrontakan-pembrontakan bisa dihentikan, dan dunia Islam dapat dipersatukan kembali. Dengan berbagai cara ia berusaha untuk dapat menggunakan etos jama’ah dan mengukuhkannya dengan sebaik-baiknya. Upaya itu nampaknya cukup berhasil, serta mampu melahirkan proses arabisasi (Islamisasi) yang ujung-ujungnya menghasilkan terbentuknya Dunia Arab yang terbentang dari Bahrain di Timur sampai Maroko di Barat.
Namun demikian, kenyataan yang selalu didambakan ini, tidak berlangsung lama. Sebab menjelang akhir abad pertama Hijriah, Dinasati klan  yang pernah menjadi musuh bebuyutan Klan Nabi (Bani Hasyim), mulai menampakkan tanda-tanda keruntuhannya. Saat itulah tampil Tokoh yang besar peranannya dalam pertumbuhan dan perkembangan golongan sunni, yaitu Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz, yang kerap sekali dijuluki al-Khalifah al-Khamis ( khalifah yang kelima dari empat Khulafa’ al-Rasyidin sebelumnya). Ia mengulangi usaha membangkitkan etos Jama’ah, namun kali ini dengan format keagamaan yang saleh dan lebih bersungguh-sungguh. Ia canangkan persatuan universal umat Islam yang meliputi seluruh golongan, tanpa peduli tentang aliran sosial politik keagamaan masing-masing. Secara simbolik ia wujudkan gagasannya itu dengan mengakui keabsahan empat khalifah pertama, termasuk ‘Ali yang sejak semula tidak diakui oleh rezim Damaskus. Dengan sendirinya programnya itu juga meliputi golongan-golongan syiah dan khawarij, dua kekuatan “subversif” yang sangat berbahaya bagi rezim Damaskus. Mereka menyambut gagaasan inklusif ini, sekaligus memanfaatkannya. Tapi nampaknya ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz cukup tulus dengan agendanya itu, dan iapun segara mendapatkan dukungan yang antusias dari masyarakat Madinah, yang selama ini bersikukuh memilih netral dalam menatap persoalan politik yang terjadi.
Dengan adanya dukungan yang riil dari komunitas madinah, maka khalifah ini mulai mengarahkan pandangannya ke kota Nabi tersebut, dan ia meminta kepada salah seorang sarjana terkemuka saat itu, yang bernama Syihab al-Din al-Zuhri untuk meneliti dan mencatat “Sunnah” penduduk kota Nabi itu. Dengan gembira ia menyambut perintah itu, dan memulai untuk mengorek dari komunitas Madinah segala sesutu yang terkait dengan Nabi yang telah mereka hafal turun temurun, baik perkataan, perbuatan maupun sikap Nabi itu. Dan Dari sinilah mulai terjadi gerakan penghimpunan dan pencatatan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, yang kemudian tumbuh menjadi sumber ajaran islam yang ke dua. Tetapi Usaha Kodifikasi Hadits sebagai agreget konsolidasi sunni berlangsung cukup lama dengan rentangan waktu satu abad lebih. Proses itu harus terlebih dahulu menyaksikan tampilnya seorang ahli dan pencipta teori kritik hadits yaitu Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150-204 H). Syafi’i sangat prihatin dengan mudahnya orang menuturkan hadits, sehingga terjadi kekacauan antara yang absah dan yang palsu. Metode syafi’i diikuti dan mempengaruhi para tokoh pemikir Islam saat itu. Namun demikian, teori kritik yang dibangun syafi’i baru terlaksana dengan baik sekitar setengah abad kemudian, dengan tampilnya al-Bukhari. Dan sang perintis ini kemudian diikuti oleh Muslim, al-Tarmidzi, al-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibn Majah. Mereka menghasilkan apa yang kita kenal sekarang dengan “al-Kutub al-Sittah” referensi bidang Hadith yang dianggap paling baku dikalangan sunni.
Setelah masa itu, proses kodifikasi bisa dianggap final dengan telah lahirnya enam kitab (disamping kodifikasi-kodifikasi lain) yang diklaim sebagai rujukan  baku kaum sunni dalam bidang hadits.  Akan tetapi, perang pemikiran yang disertai dengan truth claim terus mewarnai sejarah perjalanan pemikiran Islam, dan kali ini berada pada wilayah bagaimana masing-masing kelompok sosial politik keagamaan itu memahami kedua sumber ajaran Islam tersebut. Pertikaian antara mana yang benar dan salah dalam pemahaman agama Islam merembet ke bidang-bidang lain, utamanya dalam bidang aqa’id . Perbedaan-perbedaan dalam hal ini semakin menumbuh suburkan terciptanya kelompok-kelompok sosial politik keagamaan yang memiliki pola pemahaman keagamaan yang berbeda dan saling mengklaim bahwa dirinyalah yang paling benar. Kelompok-kelompok inilah yang dalam khazanah Islam dikenal dengan istilah firqah.
Kelompok-kelompok yang menyatakan sebagai pembela sunnah pun turut ambil bagian dalam hal ini. Dan nampaknya agak ironis, bahwa  konsolidasi faham sunni di bidang ini diselesaikan oleh seorang bekas “kader” Mu’tazilah, saingan kaum sunni, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari. Ia sedemikian suksesnya dalam garapannya itu, sehingga saat ini hampir seluruh dunia Islam sunni mengikuti teori dan metodologinya. Rumusan Teologi yang dicetuskan oleh al-Asya’ari (yang sekarang kita kenal dengan istilah ASWAJA) diperkuat oleh al-Maturidi dan dikembangkan oleh al-Baghdadi, al-Baqillani dan al-Juwaini, sehingga mengantarkan konsep teologi ini kepada suatu tahap baru, yaitu sebagai suatu madzhab yang boleh dikatakan “sempurna” untuk menjawab seluruh tantangan teologis yang berkembang pada abad ke-4 s/d ke-5 H. Teologi ini bergerak semakin leluasa pada masa al-Ghazali (antara tahun 450 s/d550 H) sebagai akibat dukungan tidak langsung dari seorang menteri bernama Nidzam al-Muluk. al-Ghazali sendiri juga pro aktif dalam mengembangkan teologi Asya’ari terutama dalam bukunya yang berjudul al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Sejak masa al-Ghazali inilah teologi Asy’ari berkembang dengan pesat karena wataknya yang moderat (al-I’tidal). Berdasarkan realitas ini, banyak kalangan yang menilai bahwa ditangan al-Ghazali inilah paham sunni memperoleh konsolidasinya yang terakhir dan “final”. Kemampuan intelektual al-Ghazali yang luar biasa dan cakupan ilmunya yang meliputi praktis seluruh kajian keislaman, menjadikannya mampu mempengaruhi dunia Islam. Dan ia pun disebut “Hujjat al-Islam” (bukti kebenaran Islam).

 

Hakikat ASWAJA


Bertolak dari beberapa uraian di atas, nampaknya hal yang perlu ditegaskan di sini adalah suatu fakta yang menunjukkan bahwa ASWAJA merupakan gerakan pemikiran dan purifikasi tentang ajaran Islam. Dalam konteks ini orang barat menyebutnya dengan istilah Ortodoks Sunni School:; suatu lembaga yang berusaha memurnikan kembali ajaran Islam, di mana pada waktu itu telah terjadi penyimpangan. Pemurnian itu dialamatkan kepada kelompok MU’TAZILAH, satu sekte dalam teologi Islam yang dianggap banyak  melakukan penyimpangan, terlebih karena terlalu bebas menggunakan akal pikiran. Sehingga kelompok ini menurut ASWAJA digolongkan dalam  ahl al-Bid’ah. Oleh karena itu, ASWAJA merupakan kelompok yang berusaha memulihkan interpretasi terhadap ajaran Islam agar sesuai dengan “ma> ana> ‘alaih wa ashha>bi>”, yang lebih populer dengan hadits ASWAJA. Adapun secara trminologis istilah ASWAJA awalnya adalah sekedar nama dan bukan sebuah institusi formal. Artinya ASWAJA sejak zaman sahabat sudah ada, tetapi baru bisa menjadi lembaga formal ketika masa al-Asy’ari, dalam kerangka menghadapi kelompok yang disebut ahl al-Bid’ah. Sehingga para pemikir Islam saat itu merasa perlu merumuskan acuan yang dianggap ASWAJA, baik dibidang fiqh, teologi, tasawuf maupun bidang akhlaq. Dengan demikian, kelompok-kelompok sebelum al-Asy’ari yang mempunyai karakteristik gerakan yang sama; yaitu menampilkan Islam sesuai dengan “ma> ana> ‘alaih wa ashha>bi>, seperti gerakan Ahmad bin Hanbal dan Hanabilah yang dikenal dengan sebutan Ahl al-Hadits juga dikatagorikan ASWAJA. Bahkan dalam berbagai kesempatan Asy’ari sendiri sangat memuji kelompok ini, seperti yang dinyatakannya secara eksplisit dalam bukunya yang bernama “ al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah”.


Posisi Doktrin ASWAJA dalam Jam’iyah NU


Sikap NU yang menempatkan ASWAJA seabagai Doktrin teologis serta acuan dalam peribadatan, muamalah dan tasawuf, menunjukkan suatu kesadaran historis dikalangan Nahdliyyin untuk menilai sekaligus memilih rumusan yang dianggap paling “benar” dan paling “mashlahah”  dalam wacana perkembangan pemikiran islam. Tetapi, jika kita perhatikan dari sudut kronologi sejarah dan urutan-urutan waktu, tokoh-tokoh yang dijadikan “panutan” dalam rumusan ASWAJA itu, antara yang satu dengan yang lain nampak tidak “nyambung”. Sebab, misalnya, antara perintis madzhab empat yang terdiri dari Imam Malik (80-150 H), Imam Hanafi (93-179 H), Imam Syafi’i (150-205 H) dan Imam Ahmad Ibn Hambal (164-241 H) dengan dua perumus teologi ASWAJA, yakni  al-Asy’ari (260-235) dan al-Maturidi (-333 H), terdapat senjang waktu yang cukup lama. Dalam arti, tidak mungkin perintis empat madzhab fiqih itu, secara teologis, mengikuti rumusan al-Asy’ari dan al-Maturidi. Yang terjadi malah sebaliknya. Dua perumus teologi Sunni itu, dalam bidang fiqih, mengikuti Madzhab Syafi’i dan Hanafi. Padahal teologi atau “aqidah” menjadi ukuran utama dalam ASWAJA. Contoh lain, adalah tokoh yang dianggap sebagai perumus tasawuf ASWAJA, Junaid al-Baghdadi (-297 H). Karena ia lahir dan merumuskan pemikiran tasawufnya sebelum al-Asy’ari dan al-Maturidi, maka mustahil, secara teologis, ia mengikuti rumusan teologi al-Asy’ari dan al-Maturidi. Oleh karena itu, rumusan NU tersebut semestinya mengandung beberapa implikasi untuk mengembangkan dan menetapkan pemahaman ASWAJA diatas. Pertama, Penelitian lebih mendalam terhadap karya-karya teologis al-Asy’ari dan al-Maturidi, karya-karya fiqih imam madzhab empat dan karya-karya tasawuf al-Ghazali dan junaid al-Baghdadi. Kedua, Studi historis terhadap aliran-aliran yang pernah menjadi pendukung ASWAJA dan penentangnya. Ketiga, Studi perbandingan dan keterpaduan terhadap seluruh produk pemikiran para tokoh yang disebut dalam rumusan ASWAJA. Keempat, Merekonstruksi kembali rumusan ASWAJA diatas, jika ternyata, berdasarkan penelitian, produk pemikiran para tokoh yang disebut dalam rumusan ASWAJA itu saling bertentangan dan kontradiktif, apalagi sulit diterima secara rasional.
Implikasi semacam ini, sepanjang sejarah NU, belum pernah dilakukan; bahkan mayoritas kalangan tokoh Nahdliyyin tidak berusaha secara serius untuk mengkaji sumber pertama, berupa kitab-kitab yang ditulis oleh para tokoh peletak dasar doktrin ASWAJA itu. Yang berkembang dikalangan Nahdliyyin adalah malah sumber Kedua, Ketiga, bahkan sumber keempat dan kelima yang umum dijadikan landasan teologis normatif bagi sikap dan pola pikir mereka.
Sebagai contoh, dalam bidang teologis kita lebih akrab dengan karya al-Juwani, al-Baqillani, al-Nasafi, al-Sanusi dan Sayyid Ahmad Al-Marzuqi dibandingkan dengan karya-karya al-Asy’ari dan al-Maturidi sendiri. Dalam bidang Fiqh, kita lebih akrab dengan karya-karya al-Nawawi, al-Rafi’i dibandingkan dengan al-Syafi’i, Malik, Ahmad Ibn Hanbal dan yang lain-lain. Dalam bidang tasawuf, kita memang akrab dengan al-Ghazali, tetapi itu hanya terbatas pada Ihya’ Ulum al-Din dan Bidayah al-Hidayah,  disamping mitos dan managip. Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. Sedang karya-karya Junaid al-Baghdadi mungkin masih asing dalam wacana pemikiran kalangan elit Nahdliyyin. Oleh karena itu, jika ada studi yang menghasilkan kesimpulan yang kontradiktif dan antagonistik antara para tokoh yang disebut dalam rumusan  “ASWAJA” versi NU itu, kita tidak perlu kaget. Karena memang kita belum pernah melakukan studi serius. Contoh-contoh berikut ini mungkin bisa memperjelas soal diatas itu.
Pertama,  Imam Malik, Hanafi dan Syafi’i, dalam lapangan politik, lebih cendrung kepada Syi’ah, karena kecintaan mereka terhadap ahl al-Bait yang dalam sejarah memang  terus menerus mengalami penindasan. Tetapi kecintan mereka itu tentu tidak membuat mereka meyakini teologi Syi’ah yang tidak mengakui keabsahan al-Khulafa’ al-Rasyadin selain ‘Ali. Sebab teologi Syi’ah sebagai madzhab baru dirumuskan pada abad ke –3 H/ ke –9 M, dengan menjadikan hadith Ghadir khum sebagai dasar klaim teologi politik Syi’ah – hal yang harus diperdebatkan.
Kedua, Ahmad Ibn Hanbal, menurut Ibn Jarir al-Thabari dalam kitab al-Khilaf, sebetulnya bukan seorang  Faqih, tetapi hanyalah seorang Muhaddist. Sebab kemampuan dalam ber-istinbat dari al-Qur’an dan al-Hadist hampir tak ditemukan. Ia menjadi tokoh madzhab, karena “dibesarkan” oleh para pengikutnya, terutama Ibn Taimiyah dan Muhammad ibn Abdul Wahhab.
Ketiga, Teori tasawuf al-Ghazali yang dikenal selama ini oleh kalangan sunni hanyalah sebatas pemikiran yang ia kemukakan dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din.  Dalam kitab ini pemikiran tasawuf al-ghazali memang terlihat warna sunninya. Akan tetapi, dalam kitab-kitabnya yang lain, teori tasawufnya lebih mendekati al-Hallaj, terutama dalam  konsep  Wihdah al-Wujud. Bahkan al-Ghazali secara inplisit mengemukakan kekagumannya terhadap teori Fana’ dan  hululnya  al-Hallaj dalam Ihya’ Ulum al-Din, ketika membahas tingkatan iman. Jika penemuan diatas dapat dibenarkan, maka teori tasawuf al-Ghazali masih harus diperdebatkan keabsahannya dikalangan ASWAJA.
Keempat, Teori tasawuf al-Junaid boleh dikatakan sangat asing dari pendengaran kita. Yang menjadi pertanyaan, sumber apa yang digunakan oleh para perumus “ASWAJA” versi NU sehingga mengadopsi teori tasawuf al-Junaid itu sebagai acuannya? Di linkungan pesantren sendiri, kepustakaan tentang atau oleh al-Junaid sendiri hampir tidak dikenal, kecuali beberapa kutipan pendapatnya dikitab-kitab yang ditulis orang lain. Padahal, dalam sebuah artikel pendek yang ia tulis dan dikumpulkan dalam  Rasa’il al Junaid, al-Junaid  malah nampak cendrung memihak kepada pendukung peniadaan sifat tuhan (Nafi al-Shifat) yang lebih mirip dengan pikiran Mu’tazilah dan bertentangan dengan teologi al-Asy’ari.
Dari keempat contoh diatas, jelaslah bahwa rumusan ASWAJA yang selama ini kita terima perlu pengembangan dan evaluasi, melalu studi yang serius. Hal ini sangat penting karena ASWAJA bagi NU adalah landasan  gerak, berfikir dan bersikap.
Sebetulnya, rumusan ASWAJA  ‘a la NU diatas dapat dikatakan “cukup baik dan tepat”, jika disertai penelitin dan pendalaman hal-hal sebagai berikut :
1.      Bahwa para tokoh yang disebut dalam rumusan ASWAJA itu adalah pemikir yang produk intelektualnya meliputi tiga bidang asasi hidup kaum muslimin, yakni teologi, fiqh dan tasawuf.
2.      Diantara para tokoh tersebut, dalam beberapa hal, terdapat kecocokan, disamping ada perbedaan, bahkan pertentangan yang antagonistik, seperti telah diungkapkan diatas.
3.      Kajian historis terhadap aspek-aspek kehidupan sosial politik yang terjadi sejak Rasulullah wafat sampai pada masa hidup para tokoh yang disebut dalam rumusan ASWAJA iti sangat penting. Kajian itu juga mesti disertai analisis tentang relevesinya dengan kehidupan sekarang dan masa yang akan datang.
4.      Kajian historis terhadap aliran-aliran (yang masih dalam lingkup Islam) yang dalam banyak hal bertentangan dengan doktri ASWAJA.
Dari produk kajian tersebut, kita akan dapat menampilkan sosok ASWAJA yang lebih jelas, simpatik, meyakinkan, transparan, dan tidak ekslusif.
                                                                                              
085731873836

Identitas Aswaja NU


Dari beberapa uraian di atas, nampak dengan jelas bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi NU, ialah pola keagamaan bermadzhab, yakni mengikuti petunjuk-petunjuk generasi muslim sebelumnya dalam memahami nash-nash agama (al-Qur’an dan al-Hadits). Epistimologi dan performen ASWAJA yang demikian ini, tentu saja sangat tipikal, tidak persis sama  dengan konsep Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah  yang bisa disentasakan dari perjalanan sejarah aliran-aliran keagamaan umat Islam.
Pada masa tertentu (sebelum abad ke 5 H), ASWAJA dinisbatkan kepada Ahl al-Hadits yang pernah dipresentasikan oleh Ahmad bin Hambal atau Hanabilah. Paham keagamaan yang dikembangkan adalah tekstualis, anti takwil dan berparadigma “mendahulukan yang ma’tsur/tekstual dari pada yang ma’qul/rasional). Sedangkan saat yang lain (paroh terakhir abad   ke-5 H), ASWAJA lebih dinisbatkan pada eksistensi pemikiran Asy’ari dan Asy’ariyah yang rasional.
Paradigma keagamaan ahl al-hadits selanjutnya dikenal dengan salafisme. Jika paham ahl al-hadits diidentifikasi sebagai  corak Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, dan jika ditarik kepada polarisasi paham keagamaan di Indonesia, maka Persis, al-Irsyad dan Muhammadiyah nampaknya sangat pantas menerima julukan ini. Karena organisasi-organisasi tersebut, walaupun secara sosiologis dapat dikatagorikan “modernis”, tetapi dalam paham keagamaanya dapat dikatakan “salafis”.
Seperti yang telah kita maklumi bersama, bahwa rumusan definisi ASWAJA yang populer dikalangan NU adalah “paham keagamaan yang dalam bidang fiqh mengikuti madzhab empat, mengikuti Asy’ari dan Maturidi dalam bidang Aqidah, serta mengikuti al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi dalam bidang Tasawwuf”. Sementara itu eksistensi ASWAJA di NU disebutkan dalam bermacam istilah: Madzhab, Paham, Aqidah, Dasar dan Haluan, yang masing-masing penyebutan memiliki makna tersendiri.
Diakui atau tidak, di dalam NU akhirnya terdapat beragam pemahaman terhadap ASWAJA, baik dari segi pengertian maupun eksistensinya. Ada yang memandangnya dengan sifat yang inklusif dan interpratable, dan ada pula  yang memeganginya secara eksklusif dan rigid. Berbagai pemahaman tersebut sesungguhnya berintikan “pola keagamaan bermadzhab”. Adapun pencantuman berbagai madzhab dalam rumusan ASWAJA NU dapat dipahami sebagai Ta’rif bi al-Mitsal (definisi dengan penyebutan contoh). Sebab boleh jadi bahwa konsep ASWAJA sebagaimana terdapat di NU itu, merupakan penyederhanaan terhadap kerumitan konsep  Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah itu sendiri, yang sepanjang sejarahnya mengakomudasi berbagai perbedaan.
Kesimpulan seperti tersebut di atas, diperkuat oleh dasar pemahaman ASWAJA yang diletakkan oleh pendiri NU. dalam Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyat Nahdlat al- Ulama’ (Pembukaan Anggaran Dasar NU) yang ditulis langsung oleh KH.Hasyim Asy’ari, terkesan jelas bahwa salah satu mutivasi didirakannya NU adalah mempertahankan tradisi keagamaan yang berakar pada ajaran  Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.  Dalam teks itu dapat pula dipahami bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah  berintikan pola keagamaan bermadzhab kepada Madzahib al-Arba’ah, tidak termasuk di dalamnya kepengikutan tehadapa madzhab-madzhab dibidang teologi dan Tasawuf --sebagaimana terdapat dalam rumusan tokoh-tokoh NU lainnya.
Dari beberapa uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah  dalam NU merupakan tipikal aktualisasi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah di Indonesia yang berintikan pola keagamaan bermadzhab. Pola keagamaan seperti ini membedakan dirinya dengan kelompok Islam lainnya dari sayap Islam modernis. Kedua kelompok ini sepanjang sejarah pergumulan umat Islam indonesia selalu terlibat perbedaan, baik pada tataran wacana keagamaan, konsep-konsep sosial, maupun politik yang tentu saja diduga kuat merupakan aktualisasi dari paham keagamaannya masing-masing.





Konstruksi Sunnisme Kalangan Tradisionalis Islam di Indonesia
(analisis kritis terhadap formulasi ASWAJA – NU) *
Oleh :
H.Abdullah SA, S.Ag. M.H.I. **

Taqdim


Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah , yang dalam khazanah  barat disebut Sunnisme, adalah sebuah ideologi (faham keagamaan) yang memiliki nuansa dinamis. Dinamikanya bisa dilihat dari keragaman masing-masing kelompok pendukungnya dalam mengaktualisasikan ideologi ini. Keragaman tersebut timbul dari perbedaan pendekatan atau cara pemahaman pendukungnya terhadap ideologi  Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.  Selain itu disebabkan perbedaan konteks historisitas di mana dan kapan ideologi ini diaktualisasikan.
Di Indonesia. Diskursus  Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah memiliki nuansa yang khas. Ideologi ini diakui oleh mayoritas umat Islam, walaupun wujud aktualisasinya berbeda-beda antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya. Di sinilah, Nahdlotul ‘Ulama’ (NU) merupakan salah satu fariannya. Organisasi Islam dengan jumlah massa terbesar ini mempertegas jati dirinya sebagai “pembela” Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah   - - yang dilingkungan NU lebih akrab disebut dengan akronim  “ASWAJA” - -.
Makalah ini akan memfokuskan kajiannya pada karekter paham keagamaan NU untuk kemudian mencoba menakarnya dengan konsep Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.

Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah : Dalam Lintasan Historis, Politik dan Pemikiran.

Sejarah telah menuturkan, Walaupun ajaran dasar tentang sunnah dan Jama’ah ada dalam al-Qur’an dan Hadits, namun perkataan al-Sunnah dan al-Jama’ah sebagai idiom sosial-keagamaan Islam muncul setelah beberapa peristiwa politik dalam sejarah dini Islam. Kaum sunni atau Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah,  sebagai golongan adalah “produk” sejarah, politik dan pemikiran Islam.
Apabila kita mau menelusuri dan menganalisa dengan cermat, maka kita akan memahami bahwa ide paham sunni tidak dapat dilepaskan dari bibit-bibit perpecahan dikalangan umat Islam yang sudah tumbuh mulai dari masa Nabi SAW, dan beliau sendiri sangat memprihatinkan hal itu dan mengemukakan antisipasi-antisipasi. Fenomena yang mengindikasikan bagi potensi perselisihan dan perpecahan itu adalah suatu ironi yang terjadi pada diri Rasul Allah SAW sendiri : yaitu ketika beliau wafat, jenazah beliau tidak segera dikebumikan, dan baru bisa terealisasi tiga hari kemudian. Hal ini sama sekali tidak sesuai dengan petunjuk-petunjuk beliau.  Kalau kita cermati apa yang terjadi selama tiga hari tersebut?, tidak lain ialah pertikaian politik tentang siapa yang akan menggantikan beliau dalam kapasitas selaku kepala negara. Dengan diangkatnya Abu Bakr yang disponsori ‘Umar, persoalan itu memang dapat terselesaikan(sementara), namun bibit-bibit pertikaian itu tidak semuanya dapat dimusnahkan.
Meletusnya peperangan  antara ‘Ali dengan basis kufah di Irak dan Mu’awiyah dengan basis Damasakus di Syiria yang sempat memakan korban ribuan jiwa para sahabat Nabi, kiranya dapat dijadikan sebagai bukti sejarah bahwa bibit-bibit perpecahan itu memang belum pupus sama sekali. Pertikaian yang memicu terjadinya perang yang kita kenal dengan sebutan perang siffin itu sejenak memang dapat dihentikan. Tapi ia masih menuntut korban lagi yaitu jiwa ‘Ali sendiri, Khalifah bijak yang ke tiga. Tidak lama setelah itu, berdasarkan penuturan cerita yang cukup variatif, Hasan, putra ‘Ali yang telah dinobatkan untuk menggantikannya, turun dari kedudukannya, pada tahun 41 H. dan menyerahkan urusan pemerintahan kepada Mu’awiyah. Peristiwa tersebut nampaknya sangat melegakan umat Islam, dan tahun itupun disebut ‘a>m al-Jama>’i,   tahun persatuan menyeluruh. Karena sudah sekian lamanya umat bertikai, maka persatuan kembali itu membangkitkan kenangan manis masa-masa ‘Abu Bakr dan ‘Umar.  Dengan modal itu program-program politik dapat dimulai lagi, khususnya ekspansi yang sempat tertunda bertahun-tahun. Akan tetapi, karena bibit-bibit pertikaian tadi memang belum dapat diberangus secara keseluruhan, maka tidak lama kemudian peristiwa karbala yang amat memilikun terjadi, ketika Husein putera ‘Ali, terbunuh dengan sangat sadis oleh tentara Yazid bin Mu’awiyah, yang saat itu telah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai penguasa. Peristiwa itulah yang membangkitkan sentimen simpati dan dukungan yang luar biasa kepada keluarga ‘Ali, yang kemudian sentimen itu mengkristal menjadi gerakan yang sangat teguh dan bersemangat. Mereka itulah yang disebut kaum syiah, dengan jargon utamanya penegakan keadilan dan pembelaan kepada kaum yang lemah.
 Konfrontasi-konfrontasi terus terjadi, di Hijaz misalnya, telah meletus pertikaan besar antara ‘Abd Allah bin Zubair (keluarga dekat ‘Aisyah, istreri tercinta Nabi) yang memberontak terhadap rezim Damaskus. Pertikaian tersebut baru dapat dihentikan setelah Abd Allah bin Zubair terbunuh. ‘Abd al-Malik bin Marwan, penguasa Damaskus pada saat itu, berupaya keras agar pembrontakan-pembrontakan bisa dihentikan, dan dunia Islam dapat dipersatukan kembali. Dengan berbagai cara ia berusaha untuk dapat menggunakan etos jama’ah dan mengukuhkannya dengan sebaik-baiknya. Upaya itu nampaknya cukup berhasil, serta mampu melahirkan proses arabisasi (Islamisasi) yang ujung-ujungnya menghasilkan terbentuknya Dunia Arab yang terbentang dari Bahrain di Timur sampai Maroko di Barat.
Namun demikian, kenyataan yang selalu didambakan ini, tidak berlangsung lama. Sebab menjelang akhir abad pertama Hijriah, Dinasati klan  yang pernah menjadi musuh bebuyutan Klan Nabi (Bani Hasyim), mulai menampakkan tanda-tanda keruntuhannya. Saat itulah tampil Tokoh yang besar peranannya dalam pertumbuhan dan perkembangan golongan sunni, yaitu Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz, yang kerap sekali dijuluki al-Khalifah al-Khamis ( khalifah yang kelima dari empat Khulafa’ al-Rasyidin sebelumnya). Ia mengulangi usaha membangkitkan etos Jama’ah, namun kali ini dengan format keagamaan yang saleh dan lebih bersungguh-sungguh. Ia canangkan persatuan universal umat Islam yang meliputi seluruh golongan, tanpa peduli tentang aliran sosial politik keagamaan masing-masing. Secara simbolik ia wujudkan gagasannya itu dengan mengakui keabsahan empat khalifah pertama, termasuk ‘Ali yang sejak semula tidak diakui oleh rezim Damaskus. Dengan sendirinya programnya itu juga meliputi golongan-golongan syiah dan khawarij, dua kekuatan “subversif” yang sangat berbahaya bagi rezim Damaskus. Mereka menyambut gagaasan inklusif ini, sekaligus memanfaatkannya. Tapi nampaknya ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz cukup tulus dengan agendanya itu, dan iapun segara mendapatkan dukungan yang antusias dari masyarakat Madinah, yang selama ini bersikukuh memilih netral dalam menatap persoalan politik yang terjadi.
Dengan adanya dukungan yang riil dari komunitas madinah, maka khalifah ini mulai mengarahkan pandangannya ke kota Nabi tersebut, dan ia meminta kepada salah seorang sarjana terkemuka saat itu, yang bernama Syihab al-Din al-Zuhri untuk meneliti dan mencatat “Sunnah” penduduk kota Nabi itu. Dengan gembira ia menyambut perintah itu, dan memulai untuk mengorek dari komunitas Madinah segala sesutu yang terkait dengan Nabi yang telah mereka hafal turun temurun, baik perkataan, perbuatan maupun sikap Nabi itu. Dan Dari sinilah mulai terjadi gerakan penghimpunan dan pencatatan segala sesuatu yang bersumber dari Nabi, yang kemudian tumbuh menjadi sumber ajaran islam yang ke dua. Tetapi Usaha Kodifikasi Hadits sebagai agreget konsolidasi sunni berlangsung cukup lama dengan rentangan waktu satu abad lebih. Proses itu harus terlebih dahulu menyaksikan tampilnya seorang ahli dan pencipta teori kritik hadits yaitu Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150-204 H). Syafi’i sangat prihatin dengan mudahnya orang menuturkan hadits, sehingga terjadi kekacauan antara yang absah dan yang palsu. Metode syafi’i diikuti dan mempengaruhi para tokoh pemikir Islam saat itu. Namun demikian, teori kritik yang dibangun syafi’i baru terlaksana dengan baik sekitar setengah abad kemudian, dengan tampilnya al-Bukhari. Dan sang perintis ini kemudian diikuti oleh Muslim, al-Tarmidzi, al-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibn Majah. Mereka menghasilkan apa yang kita kenal sekarang dengan “al-Kutub al-Sittah” referensi bidang Hadith yang dianggap paling baku dikalangan sunni.
Setelah masa itu, proses kodifikasi bisa dianggap final dengan telah lahirnya enam kitab (disamping kodifikasi-kodifikasi lain) yang diklaim sebagai rujukan  baku kaum sunni dalam bidang hadits.  Akan tetapi, perang pemikiran yang disertai dengan truth claim terus mewarnai sejarah perjalanan pemikiran Islam, dan kali ini berada pada wilayah bagaimana masing-masing kelompok sosial politik keagamaan itu memahami kedua sumber ajaran Islam tersebut. Pertikaian antara mana yang benar dan salah dalam pemahaman agama Islam merembet ke bidang-bidang lain, utamanya dalam bidang aqa’id . Perbedaan-perbedaan dalam hal ini semakin menumbuh suburkan terciptanya kelompok-kelompok sosial politik keagamaan yang memiliki pola pemahaman keagamaan yang berbeda dan saling mengklaim bahwa dirinyalah yang paling benar. Kelompok-kelompok inilah yang dalam khazanah Islam dikenal dengan istilah firqah.
Kelompok-kelompok yang menyatakan sebagai pembela sunnah pun turut ambil bagian dalam hal ini. Dan nampaknya agak ironis, bahwa  konsolidasi faham sunni di bidang ini diselesaikan oleh seorang bekas “kader” Mu’tazilah, saingan kaum sunni, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari. Ia sedemikian suksesnya dalam garapannya itu, sehingga saat ini hampir seluruh dunia Islam sunni mengikuti teori dan metodologinya. Rumusan Teologi yang dicetuskan oleh al-Asya’ari (yang sekarang kita kenal dengan istilah ASWAJA) diperkuat oleh al-Maturidi dan dikembangkan oleh al-Baghdadi, al-Baqillani dan al-Juwaini, sehingga mengantarkan konsep teologi ini kepada suatu tahap baru, yaitu sebagai suatu madzhab yang boleh dikatakan “sempurna” untuk menjawab seluruh tantangan teologis yang berkembang pada abad ke-4 s/d ke-5 H. Teologi ini bergerak semakin leluasa pada masa al-Ghazali (antara tahun 450 s/d550 H) sebagai akibat dukungan tidak langsung dari seorang menteri bernama Nidzam al-Muluk. al-Ghazali sendiri juga pro aktif dalam mengembangkan teologi Asya’ari terutama dalam bukunya yang berjudul al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Sejak masa al-Ghazali inilah teologi Asy’ari berkembang dengan pesat karena wataknya yang moderat (al-I’tidal). Berdasarkan realitas ini, banyak kalangan yang menilai bahwa ditangan al-Ghazali inilah paham sunni memperoleh konsolidasinya yang terakhir dan “final”. Kemampuan intelektual al-Ghazali yang luar biasa dan cakupan ilmunya yang meliputi praktis seluruh kajian keislaman, menjadikannya mampu mempengaruhi dunia Islam. Dan ia pun disebut “Hujjat al-Islam” (bukti kebenaran Islam).

Hakikat ASWAJA


Bertolak dari beberapa uraian di atas, nampaknya hal yang perlu ditegaskan di sini adalah suatu fakta yang menunjukkan bahwa ASWAJA merupakan gerakan pemikiran dan purifikasi tentang ajaran Islam. Dalam konteks ini orang barat menyebutnya dengan istilah Ortodoks Sunni School:; suatu lembaga yang berusaha memurnikan kembali ajaran Islam, di mana pada waktu itu telah terjadi penyimpangan. Pemurnian itu dialamatkan kepada kelompok MU’TAZILAH, satu sekte dalam teologi Islam yang dianggap banyak  melakukan penyimpangan, terlebih karena terlalu bebas menggunakan akal pikiran. Sehingga kelompok ini menurut ASWAJA digolongkan dalam  ahl al-Bid’ah. Oleh karena itu, ASWAJA merupakan kelompok yang berusaha memulihkan interpretasi terhadap ajaran Islam agar sesuai dengan “ma> ana> ‘alaih wa ashha>bi>”, yang lebih populer dengan hadits ASWAJA. Adapun secara trminologis istilah ASWAJA awalnya adalah sekedar nama dan bukan sebuah institusi formal. Artinya ASWAJA sejak zaman sahabat sudah ada, tetapi baru bisa menjadi lembaga formal ketika masa al-Asy’ari, dalam kerangka menghadapi kelompok yang disebut ahl al-Bid’ah. Sehingga para pemikir Islam saat itu merasa perlu merumuskan acuan yang dianggap ASWAJA, baik dibidang fiqh, teologi, tasawuf maupun bidang akhlaq. Dengan demikian, kelompok-kelompok sebelum al-Asy’ari yang mempunyai karakteristik gerakan yang sama; yaitu menampilkan Islam sesuai dengan “ma> ana> ‘alaih wa ashha>bi>, seperti gerakan Ahmad bin Hanbal dan Hanabilah yang dikenal dengan sebutan Ahl al-Hadits juga dikatagorikan ASWAJA. Bahkan dalam berbagai kesempatan Asy’ari sendiri sangat memuji kelompok ini, seperti yang dinyatakannya secara eksplisit dalam bukunya yang bernama “ al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah”.

Posisi Doktrin ASWAJA dalam Jam’iyah NU


Sikap NU yang menempatkan ASWAJA seabagai Doktrin teologis serta acuan dalam peribadatan, muamalah dan tasawuf, menunjukkan suatu kesadaran historis dikalangan Nahdliyyin untuk menilai sekaligus memilih rumusan yang dianggap paling “benar” dan paling “mashlahah”  dalam wacana perkembangan pemikiran islam. Tetapi, jika kita perhatikan dari sudut kronologi sejarah dan urutan-urutan waktu, tokoh-tokoh yang dijadikan “panutan” dalam rumusan ASWAJA itu, antara yang satu dengan yang lain nampak tidak “nyambung”. Sebab, misalnya, antara perintis madzhab empat yang terdiri dari Imam Malik (80-150 H), Imam Hanafi (93-179 H), Imam Syafi’i (150-205 H) dan Imam Ahmad Ibn Hambal (164-241 H) dengan dua perumus teologi ASWAJA, yakni  al-Asy’ari (260-235) dan al-Maturidi (-333 H), terdapat senjang waktu yang cukup lama. Dalam arti, tidak mungkin perintis empat madzhab fiqih itu, secara teologis, mengikuti rumusan al-Asy’ari dan al-Maturidi. Yang terjadi malah sebaliknya. Dua perumus teologi Sunni itu, dalam bidang fiqih, mengikuti Madzhab Syafi’i dan Hanafi. Padahal teologi atau “aqidah” menjadi ukuran utama dalam ASWAJA. Contoh lain, adalah tokoh yang dianggap sebagai perumus tasawuf ASWAJA, Junaid al-Baghdadi (-297 H). Karena ia lahir dan merumuskan pemikiran tasawufnya sebelum al-Asy’ari dan al-Maturidi, maka mustahil, secara teologis, ia mengikuti rumusan teologi al-Asy’ari dan al-Maturidi. Oleh karena itu, rumusan NU tersebut semestinya mengandung beberapa implikasi untuk mengembangkan dan menetapkan pemahaman ASWAJA diatas. Pertama, Penelitian lebih mendalam terhadap karya-karya teologis al-Asy’ari dan al-Maturidi, karya-karya fiqih imam madzhab empat dan karya-karya tasawuf al-Ghazali dan junaid al-Baghdadi. Kedua, Studi historis terhadap aliran-aliran yang pernah menjadi pendukung ASWAJA dan penentangnya. Ketiga, Studi perbandingan dan keterpaduan terhadap seluruh produk pemikiran para tokoh yang disebut dalam rumusan ASWAJA. Keempat, Merekonstruksi kembali rumusan ASWAJA diatas, jika ternyata, berdasarkan penelitian, produk pemikiran para tokoh yang disebut dalam rumusan ASWAJA itu saling bertentangan dan kontradiktif, apalagi sulit diterima secara rasional.
Implikasi semacam ini, sepanjang sejarah NU, belum pernah dilakukan; bahkan mayoritas kalangan tokoh Nahdliyyin tidak berusaha secara serius untuk mengkaji sumber pertama, berupa kitab-kitab yang ditulis oleh para tokoh peletak dasar doktrin ASWAJA itu. Yang berkembang dikalangan Nahdliyyin adalah malah sumber Kedua, Ketiga, bahkan sumber keempat dan kelima yang umum dijadikan landasan teologis normatif bagi sikap dan pola pikir mereka.
Sebagai contoh, dalam bidang teologis kita lebih akrab dengan karya al-Juwani, al-Baqillani, al-Nasafi, al-Sanusi dan Sayyid Ahmad Al-Marzuqi dibandingkan dengan karya-karya al-Asy’ari dan al-Maturidi sendiri. Dalam bidang Fiqh, kita lebih akrab dengan karya-karya al-Nawawi, al-Rafi’i dibandingkan dengan al-Syafi’i, Malik, Ahmad Ibn Hanbal dan yang lain-lain. Dalam bidang tasawuf, kita memang akrab dengan al-Ghazali, tetapi itu hanya terbatas pada Ihya’ Ulum al-Din dan Bidayah al-Hidayah,  disamping mitos dan managip. Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. Sedang karya-karya Junaid al-Baghdadi mungkin masih asing dalam wacana pemikiran kalangan elit Nahdliyyin. Oleh karena itu, jika ada studi yang menghasilkan kesimpulan yang kontradiktif dan antagonistik antara para tokoh yang disebut dalam rumusan  “ASWAJA” versi NU itu, kita tidak perlu kaget. Karena memang kita belum pernah melakukan studi serius. Contoh-contoh berikut ini mungkin bisa memperjelas soal diatas itu.
Pertama,  Imam Malik, Hanafi dan Syafi’i, dalam lapangan politik, lebih cendrung kepada Syi’ah, karena kecintaan mereka terhadap ahl al-Bait yang dalam sejarah memang  terus menerus mengalami penindasan. Tetapi kecintan mereka itu tentu tidak membuat mereka meyakini teologi Syi’ah yang tidak mengakui keabsahan al-Khulafa’ al-Rasyadin selain ‘Ali. Sebab teologi Syi’ah sebagai madzhab baru dirumuskan pada abad ke –3 H/ ke –9 M, dengan menjadikan hadith Ghadir khum sebagai dasar klaim teologi politik Syi’ah – hal yang harus diperdebatkan.
Kedua, Ahmad Ibn Hanbal, menurut Ibn Jarir al-Thabari dalam kitab al-Khilaf, sebetulnya bukan seorang  Faqih, tetapi hanyalah seorang Muhaddist. Sebab kemampuan dalam ber-istinbat dari al-Qur’an dan al-Hadist hampir tak ditemukan. Ia menjadi tokoh madzhab, karena “dibesarkan” oleh para pengikutnya, terutama Ibn Taimiyah dan Muhammad ibn Abdul Wahhab.
Ketiga, Teori tasawuf al-Ghazali yang dikenal selama ini oleh kalangan sunni hanyalah sebatas pemikiran yang ia kemukakan dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din.  Dalam kitab ini pemikiran tasawuf alghazali memang terlihat warna sunninya. Akan tetapi, dalam kitab-kitabnya yang lain, teori tasawufnya lebih mendekati al-Hallaj, terutama dalam  konsep  Wihdah al-Wujud. Bahkan al-Ghazali secara inplisit mengemukakan kekagumannya terhadap teori Fana’ dan  hululnya  al-Hallaj dalam Ihya’ Ulum al-Din, ketiga membahas tingkatan iman. Jika penemuan diatas dapat dibenarkan, maka teori tasawuf al-Ghazali masih harus diperdebatkan keabsahannya dikalangan ASWAJA.
Keempat, Teori tasawuf al-Junaid boleh dikatakan sangat asing dari pendengaran kita. Yang menjadi pertanyaan, sumber apa yang digunakan oleh para perumus “ASWAJA” versi NU sehingga mengadopsi teori tasawuf al-Junaid itu sebagai acuannya? Dilinkungan pesantren sendiri, kepustakaan tentang atau oleh al-Junaid sendiri hampir tidak dikenal, kecuali beberapa kutipan pendapatnya dikitab-kitab yang ditulis orang lain. Padahal, dalam sebuah artikel pendek yang ia tulis dan dikumpulkan dalam  Rasa’il al Junaid, al-Junaid  malah nampak cendrung memihak kepada pendukunga peniadaan sifat tuhan (Nafi al-Shifat) yang lebih mirip dengan pikiran Mu’tazilah dan bertentangan dengan teologi al-Asy’ari.
Dari keempat contoh diatas, jelaslah bahwa rumusan ASWAJA yang selama ini kita terima perlu pengembangan dan evaluasi, melalu studi yang serius. Hal ini sangat penting karena ASWAJA bagi NU adalah landasan  gerak, berfikir dan bersikap.
Sebetulnya, rumusan ASWAJA  ‘a la NU diatas dapat dikatakan “cukup baik dan tepat”, jika disertai penelitin dan pendalaman hal-hal sebagai berikut :
5.      Bahwa para tokoh yang disebut dalam rumusan ASWAJA itu adalah pemikir yang produk intelektualnya meliputi tiga bidang asasi hidup kaum muslimin, yakni teologi, fiqh dan tasawuf.
6.      Diantara para tokoh tersebut, dalam beberapa hal, terdapat kecocokan, disamping ada perbedaan, bahkan pertentangan yang antagonistik, seperti telah diungkapkan diatas.
7.      Kajian historis terhadap aspek-aspek kehidupan sosial politik yang terjadi sejak Rasulullah wafat sampai pada masa hidup para tokoh yang disebut dalam rumusan ASWAJA iti sangat penting. Kajian itu juga mesti disertai analisis tentang relevesinya dengan kehidupan sekarang dan masa yang akan datang.
8.      Kajian historis terhadap aliran-aliran (yang masih dalam lingkup Islam) yang dalam banyak hal bertentangan dengan doktri ASWAJA.
Dari produk kajian tersebut, kita akan dapat menampilkan sosok ASWAJA yang lebih jelas, simpatik, meyakinkan, transparan, dan tidak ekslusif.
                                                                                              

Identitas Aswaja NU


Dari beberapa uraian di atas, nampak dengan jelas bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi NU, ialah pola keagamaan bermadzhab, yakni mengikuti petunjuk-petunjuk generasi muslim sebelumnya dalam memahami nash-nash agama (al-Qur’an dan al-Hadits). Epistimologi dan performen ASWAJA yang demikian ini, tentu saja sangat tipikal, tidak persis sama  dengan konsep Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah  yang bisa disentasakan dari perjalanan sejarah aliran-aliran keagamaan umat Islam.
Pada masa tertentu (sebelum abad ke 5 H), ASWAJA dinisbatkan kepada Ahl al-Hadits yang pernah dipresentasikan oleh Ahmad bin Hambal atau Hanabilah. Paham keagamaan yang dikembangkan adalah tekstualis, anti takwil dan berparadigma “mendahulukan yang ma’tsur/tekstual dari pada yang ma’qul/rasional). Sedangkan saat yang lain (paroh terakhir abad   ke-5 H), ASWAJA lebih dinisbatkan pada eksistensi pemikiran Asy’ari dan Asy’ariyah yang rasional.
Paradigma keagamaan ahl al-hadits selanjutnya dikenal dengan salafisme. Jika paham ahl al-hadits diidentifikasi sebagai  corak Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, dan jika ditarik kepada polarisasi paham keagamaan di Indonesia, maka Persis, al-Irsyad dan Muhammadiyah nampaknya sangat pantas menerima julukan ini. Karena organisasi-organisasi tersebut, walaupun secara sosiologis dapat dikatagorikan “modernis”, tetapi dalam paham keagamaanya dapat dikatakan “salafis”.
Seperti yang telah kita maklumi bersama, bahwa rumusan definisi ASWAJA yang populer dikalangan NU adalah “paham keagamaan yang dalam bidang fiqh mengikuti madzhab empat, mengikuti Asy’ari dan Maturidi dalam bidang Aqidah, serta mengikuti al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi dalam bidang Tasawwuf”. Sementara itu eksistensi ASWAJA di NU disebutkan dalam bermacam istilah: Madzhab, Paham, Aqidah, Dasar dan Haluan, yang masing-masing penyebutan memiliki makna tersendiri.
Diakui atau tidak, di dalam NU akhirnya terdapat beragam pemahaman terhadap ASWAJA, baik dari segi pengertian maupun eksistensinya. Ada yang memandangnya dengan sifat yang inklusif dan interpratable, dan ada pula  yang memeganginya secara eksklusif dan rigid. Berbagai pemahaman tersebut sesungguhnya berintikan “pola keagamaan bermadzhab”. Adapun pencantuman berbagai madzhab dalam rumusan ASWAJA NU dapat dipahami sebagai Ta’rif bi al-Mitsal (definisi dengan penyebutan contoh). Sebab boleh jadi bahwa konsep ASWAJA sebagaimana terdapat di NU itu, merupakan penyederhanaan terhadap kerumitan konsep  Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah itu sendiri, yang sepanjang sejarahnya mengakomudasi berbagai perbedaan.
Kesimpulan seperti tersebut di atas, diperkuat oleh dasar pemahaman ASWAJA yang diletakkan oleh pendiri NU. dalam Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyat Nahdlat al- Ulama’ (Pembukaan Anggaran Dasar NU) yang ditulis langsung oleh KH.Hasyim Asy’ari, terkesan jelas bahwa salah satu mutivasi didirakannya NU adalah mempertahankan tradisi keagamaan yang berakar pada ajaran  Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.  Dalam teks itu dapat pula dipahami bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah  berintikan pola keagamaan bermadzhab kepada Madzahib al-Arba’ah, tidak termasuk di dalamnya kepengikutan tehadapa madzhab-madzhab dibidang teologi dan Tasawuf --sebagaimana terdapat dalam rumusan tokoh-tokoh NU lainnya.
Dari beberapa uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah  dalam NU merupakan tipikal aktualisasi Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah di Indonesia yang berintikan pola keagamaan bermadzhab. Pola keagamaan seperti ini membedakan dirinya dengan kelompok Islam lainnya dari sayap Islam modernis. Kedua kelompok ini sepanjang sejarah pergumulan umat Islam indonesia selalu terlibat perbedaan, baik pada tataran wacana keagamaan, konsep-konsep sosial, maupun politik yang tentu saja diduga kuat merupakan aktualisasi dari paham keagamaannya masing-masing.



* Makalah dipresentasikan dalam Dialog  Aswaja dalam rangka HARLAH NU yang diselenggarakan oleh Pengurus MWC Nahdlatul Ulama’ Umbulsari pada tanggal 14 September 2005.
** Pemakalah adalah Katib Syuriyah PCNU Jember,  Staf pengajar STAIN Jember, STAIFAS Kencong dan Pelayan Santri PP “Darul Arifin” Curahkalong Bangsalsari Jember.
* Makalah dipresentasikan dalam Pelatihan Pelatih IPNU-IPPNU Cabang Kencong pada tanggal 24 Agustus 2002.
** Pemakalah adalah Staf pengajar STAIN Jember, STAIFAS Kencong dan Pelayan Santri PP “Bustanul Ulum” Curahkalong Bangsalsari Jember.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar