MENCINTAI AHLUL BAIT DAN
SAHABAT NABI r
SECARA PROPORSIONAL
Oleh:
Muhyiddin
Abdusshomad[1]
Dalam
keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, salah satu kewajiban Umat Islam adalah mencintai
Ahlul Bait dan para sahabat Nabi Muhammad r. Yang dimaksud dengan Ahlul Bait ialah Ahlul Kisa’
(beberapa orang yang pernah diselimuti oleh Rasulullah SAW) yakni Sayyidah Fathimah,
Sayyidina Ali, Sayyidina Hasan, Sayyidina Husain, (dan seluruh keturunan)nya y (Hadits Tirmidzi 2139) dan para istri Nabi r yang kemudian disebut dengan Ummahatul Mukminin (QS. Al-Ahzab: 6 ).
Kecintaan
yang dimaksud tetap berpedoman pada prinsip seimbang (tawazun), tengah-tengah (tawassuth),
tegak lurus (i’tidal), serta tidak
berlebih-lebihan. Karena menanamkan fanatisme buta kepada Ahlul Bait Nabi r dapat menimbulkan citra negatif tentang pribadi mereka. Bahkan
pada tingkat tertentu tanpa disadari justru menistakan Ahlul Bait Nabi r sebagai orang-orang yang ambisius, suka berpura-pura,
dan penakut (taqiyyah). Padahal Ahlul
Bait adalah orang-orang yang dilindungi oleh Allah I dari perilaku
yang kotor dan tercela (QS. Al-Ahzab: 33).
Telah maklum
bagi seluruh umat Islam bahwa Sayyidina Ali t itu
dijuluki "Laitsu Bani Ghalib" pendekar yang tak terkalahkan
dalam setiap pertempuran, sangatlah tidak mungkin jika beliau bersikap taqiyyah
apalagi menganjurkannya.
Salah
satu contoh adalah sikap kelompok yang terlalu berlebihan kecintaannya terhadap
Sayyidina Ali t. Dalam
keyakinan mereka, ketika Sayyidina Ali t tidak terpilih
menjadi khalifah pertama oleh mayoritas sahabat, Sayyidina Ali t marah
dan menyuruh para pengikutnya untuk memberontak dan menyebarkan caci maki, dan
kelak di akhir zaman, orang-orang yang dianggap merampas jabatannya akan dihidupkan
kembali untuk dipukuli, disiksa, disalib dan dikeroyok oleh Sayyidina Ali t beserta
para putra dan pengikutnya untuk melampiaskan dendam kesumatnya yang berkobar
sejak lama, sebagaimana dalam i’tiqad adanya raj’ah.
Kepercayaan
ini memang berawal dari kecintaan yang berlebihan kepada Sayyidina Ali t, Namun dampak
yang diakibatkan cukup merisaukan, karena hal ini justru menggambarkan potret
buram Ahlul Bait Nabi r yang suci dengan gambaran orang-orang
yang selalu menyimpan dendam kesumat, gila jabatan, dan tidak berperikemanusiaan.
Dalam
keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah, hal
itu mustahil akan terjadi pada Ahlul Bait Nabi Muhammad r. Karena mereka bagaikan mutiara-mutiara yang
berkilauan nan bersih dari sikap dan perilaku yang mengotorinya.
Memang
sejarah telah mencatat ada perselisihan antara sebagian Ahlul Bait dan para
sahabatnya, tetapi hal tersebut tidak sampai pada tingkat menebarkan
dendam kesumat sepanjang zaman. Allah I telah
memberikan jaminan-Nya. Sebagaimana dalam firman-Nya:
مُحَمَّدٌ رَسُولُ
اللهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ. (الاية) الفتح :29.
”Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang
bersama dengan dia adalah bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, tetapi
senantiasa memelihara kasih sayang diantara sesama mereka.”
(QS. Al-Fath: 29).
Keyakinan ini bukan sekedar isapan
jempol semata, tetapi didasarkan pada fakta sejarah (dari berbagai literatur baik
dari sumber Ahlussunnah maupun Syi’ah) yang menyatakan bahwa di antara Ahlul Bait
dan para sahabat Nabi Muhammad r ada kemesraan yang terjalin, saling mencintai karena
Allah I, tidak ada permusuhan dan dendam kesumat. Diantaranya
adalah pernyataan
Sayyidina Abu Bakar t tentang kecintaan
beliau kepada Ahlul Bait Nabi r:
عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهَا .قَالَ اَبُوْ بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ لَقَرَابَةُ
رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ أَصِلَ مِنْ
قَرَابَتِي. (صحيح البخاري، رقم 3730).
“Dari ‘Aisyah R.A., sesungguhnya Abu bakar berkata,
“Sungguh kerabat-kerabat Rasulullah SAW lebih aku cintai dari pada Ahlul Baitku
sendiri. (Shahih
al-Bukhari, nomor hadits. 3730).
Sayyidina Umar t juga merupakan salah seorang
sahabat yang selalu memperhatikan dan memuliakan Ahlul Bait Nabi r. Simak hadits berikut ini:
عَنْ ابْنِ
عَبَّاسٍ قَالَ خَطَبَنَا عُمَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ عَلِيٌّ أَقْضَانَا وَأُبَيٌّ
أَقْرَؤُنَا (صحيح البخاري، 4121).
“Dari Ibn Abbas, ia bercerita, “Sayyidina Umar pernah berkhutbah
kepada kami di atas mimbar Rasulullah r, Ia berkata, “Sayyidina Ali adalah orang yang paling
ahli di bidang hukum, dan Ubay adalah orang yang paling fasih bacaannya.” (Shahih
al-Bukhari, nomor hadits. 4121) .
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ
الْحَارِثِ قَالَ صَلَّى أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الْعَصْرَ ثُمَّ خَرَجَ
يَمْشِي فَرَأَى الْحَسَنَ يَلْعَبُ مَعَ الصِّبْيَانِ فَحَمَلَهُ عَلَى عَاتِقِهِ
وَقَالَ بِأَبِي شَبِيهٌ بِالنَّبِيِّ لا شَبِيهٌ بِعَلِيٍّ وَعَلِيٌّ يَضْحَكُ (صحيح
البخاري، 3278).
”Dari Uqbah bin Harits ia berkata, ”Suatu ketika Abu
Bakar melaksanakan shalat Ashar. Setelah itu berjalan pulang dan melihat Hasan
bin Ali sedang bermain dengan anak-anak sebaya. Abu Bakar kemudian
menggendongnya seraya berkata, ”Sungguh, anak ini sangat mirip dengan Nabi, tidak
mirip Ali”. Mendengar pernyataan ini, Ali tertawa.” (Shahih al-Bukhari, nomor
hadits. 3278).
Senda
gurau tersebut tentu tidak akan terjadi jika diantara keduanya ada permusuhan. Rasa
hormat dan kecintaan Ahlul Bait kepada para sahabat Nabi Muhammad r itu bagaikan kata berjawab gayung bersambut, sebagaimana
tergambarkan dalam ungkapan Sayyidina Ali t:
عَنْ مُحَمَّدِ ابْنِ الْحَنَفِيَّةِ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي أَيُّ النَّاسِ
خَيْرٌ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَبُو بَكْرٍ
قَالَ قُلْتُ ثُمَّ مَنْ قَالَ ثُمَّ عُمَرُ قَالَ ثُمَّ خَشِيتُ أَنْ أَقُولَ ثُمَّ مَنْ فَيَقُولُ عُثْمَانُ فَقُلْتُ ثُمَّ أَنْتَ يَا أَبَتِ قَالَ مَا
أَنَا إِلاَّ رَجُلٌ مِنْ الْمُسْلِمِينَ (سنن ابي داود، 4013).
“Dari Muhammad bin Hanafiyyah, ia berkata, “Saya bertanya
kepada ayahku (Ali bin Abi Thalib t),
“Siapakah manusia paling mulia setelah Rasulullah r?”,
Sayyidina Ali menjawab, ”Sayyidina Abu
Bakar t”.
Aku bertanya lagi, “Kemudian siapa lagi?”
Sayyidina Ali menjawab, ”Sayyidina Umar bin Khattab t.”.
Dengan sedikit ragu-ragu aku bertanya lagi, ”Kemudian siapa lagi?”, Sayyidina
Ali menjawab, ” Sayyidina Utsman bin Affan t.”
Lalu aku berkata, ”Kemudian Engkau wahai ayahku.” Sayyidina Ali t menjawab (seraya merendahkan diri), ”Tidak, aku hanya
seorang laki-laki biasa seperti muslim lainnya.”(Sunan Abi Dawud, nomor
hadits. 4013).
عَنِ ابْنِ عُمَرَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ وُضِعَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
بَيْنَ الْمِنْبَرِ وَالْقَبْرِ فَجَاءَ عَلِيٌّ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ حَتَّى قَامَ
بَيْنَ يَدَيْ الصُّفُوفِ فَقَالَ هُوَ هَذَا ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ قَالَ
رَحْمَةُ اللهِ عَلَيْكَ مَا مِنْ خَلْقِ اللهِ تَعَالَى أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ
أَنْ أَلْقَاهُ بِصَحِيفَتِهِ بَعْدَ صَحِيفَةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مِنْ هَذَا الْمُسَجَّى عَلَيْهِ ثَوْبُهُ (مسند أحمد، 823).
“Dari
Ibn Umar t ia berkata, “Ketika jenazah Sayyidina
Umar diletakkan di antara mimbar dan makam Rasulullah r, Sayyidina Ali t datang dan berdiri di shaf terdepan, seraya mengatakan, “Inilah orangnya,
inilah orangnya, inilah orangnya. Mudah-mudahan Allah I memberikan rahmat-Nya kepadamu. Tidak seorangpun hamba
Allah SWT yang paling aku cintai untuk bertemu Allah I (dengan membawa buku catatan yang baik), setelah buku
catatan Nabi r, selain dari yang terbentang
di tengah-tengah kalian ini (yakni jenazah Sayyidina Umar).” (Musnad Ahmad, nomor hadits. 823).
Ada
beberapa hal yang dapat dipahami dari ungkapan Sayyidina Ali t tersebut. Pertama, penghormatan
Sayyidina Ali t yang
begitu tinggi kepada para sahabat, khususnya tiga khalifah sebelum beliau.
Tidak ada rasa dendam atau merasa tersaingi apalagi didholimi. Kedua, kerendahan hati Sayyidina Ali t. Dalam kapasitas beliau sebagai Ahlul Bait, tidak ada
perasaan lebih mulia dari yang lain, seraya mengatakan, ”Aku hanya seorang laki-laki biasa seperti muslim lainnya”. Ketiga, mustahil beliau melakukan taqiyyah (pura-pura) dalam ucapannya itu,
sebab pujian Sayyidina Ali t diungkapkan
pada saat orang yang disanjung tesebut telah meninggal dunia (hadits riwayat
Ahmad), bahkan ketika beliau sedang menjadi khalifah seperti dalam hadits
riwayat Abu Daud di muka. Data tersebut tidak hanya dicatat dalam kitab-kitab
Ahlussunnah, dapat ditemukan juga dalam kitab-kitab Syi’ah, misalnya dalam
kitab Talkhis Asy-Syafi (Juz. II,
Hal. 48), Asy-Syafi (hal. 428), dan
lain-lain.
Dalam riwayat lain juga disebutkan:
عَنْ جَمِيْعِ بْنِ
عُمَيْرَ التَّيْمِي قَالَ: دَخَلْتُ وَمَعِي عَمَّتِي عَلَى عَا ئِشَةَ فَسَأَلْتُ:
أَيُّ النَّاسِ كَانَ أَحَبَّ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ ؟ قَالَتْ فَاطِمَةُ فَقِيْلَ: مَنِ الرِّجَالُ؟ فَقَالَتْ: زَوْجُهَا إِنْ
كَانَ مَاعَلِمْتُ صَوَّاماً قَوَّا ماً (رواه الترمذي).
“Jami’ bin Umair al-Taymi berkata, Suatu saat aku bersama
bibiku menemui ‘Aisyah dan aku bertanya kepada beliau: Siapakah orang yang paling
dicintai oleh Rasulullah r,
Sayyidah ‘Aisyah menjawab: ialah Fatimah: ditanyakan lagi kepada beliau, kalau
dari kalangan laki-laki? Jawab Sayyidah ‘Aisyah: Ialah suaminya (Sayyidina Ali)
karena aku tahu dia itu rajin berpuasa dan sebagai laki-laki yang penuh
tanggung jawab.” (HR. Tirmidzi, nomor hadits 3873).
Mungkinkah
Sayyidah ‘Aisyah RA. menyampaikan hadits tersebut jika di lubuk hatinya ada
dendam dan iri hati kepada Sayyidah Fatimah RA atau kepada Sayyidina Ali t? Jawabnya: Tentu tidak mungkin, karena hadits tersebut menginformasikan keutamaan Sayyidina Ali t
dan Sayyidah Fatimah.
Tidak
hanya sampai di sini, kecintaan dan rasa persaudaraan itu berlangsung terus
hingga sampai pada keturunan mereka. Bahkan kecintaan yang mendalam diantara
para sahabat dengan Ahlul Bait Nabi Muhammad r tidak
cukup dengan pernyataan semata, tetapi sampai pada pembuktian yang nyata
seperti memberikan nama putra mereka dengan nama para sahabat besar itu.
Jika
ditelusuri nama seseorang dapat menunjukkan siapa dirinya. Nama merupakan
pembeda, yang membedakan seseorang dengan yang lain. Hal ini berlaku bagi
seluruh manusia. Orang yang berakal tidak pernah ragu akan pentingnya nama.
Sebab, melalui nama orang yang dilahirkan akan dikenal dan dibedakan dari
saudara-saudaranya sendiri atau orang lain. Nama itu akan menjadi tanda bagi
diri yang bersangkutan dan bagi putra-putrinya kelak. Ketika seseorang sudah mati,
namanya akan tetap hidup sepeninggalnya.
Nama
dalam bahasa arabnya "Al-Ismu", dari akar kata "As-Sumuw"
yang bermaka mulia dan tinggi. Atau berasal dari kata: "Al-Wasmu"
yang berarti tanda. Kedua makna tersebut menegaskan akan pentingnya nama bagi
seseorang. Nama seseorang melambangkan agama dan tingkatan akalnya. Fakta
pemberian nama-nama tersebut bisa dilihat dalam contoh nama-nama dibawah ini.
Misalnya
Sayyidina Ali t di antara tiga puluh tiga putra-putri beliau ada yang
diberi nama Abu Bakar, Umar, dan Utsman (Imam
Ali bin Abi Thalib, hal. 9). Umar al-Athraf bin Ali, beliau diantara orang
yang menjadi korban sebagai syahid di medan Karbala. (al-Fushul al-Muhimmah,
hal. 143).
Untuk
lebih jelasnya, setelah wafatnya Sayyidah Fathimah RA., Sayyidina Ali RA. menikah
dengan sejumlah wanita yang melahirkan beberapa putra dan putri, diantaranya:
Abbas bin Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Ali bin Abi Thalib, Utsman bin
Ali bin Abi Thalib, Ja’far bin Ali bin Abi Thalib, Ibu mereka adalah Umm Al-Banin binti Hizam
bin Darim.
Ubaidullah
bin Ali bin Abi Thalib , Abu Bakar bin Ali bin Abi Thalib . Ibu keduanya
adalah Laila binti Mas’ud Al-Darimiyyah.
Yahya
bin Ali bin Abi Thalib, Muhammad Al-Ashghar bin Ali bin Abi Thalib, ’Aun bin
Ali bin Abi Thalib. Ibu mereka adalah Asma’ binti Umais.
Ruqayyah
binti Ali bin Abi Thalib, Umar bin Ali bin Abi Thalib-yang meninggal
dunia pada usia 35 tahun. Ibu Keduanya adalah Ummu Habib binti Rabi’ah.
Dan
masih ada beberapa putra-putri lagi dari ibu yang lain (Kasyful Ghummah fi Ma’rifah al-A’immah, juz. 2, hal. 66. Ali
al-Arbili)
Sayyidina
Hasan memberi nama Abu Bakar dan Umar diantara 14 putra-putrinya. Sedangkan Umar
bin Al-Hasan termasuk yang wafat secara syahid di medan Karbala (Maqatil Al-Thalibiyyin,
hal. 119). Sayyidina Husain juga memberi nama Abu Bakar dan Umar diantara 9
putra putrinya (Muqaddimah Allimu Auladakum Mahabbata Ali baitin Nabi). Abu Bakar bin Husain Al-Syahid termasuk
diantara salah satu Syuhada’ di medan Karbala. (Al-Tanbih wal Isyraf, hal. 263). Imam Ali Zainal Abidin t menunjukkan kecintaannya kepada para sahabat Nabi r juga
dengan memberi nama salah seorang putranya dengan nama Umar. Begitu pula Imam
Musa Al-Kadzim memberi nama salah satu putranya dengan nama Abu Bakar (Kasyful Ghummah, juz. 2, hal. 217), Imam
Ali Al-Ridla t memberi nama salah seorang putrinya dengan nama ’Aisyah
(Kasyful Ghummah, juz. 2, hal. 237), dan
Imam Ali al-Hadi t juga memberi nama salah seorang putrinya dengan nama ’Aisyah.
(Al-Fushuulul Muhimmah, hal. 238).
Siapapun
tahu bahwa orang yang memberikan nama pada putra-putrinya, tentu memilih
nama-nama yang paling disukai sembari tersirat sebuah harapan semoga anak yang
dimaksud dapat meneladani dan memiliki kualitas individu seperti orang yang
ditiru namanya. Sudah pasti hal itu tidak akan terjadi bilamana di hati mereka
ada permusuhan dan dendam kesumat. Ini sebagai bukti bahwa Allah I melindungi Ahlul Bait Nabi Muhammad r dari
berbagai penyakit hati.
Isteri
Sayyidina Husain yang bernama Syahrbanu adalah puteri dari Yazdajird, raja terakhir dari
kerajaan Persia. Semula beliau adalah
tawanan perang bersama
dayang-dayang kerajaan yang diboyong ke Madinah. Kemudian beliau dihadapkan
kepada Sayyidina Umar bin Al-Khaththab t. Semua orang menduga bahwa beliau akan dinikahi oleh
Sayyidina Umar bin Al-Khaththab t sendiri atau paling tidak akan dinikahkan dengan putra
beliau sendiri, Abdullah bin Umar t. Akan tetapi di luar dugaan justru Sayyidina Umar t menyerahkan putri Yazdajird tersebut kepada Sayyidina Husain t sembari
berkata:
يَا أَباَ عَبْدِ الله لَتَلِدَنَّ
لَكَ مِنْهَا خَيْرَ أَ هْلِ اْلأَ رْضِ.
“Wahai Aba Abdillah (nama panggilan Sayyidina
Husain t)!
Pernikahan engkau dengan Syahrbanu kelak akan melahirkan sebaik-baik manusia di
atas bumi.”
Maka
kemudian puteri
Yazdajird tersebut dinikahi oleh Sayyidina Husain, dari pernikahan ini lahir seorang putra bernama Ali bin
Husain yang dikenal dengan gelar Zainal Abidin (Al-Kafi, juz. 1, hal. 466-467). Riwayat
tersebut tampak jelas bahwa Sayyidina Umar t
sangat menghormati dan mencintai
Sayyidina Husain t baik
dengan ucapan maupun tindakan.
Bahkan
lebih jauh, kecintaan antara para sahabat dan Ahlul Bait Nabi Muhammad r tidak hanya terbatas pada pemberian nama pada
putra-putranya saja, tetapi berlanjut sampai tingkatan pernikahan dan perbesanan.
Misalnya Sayyidina Umar t menikah dengan Ummi
Kultsum t putri Sayyidina Ali t. (Al-Kafi, juz. 5, hal. 346). Zaid bin Amr bin
Utsman bin Affan t. menikah dengan Sukainah binti Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib t Abdullah bin Amr bin Utsman bin Affan menikah dengan Fathimah
binti Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib t yang kemudian berputra Muhammad al-Diibaaj t (Nasabu Quraisy li al-Zubairi, juz. IV, hal. 114 dan 120) Perlu diketahui pula bahwa Sayyidina Utsman t adalah keponakan sepupu dari Sayyidina Ali t dari jalur ibunya yang bernama Arwa binti Baidla’ binti
Abdul Muththalib. (Muruj al-Dzahab li al-Mas’udi,
juz. 2, hal. 340). Dengan demikian di tubuh Sayyidina Utsman t juga mengalir darah Bani Abdul Muththalib.
Imam
Muhammad Al-Baqir, ayahanda dari Imam Ja’far Al-Shadiq t menikah dengan cucu Sayyidina Abu Bakar t, yakni Ummu Farwah putri Al-Qasim bin Muhammad bin Abu
Bakar t Ibu dari Ummu Farwah tersebut ialah Asma’ binti Abdurrahman
bin Abu Bakar yang saudara sekandung dengan ’Aisyah t (Al-Kafi, juz.
I, hal. 472). Dan dalam konteks inilah Imam Ja’far al-Shadiq t menyatakan:
وَلَدَنِيْ أَبُوْ
بَكْرٍ مَرَّتَيْنِ (ابن عنبة, عمدة
الطالب : 195)
“Abu Bakar telah melahirkan aku dua kali
(yakni dari jalur kakek dan nenek dari ibunya).” (Ibn ‘Anbah, Umdat al-Thalib, hal. 195).
Jadi sangat tidak masuk akal jika Imam Ja’far Al-Shadiq
yang mulia mengajarkan caci maki kepada kakeknya sendiri yang jauh dari
akhlaqul karimah. Simaklah baik-baik apa yang dikatakan oleh Imam Ja'far Al-Shadiq
t kepada muridnya yang bernama Salim bin Abi Hafshah:
عَنْ سَالِمْ بنُ أَبِي
حَفْصَة, قَالَ لَهُ جَعْفَرُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: يَا سَالِمُ! أَيَسُبُّ الرُّجُلُ
جَدَّهُ؟ أَبُو بَكْرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ جَدِّيْ. وَمَا أَرْجُو مِنْ شَفَاعَةِ
عَلِيٍّ شَيْئًا, إِلاَّ وَأَرْجُوْ مِنْ شَفَاعَةِ أَبِي بَكْرٍ مِثْلَهُ. (عُقُوْدُ
الاَلْمَاسِ, ص 97).
"Wahai Salim adakah seorang cucu akan
memaki kakeknya sendiri? Abu Bakar adalah kakekku, jika aku mengharapkan
syafaat dari Ali t tentu aku
mengharapkan syafaat yang sama dari Abu Bakar t.
" (Uqud Al-Almas, hal. 97).
Last but not least, Sayyidina Ali t menikah dengan Asma’ binti Umais (janda Sayyidina Abu
Bakar t) yang dalam catatan buku-buku Syi’ah, Asma’ binti Umais
tersebut adalah perawat yang setia menemani Sayyidah Fatimah t selama sakit di akhir hayatnya, padahal Asma' binti Umais tersebut
pada waktu itu masih menjadi istri dari Abu Bakar t (Al-Amali, juz.
I, hal. 107). Al-Irbili mengatakan bahwa Asma’ binti Umais
adalah orang yang turut memandikan jenazah Sayyidah Fathimah t (Kasyful Ghummah,
juz. I, hal. 237). Al-Majlisi mengokohkan bahwa Sayyidah Fathimah t berwasiat agar Asma’ binti Umais
turut mengkafani dan mengantarkan jenazah Sayyidah Fathimah t, kemudian Asma’ melaksanakan wasiat tersebut (Jila’ul Uyun, hal. 235 dan 242). Hal
itu tidak mungkin dilakukan tanpa seizin Abu Bakar t sebagai suaminya. Sebab, seorang istri yang shalehah, tidak
mungkin keluar rumah tanpa izin sang suami. Jika Asma' bukan wanita yang salehah,
tentu sayyidina Ali t tidak akan menikahinya. Sebagaimana firman Allah SWT:
اَلخَبِيْثَاتُ
لِلْخَبِيْثِيْنَ وَالخَبِيْثُوْنَ لِلْخَبِيْثَاتِ وَالطَّيِّبٰتُ لِلطَّيِّبِيْنَ وَالطَّيِّبُوْنَ لِلطَّيِّبٰتِ أُوْلَئِۤكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا
يَقُوْلُوْنَ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيْـمٌ.
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan
laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan
wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang
baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu
bersih dari apa yang dituduhkan oleh
mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rizki yang mulia (syurga).”
(QS. al-Nuur: 26)
Fakta-fakta
tersebut menambah keyakinan Ahlussunnah Wal Jama’ah bahwa Sayyidina Ali t tidak memiliki masalah dengan Sayyidina Abu Bakar t, bahkan Sayyidina Ali t sejak awal turut membai’at Sayyidina Abu Bakar t sebagai Khalifah pertama sebagaimana yang diriwayatkan
oleh Ibn Hibban (Irsyad As-Sari, juz.
VI, hal. 377) dan Ibn al-Atsir (Al-Kamil, juz. II, hal. 220). Yang
dikuatkan oleh pernyataan
Sayyidina Ali t ketika membaiat Sayyidina Abu Bakar t, beliau mengatakan:
وَاِنَّا لَنَرَى أَبَا بَكْرٍ
أَحَقَّ النَّاسِ بِهَا
“Kami melihat Abu Bakar t memang orang yang paling berhak menjadi khalifah”. (Syarh
Nahj al-Balaghah, juz I hal 132)
Bahkan,
ketika Sayyidina Ali t diminta kesanggupannya untuk menjadi khalifah, beliau berkomentar sebagai
berikut:
دَعُوْنِي
وَالْتَمِسُوْا غَيْرِي فَأَنْ أَكُوْنَ لَكُمْ وَزِيْرًا خَيْرٌ لَكُمْ مِنْ أَنْ
أَكُوْنَ عَلَيْكُمْ أَمِيْرًا.
“Tinggalkan aku, dan cari orang lain.
Bagiku, menjadi wazir (menteri) lebih baik daripada menjadi Amir (khalifah)
bagi kalian”. (Nahj Al-Balaghah, hal 181-182)
Selanjutnya, ketika Sayyidina
Ali t didesak agar menjadi khalifah pasca terbunuhnya Sayyidina Utsman t, beliau menolak. Dan ketika desakan itu tidak mampu beliau bendung, beliau
menerimanya dan menyatakan demikian:
وَاللهِ مَا كَانَتْ لِي فِي
الْخِلَافَةِ رَغْبَةٌ وَلَا فِي الْوِلَايَةِ إِرْبَةٌ, وَلَكِنَّكُمْ دَعَوْتُمُوْنِي
إِلَيْهَا, وَحَمَلْتُمُوْنِي عَلَيْهَا.
“Demi Allah! Aku sama sekali tidak
menghendaki khilafah, dan tidak ada hasrat hati untuk menduduki wilayah, hanya
saja kalian mengajakku dan membawaku padanya (kekhilafahan)”.(Nahj
Al-Balaghah, hal 322)
Berbagai
pernyataan tersebut merupakan indikator yang jelas bahwa Sayyidina Ali t benar-benar tidak mendapatkan wasiat dari Rasulullah SAW untuk menjadi khalifah.
Dengan bukti beliau menyatakan: "hanya
saja kalian mengajakku dan membawaku padanya (kekhilafahan)". Artinya yang menyuruh menjadi khalifah itu para sahabat dan bukan
Rasulullah SAW.
Dengan
demikian antara Sayyidina Ali t dan Sayyidina Abu Bakar t pada hakikatnya telah terjalin tautan kasih dan tambatan
sayang yang kokoh bak karang di tengah lautan yang tak pernah goyah oleh
deburan ombak yang dahsyat sekalipun. Begitu juga dengan Sayyidina Umar t, Sayyidina Utsman t dan para sahabat y lainnya. Ini adalah bukti kesuksesan Nabi Muhammad r dalam membimbing Ahlul Bait dan para sahabatnya.
Sejatinya,
kalau dipikirkan dengan sederhana semua umat Islam mengetahui bahwa Sayyidina Abu
Bakar t dan Sayyidina Umar t adalah mertua dari Rasulullah r. Sayyidah ’Aisyah binti Abu Bakar dan Sayyidah Hafshah
binti Umar dinikahi Rasulullah r. Sementara dua puteri Rasulullah Sayyidah Ruqayyah dan Sayyidah
Ummu Kultsum dinikahi oleh Sayyidina Utsman t secara berurutan. Sedangkan Sayyidah Fatimah adalah
isteri Sayyidina Ali t. Nabi r tentu tidak salah dalam memilih mertua dan menantu
karena beliau terjaga dari berbuat kesalahan (ma’shum).
Jika kita benar-benar
mencintai Ahlul Bait dan sahabat Nabi Muhammad r, tentu kita harus mencontoh sikap santun dan kerendahan
hati mereka. Sebagai orang terdekat Nabi Muhammad r, yang bersih hati dan lidahnya, mereka jauh dari hal-hal
yang mengotorinya, semisal umpatan dan caci maki, apalagi hasut dan dengki.
Semua itu jauh dari mereka, sejauh panggang dari api, walaupun di sisi lain tanpa
harus menumbuhkan fanatisme buta yang berujung pada kultus yang dilarang agama.
Begitu pula sebaliknya, sikap anti pati, memusuhi apalagi mengkafirkan generasi
terbaik Islam itu harus dijauhkan dari dalam dada kita.
Inilah cerminan sikap tawassuth,
tawazun dan i’tidal golongan
Aswaja kepada Ahlul Bait dan sahabat Nabi r. Dan dengan cara inilah kita mencintai
ahlul bait dan sahabat Nabi r secara proporsional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar