Berkhidmat Kepada Umat Berbakti Kepada Negeri, Memacu Kinerja, Mengawal Kemenangan Indonesia

Selasa, 02 Agustus 2016

Sekilas Tentang HTI



SEKILAS TENTANG HIZBUT TAHRIR
Oleh: Abdullah Syamsul Arifin[1]

Pendiri Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir (HT) adalah partai politik Islam yang didirikan oleh Syaikh Taqiyyuddin Al-Nabhani pada tahun 1952. Syaikh Taqiyyuddin  Al-Nabhani, lahir di desa Ijzim, Haifa, Palestina, tahun 1909, dan wafat di Beirut 1979. Setelah menamatkan pendidikan dasar di daerah kelahirannya, ia melanjutkan studinya ke Al-Azhar dan Darul Ulum Mesir.

Visi Misi Hizbut Tahrir
Hizbut Tahrir mengemban misi kembalinya Khilafah Islamiyah ke tangan kaum Muslimin. Berlandaskan pada hadits :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ عَنْ أَبِى حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِىٌّ خَلَفَهُ نَبِىٌّ وَإِنَّهُ لاَ نَبِىَّ بَعْدِى وَسَتَكُونُ خُلَفَاءُ فَتَكْثُرُ ». قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ « فُوا بِبَيْعَةِ الأَوَّلِ فَالأَوَّلِ وَأَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ ».
Abu Hazim berkata: “Aku belajar kepada Abu Hurairah selama lima tahun. Aku pernah mendengarnya menyampaikan hadits dari Nabi SAW yang bersabda: “Kaum Bani Israil selalu dipimpin oleh para nabi. Setiap ada nabi meninggal, maka akan diganti oleh nabi berikutnya. Sesungguhnya tidak ada nabi sesudahku. Dan akan ada para khalifah yang banyak.” Mereka bertanya: “Apakah perintahmu kepada kami?” Beliau menjawab: “Penuhilah dengan membai’at yang pertama, lalu yang pertama. Penuhilah kewajiban kalian terhadap mereka, karena sesungguhnya Allah akan menanyakan mereka tentang apa yang menjadi tanggung jawab mereka”.
Menurut Hizbut Tahrir hadits Muslim (juz 6, hal. 17), ini menunjukkan bahwa khilafah memang harus diperjuangkan dan ditegakkan, sebagai implementasi dari hadits shahih tersebut. Asumsi tesebut karena belum dikorelasikan dengan fakta bahwa tidak ada satu ayat pun didalam Al-quran yang secara tegas memerintahkan  penegakkan khilafah. disamping juga tidak dibandingkan dengan hadits sahih yang lain yang justru membatasi masa khilafah. Jadi implementasi dari hadits diatas pada hakikatnya sudah terlaksana pada masa Khulafaur Rasyidin. (Bahasan ini akan di perjelas pada akhir makalah ini).

Metode Dakwah Hizbut Tahrir
Dalam metode perjuangan, Hizbut Tahrir memiliki metode yang berbeda dengan perjuangan para ulama di tanah air, maupun di negara-negara lain di Timur Tengah. HT memfokuskan perjuangannya melalui jalur politik dengan visi dan misi menegakkan khilafah sesuatu syari'at Islam secara kaaffah melalui mesin kekuasaan dan pemerintahan. Sementara para ulama sejak masa-masa silam, (utamanya di Indonesia), memfokuskan perjuangannya melalui jalur dakwah dan pendidikan kemasyarakatan. Hal ini sering disalahpahami oleh HT dan simpatisannya mereka menganggap gerakan para ulama selama ini tidak berorientasi pada berlakunya syari'at Islam di tanah air dalam mengatur kehidupan berbangsa dan bernegara.
Sebenarnya para ulama di tanah air sejak dahulu memfokuskan perjuangan mereka melalui jalur dakwah dan pendidikan, dengan mengelola pesantren, madrasah, musolla dan pengajian-pengajian rutin kepada masyarakat sekitar mereka. Para ulama berangkat dari pemahaman yang benar terhadap dalil-dalil agama.
Dalam setiap kesempatan, para ulama dan kiai selalu mengajarkan kepada para santri dan masyarakat tentang bagaimana menjalankan ajaran agama yang benar dan sempurna, seperti menunaikan shalat, puasa, zakat, haji dan kewajiban-kewajiban agama lainnya. Hal ini berangkat dari suatu keyakinan, bahwa dalam pengamalan syari'at sehari-hari, baik dalam ranah individu maupun sosial, umat Islam harus dibekali dengan ilmu pengetahuan agama yang memadai, Di Harapkan mereka dapat mengamalkan kewajiban-kewajiban agama seiring dengan tuntunan dan ajaran Al-Qur'an dan sunnah.
Apabila umat berhasil dididik dengan baik, sedang mereka dapat menerapkan kewajiban-kewajiban individu mereka kepada Allah secara baik dan sempurna, tanpa disadari dengan sendirinya akan terbangun kesalehan individual yang akan membawa pada kesalehan sosial.

Ideologi HT
A.      Mengingkari Qadha’ dan Qadar
Dalam bukunya, Al-Syakhshiyyat Al-Islamiyyah, Al-Nabhani berkata:
وَهَذِهِ اْلأَفْعَالُ ـ أَيْ أَفْعَالُ اْلإِنْسَانِ ـ لاَ دَخْلَ لَهَا بِالْقَضَاءِ وَلاَ دَخْلَ لِلْقَضَاءِ بِهَا، ِلأَنَّ اْلإِنْسَانَ هُوَ الَّذِيْ قَامَ بِهَا بِإِرَادَتِهِ وَاخْتِيَارِهِ، وَعَلَى ذَلِكَ فَإِنَّ اْلأَفْعَالَ اْلاِخْتِيَارِيَّةَ لاَ تَدْخُلُ تَحْتَ الْقَضَاءِ.
Semua perbuatan ikhtiyari manusia ini, tidak ada kaitannya dengan ketentuan/qadha' dan qadha' juga tidak ada kaitan dengannya, karena manusialah yang melakukannya dengan kemauan dan ikhtiyarnya, oleh karena itu perbuatan ikhtiyari manusia tidak masuk dalam lingkup qadha' Allah.[2]
Dalam bagian lain, Taqiyyuddin Al-Nabhani juga mengatakan:
فَتَعْلِيْقُ الْمَثُوْبَةِ أَوِ الْعُقُوْبَةِ بِالْهُدَى وَالضَّلاَلِ يَدُلُّ عَلىَ أَنَّ الْهِدَايَةَ وَالضَّلاَلَ هُمَا مِنْ فِعْلِ اْلإِنْسَانِ وَلَيْسَا مِنَ اللهِ.
Mengkaitkan pahala dan siksa dengan petunjuk dan kesesatan menjadi dalil bahwa hidayah (petunjuk) dan kesesatan itu sebenarnya termasuk perbuatan manusia dan bukan datang dari Allah.[3]
Pernyataan Al-Nabhani di atas memberikan dua kesimpulan. Pertama, perbuatan ikhtiyari manusia tidak ada kaitannya dengan ketentuan qadha' Allah, dan kedua, hidayah maupun kesesatan itu adalah perbuatan manusia sendiri dan bukan dari Allah. Demikian ini jelas bertentangan dengan Al-Qur'an, Sunnah dan akal sehat. Dalam sekian banyak ayat berikut ini:
Dan dia Telah menciptakan segala sesuatu, dan dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya. (QS. Al-Furqan : 2).
Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (QS. Al-Shaffat : 96).
Sesungguhnya kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran. (QS. Al-Qamar : 49).
Beberapa ayat di muka menegaskan bahwa segala sesuatu itu diciptakan oleh Allah SWT. Kata "segala sesuatu" dalam ayat tersebut mencakup segala apa yang ada di dunia ini seperti benda, sifat-sifat benda (gerakan dan diamnya manusia), serta perbuatan yang disengaja maupun yang terpaksa. Dalam realita yang ada, perbuatan ikhtiyar manusia lebih banyak dari pada perbuatan non ikhtiyari/yang terpaksa. Seandainya perbuatan ikhtiyari manusia itu adalah ciptaan manusia sendiri, tentu perbuatan yang diciptakan oleh manusia akan lebih banyak dari pada perbuatan yang diciptakan oleh Allah.[4] Dari sini dapat kita simpulkan, bahwa pernyataan Al-Nabhani di muka merupakan penolakan terhadap teks-teks Al-Qur'an dan hadits.

B.               Pendekatan Ta'wil dan Ulama Salaf
Pendekatan ta'wil terhadap ayat-ayat mutasyabihat telah dilakukan dan diajarkan oleh ulama salaf yang saleh. Berbeda dengan pendapat tersebut, Taqiyyuddin Al-Nabhani mengingkari dan mengatakan bahwa pendekatan ta'wil tidak dikenal di kalangan ulama salaf. Dalam hal ini, Al-Nabhani mengatakan:
كَانَ التَّأْوِيْلُ أَوَّلَ مَظَاهِرِ الْمُتَكَلِّمِيْنَ... وَكَانَ التَّأْوِيْلُ عُنْصُرًا مِنْ عَنَاصِرِ الْمُتَكَلِّمِيْنَ وَأَكْبَرَ مُمَيِّزٍ لَهُمْ عَنِ السَّلَفِ.
Ta'wil [terhadap ayat-ayat mutasyabihat] merupakan fenomena yang pertama kali dimunculkan oleh para teolog. Jadi ta'wil itu merupakan salah satu unsur dan yang paling membedakan antara mereka dengan salaf.[5]
Pernyataan Al-Nabhani tersebut menyimpulkan bahwa ta'wil terhadap ayat-ayat mutasyabihat pertama kali diperkenalkan oleh para teolog dan menjadi ciri khas utama yang membedakan antara para teolog dengan ulama salaf. Tentu saja, pernyataan tersebut mengandung kerancuan dan kebohongan. Pertama, pernyataan Al-Nabhani tersebut mengesankan bahwa di kalangan ulama salaf tidak ada ulama yang ahli dalam bidang teologi (ilmu kalam).  Kedua, pernyataan tersebut juga mengesankan bahwa ta'wil belum dikenal pada masa generasi salaf.
Asumsi Hizbut Tahrir bahwa di kalangan generasi salaf tidak ada ulama yang ahli dalam bidang teologi adalah tidak benar. Al-Imam Abu Manshur Abdul Qahir bin Thahir Al-Tamimi Al-Baghdadi menegaskan bahwa teolog pertama dari generasi sahabat adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Umar. Sedangkan teolog pertama dari generasi tabi'in adalah Umar bin Abdul Aziz, Zaid bin Ali bin Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib dan Al-Hasan Al-Bashri. Kemudian Al-Sya'bi, Ibn Syihab Al-Zuhri, Ja'far bin Muhammad Al-Shadiq dan lain-lain. Mereka sangat keras dalam membantah ajaran Qadariyah yang menjadi embrio lahirnya sekte Mu'tazilah. Belakangan ini ideologi Mu'tazilah tersebut diikuti oleh Hizbut Tahrir.[6]
Ada banyak riwayat dari Ibn Abbas, bahwa ia melakukan ta'wil terhadap ayat-ayat mutasyabihat, antara lain adalah Kursi [QS. 2 : 255] di-ta'wil dengan ilmu Allah,[7] datangnya Tuhan [QS. 89 : 22] di-ta'wil dengan perintah dan kepastian Allah,[8] a'yun (beberapa mata) [QS. 11 : 37] di-ta'wil dengan penglihatan Allah,[9] aydin (beberapa tangan) [QS. 51 : 47] di-ta'wil dengan kekuatan dan kekuasaan Allah,[10] nur (cahaya) [QS. 24 : 35] di-ta'wil dengan Allah yang menunjukkan penduduk langit dan bumi,[11] wajah Allah [QS. 55 : 27] di-ta'wil dengan wujud dan Dzat Allah,[12] dan saq (betis) [QS. 68 : 42] di-ta'wil dengan kesusahan yang sangat berat.[13]
Demkianlah, beberapa riwayat tentang ta'wil yang dilakukan oleh ulama salaf sejak generasi sahabat. Data-data tersebut menunjukkan bahwa ta'wil yang dilakukan oleh Ahlussunnah WAl-Jama'ah merupakan pemahaman terhadap teks-teks mutasyabihat sesuai dengan pemahaman ulama salaf yang saleh.

C.              Pengingkaran Siksa Kubur
Di antara keyakinan Ahlussunnah WAl-Jama'ah adalah adanya siksa kubur. Hal ini seperti ditegaskan oleh Al-Imam Abu Ja'far Al-Thahawi dalam Al-'Aqidah Al-Thahawiyyah berikut ini:
وَنُؤْمِنُ بِمَلَكِ الْمَوْتِ الْمُوَكَّلِ بِقَبْضِ أَرْوَاحِ الْعَالَمِيْنَ، وَبِعَذَابِ الْقَبْرِ لِمَنْ كَانَ لَهُ أَهْلاً.
Kami beriman kepada Malaikat maut yang diserahi mencabut roh semesta alam, dan beriman kepada siksa kubur bagi orang yang berhak menerimanya.[14]
Berdasarkan keyakinan ini, Nabi SAW menganjurkan agar umatnya selalu memohon kepada Allah SWT agar diselamatkan dari siksa kubur. Keyakinan Ahlussunnah ini berbeda dengan keyakinan HTI. Hizbut Tahrir mengingkari adanya siksa kubur, tawassul dengan para nabi dan orang saleh serta peringatan maulid Nabi SAW.[15] Pengingkaran Hizbut Tahrir terhadap adanya siksa kubur juga dijelaskan dalam buku Al-Dausiyyah, kumpulan fatwa-fatwa Hizbut Tahrir ketika menjelaskan hadits yang menyebutkan tentang siksa kubur. Menurut buku tersebut, meyakini siksa kubur yang terdapat dalam hadits tersebut adalah haram, karena haditsnya berupa hadits ahad, akan tetapi boleh membenarkannya.[16] Bahkan salah seorang tokoh Hizbut Tahrir, yaitu Syaikh Umar Bakri pernah mengatakan: "Aku mendorong kalian untuk mempercayai adanya siksa kubur dan Imam Mahdi, namun barang siapa yang beriman kepada hal tersebut, maka ia berdosa."
Sudah barang tentu pengingkaran Hizbut Tahrir terhadap adanya siksa kubur karena alasan haditsnya termasuk hadits ahad dan bukan mutawatir, adalah tidak benar. Karena disamping adanya siksa kubur merupakan keyakinan kaum Muslimin sejak generasi salaf, juga hadits-hadits yang menerangkan adanya siksa kubur adalah hadits mutawatir, dan bukan hadits ahad sebagaimana asumsi Hizbut Tahrir. Dalam konteks ini Al-Imam Hafizh Al-Baihaqi berkata:
وَاْلأَخْبَارُ فِيْ عَذَابِ الْقَبْرِ كَثِيْرَةٌ، وَقَدْ أَفْرَدْنَا لَهَا كِتَاباً مُشْتَمِلاً عَلىَ مَا وَرَدَ فِيْهاَ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَاْلآثَارِ، وَقَدِ اسْتَعَاذَ مِنْهُ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَأَمَرَ أُمَّتَهُ بِاْلاِسْتِعَاذَةِ مِنْهُ ... قَالَ الشَّافِعِيُّ : إِنَّ عَذَابَ الْقَبْرِ حَقٌّ.
Hadits-hadits mengenai adanya siksa kubur banyak sekali. Kami telah menyendirikannya dalam satu kitab yang memuat dalil-dalil dari Al-Qur'an, Sunnah dan atsar tentang siksa kubur. Rasulullah SAW telah memohon perlindungan kepada Allah dari siksa kubur dan memerintahkan umatnya agar memohon perlindungan darinya... Al-Imam Al-Syafi'i berkata: "Sesungguhnya siksa kubur itu benar."[17]
Al-Hafizh Muhammad bin Ja'far Al-Kattani mengatakan bahwa hadits-hadits yang menerangkan adanya siksa kubur itu mutawatir dan diriwayatkan dari tiga puluh dua orang sahabat.[18] Bahkan Al-Imam Abu Manshur Al-Baghdadi berkata:
وَقَالَ الْمُسْلِمُوْنَ بِعَذَابِ الْقَبْرِ لأَهْلِ الْعَذَابِ، وَقَطَعُوْا بِأَنَّ الْمُنْكِرِيْنَ لِعَذَابِ الْقَبْرِ يُعَذَّبُوْنَ فِي الْقَبْرِ.
Kaum Muslimin telah bersepakat tentang adanya siksa kubur bagi yang berhak disiksa. Mereka juga memastikan bahwa orang-orang yang mengingkari adanya siksa kubur akan disiksa di kuburannya.[19]

Kesimpulan
Sebagai penutup dari makalah ini, kita perhatikan perkataan Al-Imam Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali. Beliau berpandangan bahwa kajian tentang imamah atau khilafah itu tidak terlalu penting. Dalam hal ini Al-Ghazali berkata:
اَلنَّظَرُ فِي اْلإِمَامَةِ لَيْسَ مِنَ الْمُهِمَّاتِ، وَلَيْسَ أَيْضاً مِنْ فَنِّ الْمَعْقُوْلاَتِ، فِيْهَا بَلْ مِنَ الْفِقْهِيَّاتِ، ثُمَّ إِنَّهَا مَثَارٌ لِلتَّعَصُّبَاتِ، وَالْمُعْرِضُ عَنِ الْخَوْضِ فِيْهَا أَسْلَمُ مِنَ الْخَائِضِ، بَلْ وَإِنْ أَصَابَ، فَكَيْفَ إِذَا أَخْطَأَ.
Kajian tentang imamah/khilafah bukan termasuk hal yang penting. Ia juga bukan termasuk bagian studi ilmu rasional, akan tetapi termasuk bagian dari ilmu fiqih. Kemudian masalah imamah berpotensi melahirkan sikap fanatik. Orang yang menghindar dari menyelami soal imamah lebih selamat dari pada yang menyelaminya, meskipun ia menyelaminya dengan benar, dan apalagi ketika salah dalam menyelaminya.[20]
Sebagaimana dimaklumi wajibnya imamah atau khilafah bukan termasuk bagian rukun iman dan bukan pula termasuk rukun Islam. Karenanya asumsi bahwa Islam tidak ada ketika khilafah tidak ada adalah berlebih-lebihan dan dapat bermakna pengkafiran terhadap kaum Muslimin. Wujudnya Islam tidak tergantung pada wujudnya khilafah. Nabi SAW ketika ditanya tentang Islam, tidak pernah menjawabnya dengan khilafah, sebagaimana dalam hadits-hadits shahih berikut ini:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَارِزًا يَوْمًا لِلنَّاسِ فَأَتَاهُ جِبْرِيلُ فَقَالَ: مَا اْلإِسْلاَمُ، قَالَ: اْلإِسْلامُ أَنْ تَعْبُدَ اللهَ وَلاَ تُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا، وَتُقِيمَ الصَّلاَةَ، وَتُؤَدِّيَ الزَّكَاةَ الْمَفْرُوضَةَ، وَتَصُومَ رَمَضَانَ.
Abu Hurairah berkata: "Pada suatu hari Nabi SAW tampil kepada orang-orang, lalu Jibril mendatanginya dan bertanya: "Apakah Islam itu?" Nabi SAW menjawab: "Islam adalah hendaknya kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukannya dengan sesuatu apa pun, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang difardukan dan berpuasa di bulan Ramadhan."[21]
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda:
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللهِ مَا اْلإِسْلاَمُ، قَالَ: أَنْ يُسْلِمَ قَلْبُكَ للهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَأَنْ يَسْلَمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِكَ وَيَدِكَ، قَالَ: فَأَيُّ اْلإِسْلاَمِ أَفْضَلُ، قَالَ: اْلإِيمَانُ، قَالَ: وَمَا اْلإِيمَانُ، قَالَ: تُؤْمِنُ بِاللهِ، وَمَلاَئِكَتِهِ، وَكُتُبِهِ، وَرُسُلِهِ، وَالْبَعْثِ بَعْدَ الْمَوْتِ.
Amr bin Abasah berkata: "Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW dan bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah Islam itu?" Beliau menjawab: "Islam adalah hatimu berserah diri kepada Allah dan hendaknya kaum Muslimin selamat dari lidah dan tanganmu." Laki-laki itu bertanya: "Apakah di antara Islam yang paling utama?" Beliau menjawab: "Islam yang paling utama adalah iman." Dia bertanya: "Apakah iman itu?" Nabi SAW menjawab: "Kamu beriman kepada Allah, para Malaikat, kitab-kitab Allah, para rasul dan hari kebangkitan sesudah mati."[22]
Dalam hadits lain, Rasulullah SAW juga bersabda:
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَبَسَةَ قَالَ: أَتَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ مَنْ تَبِعَكَ عَلَى هَذَا اْلأَمْرِ، قَالَ: حُرٌّ وَعَبْدٌ، قُلْتُ: مَا اْلإِسْلاَمُ، قَالَ: طِيبُ الْكَلاَمِ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ، قُلْتُ: مَا اْلإِيمَانُ، قَالَ: الصَّبْرُ وَالسَّمَاحَةُ، قَالَ قُلْتُ: أَيُّ اْلإِسْلاَمِ أَفْضَلُ، قَالَ: مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ، قَالَ قُلْتُ: أَيُّ الإِيمَانِ أَفْضَلُ، قَالَ: خُلُقٌ حَسَنٌ.
Amr bin Abasah berkata: "Aku mendatangi Rasulullah SAW dan bertanya: "Wahai Rasulullah, siapakah yang mengikuti agamamu?" Beliau menjawab: "Seorang merdeka dan seorang budak." Aku bertanya: "Apakah Islam itu?" Beliau menjawab: "Islam adalah perkataan yang indah dan menyuguhkan makanan kepada orang lain." Aku bertanya: "Apakah iman itu?" Beliau menjawab: "Iman adalah sabar dan murah hati." Aku bertanya: "Apakah Islam yang paling utama?" Beliau menjawab: "Orang yang kaum Muslimin selamat dari lidah dan tangannya." Aku bertanya: "Apakah keimanan yang paling utama?" Beliau menjawab: "Budi pekerti yang luhur."[23]
Dalam hadits-hadits di atas, Islam diidentikkan dengan amaliah-amaliah pokok dalam agama seperti mengesakan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan puasa. Terkadang Islam diidentikkan dengan keimanan, dan terkadang pula dengan budi pekerti yang luhur seperti perkataan yang indah dan menyuguhkan makanan kepada orang lain. Agaknya kita kesulitan menemukan teks Al-Qur'an dan sunnah atau perkataan ulama yang mengidentikkan Islam dengan khilafah yang memang bukan ajaran pokok dalam agama. Oleh karena wujudnya khilafah dalam Islam bukan termasuk kewajiban pokok, para ulama mengatakan bahwa mengangkat seorang khalifah itu wajib ketika umat Islam mampu melakukannya. Dalam konteks ini Al-Imam Abu Al-Ma'ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini yang dikenal dengan gelar Imam Al-Haramarin berkata:
فَنَصْبُ اْلإِمَامِ عِنْدَ اْلإِمْكَانِ وَاجِبٌ.
Mengangkat seorang imam adalah wajib ketika mampu melakukan.[24]
Sekalipun ada kemampuan untuk mengangkat seorang imam, namun tidak harus berbentuk khilafah. Karena masa khilafah sendiri sudah berakhir, sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih:

عن سفينة قال : سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول : (الخِلَافَةُ بَعْدِي ثَلَاثُوْنَ سَنَةً ثُمَّ تَكُوْنُ مُلُكًا) قَالَ : أمسك خلافة أبي بكر رضي الله عنه سنتين و عمر رضي الله عنه عشرا و عثمان رضي الله عنه اثنتي عشرة و علي رضي الله عنه ستا (صحيح ابن حبان - (ج 15 / ص 392) .
وأخرج البيهقي عن أبي بكرة قال: سمعت  رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول: "خلافة النبوة ثلاثون عاما ثم يؤتي الله الملك من يشاء", فقال معاوية: قد رضينا بالملك.
وهذا الحديث حسنه الحافظ أبو زرعة في فتاويه, والحافظ ابن حجر في شرح البخاري فقد أورده في أكثر من موضع (فتح الباري 7/58) رمزا الى تصحيح ابن حبان وغيره للحديث, وقد الترم الحافظ في مقدمة شرح البخاري (ص 4) أن ما يورده من شرح حديث أوتتمة أو زيادة لحديث فهو صحيح أو حسن, وصحح هذا الحديث ابن حبان والحافظ السيوطي (الجامع الصغير 1/638)  .
Khilafah itu hanya 30 tahun, kemudian kerajaan, kata Safinah: Khilafah Abu Bakar 2 tahun, Khilafah Sayyidina Umar 10 tahun, dan Sayyidina Utsman 12 tahun, Khilafah Sayyidina Ali 6 tahun  (HR. Ibn Hibban, [15/392]).

Hadits shahih di atas secara tegas menunjukkan bahwa masa khilafah nubuwwah hanya 30 tahun, setelah itu berganti menjadi sistem kerajaan hingga saat ini. Dewasa ini di mana kaum Muslimin tidak memiliki kemampuan untuk mendirikan khilafah, maka secara otomatis kewajiban tersebut menjadi gugur. Sementara Hizbut Tahrir berpendapat lain. Menurut mereka, kaum Muslimin dewasa ini telah menanggung dosa besar secara kolektif karena tidak mengangkat seorang khalifah, dan bahkan Islam pun kini telah tiada karena khalifah tidak ada. Tentu saja pendapat ini sangat ekstrim, berlebih-lebihan dan tidak benar dalam perspektif kajian ilmu agama yang jernih. Padahal di dalam Al-Qur’an tidak ada nash yang secara sharih menunjukkan kewajiban menegakkan khilafah. Yang ada hanyalah hadits shahih yang membatasi masa khilafah selama 30 tahun sebagaimana disebutkan di atas.


Wallahul Muwaffiq ila Aqwam Al-Thariq……


[1] Ketua Tanfidziyah PCNU Jember
[2] Taqiyyuddin Al-Nabhani, Al-Syakhshiyyat Al-Islamiyyah, juz 1, (Qudus: Mansyurat Hizb Al-Tahrir, 1953), hlm. 71-72.
[3] Taqiyyuddin Al-Nabhani, Al-Syakhshiyyat Al-Islamiyyah, juz 1, hlm. 74, dan Nizham Al-Islam, hlm. 22.
[4] Al-Hafizh Al-Baihaqi, Al-I'tiqad 'ala Madzhab Al-Salaf Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama'ah, (Kairo: Dar Al-'Ahd Al-Jadid, 1959), hlm. 59-60, (edisi Abu Al-Fadhl Abdullah Muhammad Al-Shiddiq Al-Ghumari).
[5] Taqiyyuddin Al-Nabhani, Al-Syakhshiyyat Al-Islamiyyah, juz 1, hlm. 53.
[6] Abu Manshur Abdul Qahir bin Thahir Al-Tamimi Al-Baghdadi, Ushul Al-Din, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-'Ilmiyah, 1981), hlm 307.
[7] Ibn Jarir Al-Thabari, Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Al-Qur'an, juz 5, (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 2000), hlm. 399, (edisi Ahmad Muhammad Syakir).
[8] Hafizhuddin Al-Nasafi, Madarik Al-Tanzil wa Haqaiq Al-Ta'wil, juz 4, (Beirut: Dar Al-Fikr, tanpa tahun), hlm. 387.
[9] Muhyissunnah Al-Baghawi, Ma'alim Al-Tanzil, juz 4, (Riyadh: Dar Thaibah, 1997), hlm. 173, (edisi Muhammad Abdullah Al-Namir dkk).
[10] Al-Qurthubi, Al-Jami' li-Ahkam Al-Qur'an, juz 17, (Beirut: Dar Al-Fikr), hlm. 52.
[11] Ibn Jarir Al-Thabari, Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Al-Qur'an, juz 19, (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 2000), hlm. 177, (edisi Ahmad Muhammad Syakir).
[12] Al-Qurthubi, Al-Jami' li-Ahkam Al-Qur'an, juz 17, (Beirut: Dar Al-Fikr), hlm. 165.
[13] Ibn Jarir Al-Thabari, Jami' Al-Bayan fi Ta'wil Al-Qur'an, juz 23, (Beirut: Muassasah Al-Risalah, 2000), hlm. 554, (edisi Ahmad Muhammad Syakir).
[14] Syaikh Abdullah Al-Harari (1328-1429 H/1910-2008 M), Izhhar Al-'Aqidah Al-Sunniyyah bi-Syarh Al-'Aqidah Al-Thahawiyyah, (Beirut: Dar Al-Masyari', 1997), hlm. 251.
[15] Seperti tertulis dalam buletin mereka "Al-Khilafah", edisi Rabiul Awal, 1416 H.
[16] Jawwad Bahr Al-Natsyah, Qira'at fi Fikr Hizb Al-Tahrir Al-Islami, (alnatshi_2007@hotmail.com), hlm. 93.
[17] Al-Hafizh Al-Baihaqi, Al-I'tiqad 'ala Madzhab Al-Salaf Ahl Al-Sunnah wa Al-Jama'ah, (Kairo: Dar Al-'Ahd Al-Jadid, 1959), hlm. 110 dan 111, (edisi Abu Al-Fadhl Abdullah Muhammad Al-Shiddiq Al-Ghumari).
[18] Al-Hafizh Muhammad bin Ja'far Al-Kattani, Nazhm Al-Mutanatsir min Al-Hadits Al-Mutawatir, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-'Ilmiyah, tanpa tahun), hlm 125.
[19] Abdul Qahir bin Thahir Al-Baghdadi, Al-Farq bayna Al-Firaq, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-'Ilmiyyah), hlm. 270.
[20] Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali, Al-Iqtishad fi Al-I'tiqad, (Beirut: Al-Hikmah, 1994), hlm. 200, (edisi Muwaffaq Fauzi Al-Jabr).
[21] HR. Al-Bukhari, (hadits no. 48), dan Muslim, (hadits no. 10).
[22] HR. Ahmad, (hadits no. 16413).
[23] HR. Ahmad, (hadits no. 16818).
[24] Imam Al-Haramain Abu Al-Ma'ali Abdul Malik bin Abdullah Al-Juwaini, Ghiyats Al-Umam fi Iltiyats Al-Zhulam, (Iskandariyah: Dar Al-Da'wah, 1991), hlm. 55, (edisi Mushthafa Hilmi dkk).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar