Setelah kaum Wahabi melalui pemberontakan yang mereka lakukan pada
tahun 1925 berhasil menguasai seluruh daerah Hejaz, maka mereka mengubah
nama negeri Hejaz dengan nama Saudi Arabia. Dengan dukungan sepenuhnya
dari raja mereka yang pertama, Ibnu Sa’ud, mereka mengadakan
perombakan-perombakan secara radikal terhadap tata cara kehidupan
masyarakat. Tata kehidupan keagamaan, mereka sesuaikan dengan tata cara
yang dianut oleh golongan Wahabi, yang antara lain adalah ingin
melenyapkan semua batu nisan kuburan dan meratakannya dengan tanah.
Keadaan tersebut sangat memprihatinkan bangsa Indonesia yang banyak
bermukim di negeri Hejaz, yang menganut paham Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah,dengan memilih salah satu dari empat madzhab. Mereka sangat
terkekang dan tidak mempunyai kebebasan lagi dalam menjalankan ibadah
sesuai dengan paham yang mereka anut. Hal ini dianggap oleh bangsa
Indonesia sebagai suatu persoalan yang besar.
Persoalan tersebut oleh bangsa Indonesia tidak dianggap sebagai
persoalan nasional bangsa Arab saja, melainkan dianggap sebagai
persoalan internasional, karena menyangkut kepentingan ummat Islam di
seluruh dunia. Oleh karena itu, para tokoh ulama di Jawa Timur
menganggap penting untuk membahas persoalan tersebut. Dipelopori oleh
alm. KH. Abdul Wahab Hasbullah dan almarhum hadlratus syaikh KH. Hasyim
Asy’ari, diadakanlah pertemuan di langgar H. Musa Kertopaten Surabaya.
Pada pertemuan tersebut dilahirkan satu organisasi yang diberi nama
Comite Hejaz, yang anggotanya terdiri dari para tokoh tua dan para tokoh
muda.
Semula Comite Hejaz bermaksud akan mengirimkan utusan ke tanah Hejaz
untuk menghadap raja Ibnu Sa’ud. Akan tetapi oleh karena satu dan lain
hal pengiriman utusan ditangguhkan, dan sebagai gantinya hanya
mengirimkan telegram kepada raja Ibnu Sa’ud.
Pada
tanggal 31 Januari 1926 M. atau 16 Rajab 1345 H, hari Kamis, di lawang
Agung Ampel Surabaya, diadakan pertemuan yang disponsori oleh Comite
Hejaz sebagai realisasi dari gagasan yang timbul pada pertemuan
sebelumnya. Pada pertemuan ini, lahirlah organisasi baru yang diberi
nama “JAM’IYYAH NAHDLATUL ULAMA” dengan susunan pengurus HB (Hoof
Bestuur) sebagai berikut:
Kehadiran Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ dimaksudkan sebagai suatu
organisasi yang dapat mempertahankan ajaran Ahlus Sunnah Wal Jama’ah
dari segala macam intervensi (serangan) golongan-golongan Islam di luar
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Indonesia pada khususnya dan di seluruh
dunia pada umumnya; dan bukan hanya sekedar untuk menghadapi golongan
Wahabi saja sebagaimana Comite Hejaz. Disamping itu juga dimaksudkan
sebaga organisasi yang mampu memberikan reaksi terhadap tekanan-tekanan
yang diberikan oleh Pemerintah Penjajah Belanda kepada ummat Islam di
Indonesia.
Setelah Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ lahir pada tanggal 31 Januari 1926
M, maka Comite Hejaz dibubarkan. Sedangkan semua tugas Comite Hejaz
yang belum dilaksanakan, dilimpahkan seluruhnya kepada Jam’iyyah NU.
Alhamdulillah, meskipun Jam’iyyah NU baru saja lahir, ternyata telah
mampu melaksanakan tugas-tugas yang berat; baik tugas yang dilimpahkan
oleh Comite Hejaz, maupun tugas yang diharapkan oleh ummat Islam
kepadanya. Tugas-tugas tersebut antara lain:
Pada bulan Februari 1926 M. setelah berhasil menyelenggarakan
kongres Al Islam di Bandung yang dihadiri oleh tokoh-tokoh organisasi
Islam selain NU, seperti: PSII, Muhammadiyah dan lain-lainnya. Diantara
keputusan kongres tersebut adalah mengirimkan dua orang utusan, yaitu:
H.Umar Said Tjokroaminoto dari PSII dan KH. Mas Mansur dari
Muhammadiyah, ke Muktamar Alam Islam yang diselenggarakan oleh raja Ibnu
Saud (raja Saudi Arabia) di Makkah. Disamping itu, Jam’iyyah NU juga
mengirimkan utusan yang khusus membawa amanat NU, yaitu: KH. Abdul Wahab
Hasbullah dan KH. Ahmad Ghonaim Al Misri. Alhamdulillah kedua utusan
ini berhasil dengan baik. Kedua beliau ini pulang dengan membawa surat
dari raja Sa’ud ke Indonesia tertanggal 28 Dzul Hijjah 1347 H./ 13 Juni
1928 M., nomor: 2082, yang isinya antara lain menyatakan bahwa raja Ibnu
Sa’ud menjanjikan akan membuat satu ketetapan yang menjamin setiap
ummat Islam untuk menjalankan Agama Islam menurut paham yang dianutnya.
Sesuai dengan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia, maka sejak
lahir, Jam’iyyah NU telah berani memberikan reaksi secara aktif terhadap
rencana pemerintah Penjajah Belanda mengenai:
- Ordonansi Perkawinan atau Undang-Undang Perkawinan, yang isinya
mengkombinasikan hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum yang dibawa
Belanda dari Eropa.
- Pelimpahan pembagian waris ke Pengadilan Negeri (Nationale Raad) dengan menggunakan ketentuan hukum di luar Islam.
- Persoalan pajak rodi, yaitu pajak yang dikenakan kepada warga negara Indonesia yang bermukim di luar negeri.
- Dan lain-lainnya.
Walhasil, meskipun NU tidak pernah menyatakan sebagai Partai Politik, namun yang ditangani adalah soal-soal politik.
1929-1942
Pada tanggal 5 September 1929 Jam’iyyah NU mengajukan Anggaran Dasar
(Statuten) dan Anggaran Rumah Tangga (Huishoudelijk Reglemen) yang telah
disusun kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dan pada tanggal 6 Februari
1930 mendapat pengesahan dari Pemerintah Hindia Belanda sebagai
organisasi resmi dengan nama: “PERKUMPULAN NAHDLATUL ULAMA” untuk jangka
waktu 29 tahun terhitung sejak berdiri, yaitu:
31 Januari 1926.
Hoofbestuur (Pengurus Besar) Nahdlatul Ulama’ juga berusaha membuat
lambang NU dengan jalan meminta kepada para Kyai untuk melakukan
istikharah. Dan ternyata Almarhum KH. Ridlwan Abdullah, Bubutan Surabaya
berhasil. Dalam mimpi, beliau melihat gambar lambang itu secara lengkap
seperti lambang yang sekarang; tanpa mengetahui makna simbol-simbol
yang terdapat dalam lambang tersebut satu-persatu.
Setelah berdiri secara resmi, Nahdlatul Ulama’ mendapat sambutan dari
seluruh masyarakat Indonesia yang sebagian besar berhaluan salah satu
dari madzhab empat. Sehingga dalam waktu yang relatif singkat, 4 sampai 5
bulan, sudah terbentuk 35 cabang. Hal ini disebabkan oleh beberapa
faktor, yang antara lain:
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ dipimpin oleh para ulama’ yang menjadi
guru dari para kyai yang tersebar di seluruh Nusantara, khususnya
Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari.
Kesadaran ummat Islam Indonesia akan keperluan organisasi Islam
sebagai tempat menyalurkan aspirasi dan sebagai kekuatan sosial yang
tangguh dalam menghadapi tantangan dari luar.
Sebagai organisasi sosial yang harus menangani semua kepentingan
masyarakat, Nahdlatul Ulama’ memandang sangat perlu untuk membentuk
kader-kader yang terdiri dari generasi muda yang sanggup melaksanakan
keputusan-keputusan yang telah diambil oleh NU. Untuk itu, pada tanggal
12 Februari 1938, atas prakarsa KH. Abdul Wahid Hasyim selaku konsul
Jawa Timur, diselenggarakan konferensi Daerah Jawa Timur yang menelorkan
keputusan untuk menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu mendirikan
madrasah-madrasah, disamping sistem pendidikan pondok pesantren.
Madrasah-madrasah yang didirikan itu terdiri dari dua macam, yaitu:
* Madrasah Umum, yang terdiri dari:
o Madrasah Awwaliyah, dengan masa belajar 2 tahun.
o Madrasah Ibtidaiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Tsanawiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Mu’allimin Wustha, dengan masa belajar 2 tahun.
o Madrasah Mu’allimin ‘Ulya, dengan masa belajar 3 tahun.
* Madrasah Kejuruan (Ikhtishashiyyah), yang terdiri dari:
o Madrasah Qudlat (Hukum).
o Madrasah Tijarah (Dagang).
o Madrasah Nijarah (Pertukangan).
o Madrasah Zira’ah (Pertanian).
o Madrasah Fuqara’ (untuk orang-orang fakir).
o Madrasah Khusus.
Kelahiran Al Majlis Al Islamiy Al A’la (MIAI)
Pada masa penjajahan Belanda, ummat Islam Indonesia selalu mendapat
tekanan-tekanan dari pemerintah penjajah Belanda, disamping
penghinaan-penghinaan yang dilakukan oleh golongan di luar Islam kepada
agama Islam, Al Qur’an dan Nabi Besar Muhammad saw.. Untuk menghadapi
hal tersebut, maka Nahdlatul Ulama’ memandang perlu untuk mempersatukan
seluruh potensi ummat Islam di Indonesia.
Pada tahun 1937 Nahdlatul Ulama’ telah memelopori persatuan ummat
Islam di seluruh Indonesia dengan membidani kelahiran dari Al Majlis al
Islamiy al A’la Indonesia (MIAI), dengan susunan dewan sebagai berikut:
Ketua Dewan : KH. Abdul Wahid Hasyim, dari NU
Wakil Ketua Dewan : W. Wondoamiseno, dari PSII
Sekretaris (ketua) : H. Fakih Usman, dari Muhammadiyah
Penulis : S.A. Bahresy, dari PAI
Bendahara : 1. S. Umar Hubeis, dari Al Irsyad
2. K.H. Mas Mansur, dari Muhammadiyah
3. Dr. Sukiman, dari PII
Adapun tujuan perjuangan yang akan dicapai oleh MIAI antara lain sebagai berikut:
Menggabungkan segala perhimpunan ummat Islam Indonesia untuk bekerja bersama-sama.
Berusaha mengadakan perdamaian apabila timbul pertikaian di antara
golongan ummat Islam Indonesia, baik yang telah tergabung dalam MIAI
maupun belum.
Merapatkan hubungan antara ummat Islam Indonesia dengan ummat Islam di luar negeri.
Berdaya upaya untuk keselamatan agama Islam dan ummatnya.
Membangun Konggres Muslimin Indonesia (KMI) sesuai dengan pasal 1 Anggaran Dasar MIAI.
1942-1952 ; Kelahiran Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI)
Pada masa penjajahan Jepang, MIAI masih diberi hak hidup oleh
Pemerintah Penjajah Jepang. Malah suara MIAI tetap diijinkan untuk
terbit selama isinya mengenai hal-hal berikut:
- Menyadarkan rakyat atas keimanan yang sebenar-benarnya dan berusaha dengan sekuat tenaga bagi kemakmuran bersama.
- Penerangan-penerangan dan tafsir Al Qur’an.
- Khutbah-khutbah dan pidato-pidato keagamaan yang penting dari para ulama’ atau kyai yang terkenal.
- Memberi keterangan kepada rakyat, bagaimana daya upaya Dai Nippon yang sesungguhnya untuk membangunkan Asia Timur Raya.
- Memperkenalkan kebudayaan Dai Nippon dengan jalan berangsur-angsur.
Akan tetapi setelah Letnan Jendral Okazaki selaku Gunseikan pada
tanggal 7 Desember 1942 berpidato di hadapan para ulama’ dari seluruh
Indonesia yang dipanggil ke istana Gambir Jakarta, yang isinya antara
lain: Akan memberikan kedudukan yang baik kepada pemuda-pemuda yang
telah dididik secara agama, tanpa membeda-bedakan dengan golongan lain
asal saja memiliki kecakapan yang cukup dengan jabatan yang akan
dipegangnya, maka sekali lagi Nahdlatul Ulama’ tampil ke depan untuk
memelopori kalahiran dari Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI)
sebagai organisasi yang dianggap mampu membereskan segala macam
persoalan kemasyarakatan; baik yang bersifat sosial maupun yang bersifat
politik, agar keinginan untuk menuju Indonesia Merdeka, bebas dari
segala macam penjajahan segera dapat dilaksanakan. Dan setelah Masyumi
lahir, maka MIAI pun dibubarkan.
Pembentukan laskar rakyat
Pemerintah Penjajah Jepang memang mempunyai taktik yang lain dengan
Penjajah Belanda terhadap para ulama’ di Indonesia. Dari informasi yang
diberikan oleh para senior yang dikirim oleh pemerintah Jepang ke
Indonesia jauh sebelum masuk ke Indonesia (mereka menyamar sebagai
pedagang kelontong dan lain sebagainya yang keluar masuk kampung),
penjajah Jepang telah mengetahui bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas
beragama Islam serta menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, semuanya
ta’at, patuh dan tunduk kepada komando yang diberikan oleh para ulama’.
Oleh karena itu, penjajah Jepang ingin merangkul para ulama’ untuk
memukul bangsa Indonesia sendiri. Itulah sebabnya, maka dengan berbagai
macam dalih dan alasan, penjajah Jepang meminta kepada para ulama’ agar
memerintahkan kepada para pemuda untuk memasuki dinas militer, seperti
Peta, Heiho dan lain sebagainya.
Sedang Nahdlatul Ulama’ sendiri mempunyai maksud lain, yaitu bahwa
untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dan mempertahankan kemerdekaan,
mutlak diperlukan pemuda-pemuda yang terampil mempergunakan senjata dan
berperang. Untuk itu Nahdlatul Ulama’ berusaha memasukkan pemuda-pemuda
Ansor dalam dinas Peta dan Hisbullah. Sedangkan untuk kalangan kaum tua,
Nahdlatul Ulama’ tidak melupakan untuk membentuk Barisan Sabilillah
dengan KH. Masykur sebagai panglimanya; meskipun sebenarnya selama
penjajahan Jepang NU telah dibubarkan. Jadi peran aktif NU selama
penjajahan Jepang adalah menggunakan wadah MIAI dan kemudian MASYUMI.
Masyumi menjelma sebagai Partai Politik
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Nahdlatul Ulama’ yang
dibubarkan oleh penjajah Jepang bangkit kembali dan mengajak kepada
seluruh ummat Islam Indonesia untuk membela dan mempertahankan tanah air
yang baru saja merdeka dari serangan kaum penjajah yang ingin merebut
kembali dan merampas kemerdekaan Indonesia.
Rais Akbar dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama’, Hadlratus Syaikh KH.
Hasyim Asy’ari, mengeluarkana fatwa bahwa mempertahankan dan membela
kemerdekaan Indonesia adalah wajib hukumnya.
Seruan dan ajakan NU serta fatwa dari Rais Akbar ini mendapat
tanggapan yang positif dari ummat Islam; dan bahkan berhasil menyentuh
hati nurani arek-arek Surabaya, sehingga mereka tidak mau ketinggalan
untuk memberikan andil yang tidak kecil artinya dalam peristiwa 10
November ’45
Pengurus Besar NU hampir sebulan lamanya mencari jalan keluar untuk
menanggulangi bahaya yang mengancam dari fihak penjajah yang akan
menyengkeramkan kembali kuku-kuku penjajahannya di Indonesia.
Kelambanan NU dalam hal tersebut disebabkan karena pada masa
penjajahan Jepang NU hanya membatasi diri dalam pekerjaan-pekerjaan yang
bersifat agamis,sedang hal-hal yang menyangkut perjuangan kemerdekaan
atau berkaitan dengan urusan pemerintahan selalu disalurkan dengan nama
Masyumi.
Atas prakarsa Masyumi, di bawah pimpinan KH. Abdul Wahid Hasyim, maka
Masyumi yang pada masa penjajahan Jepang merupakan federasi dari
organisasi-organisasi Islam, mengadakan konggresnya di Yogyakarta pada
tanggal 7 November 1945. Pada konggres tersebut telah disetujui dengan
suara bulat untuk meningkatkan Masyumi dari Badan Federasi menjadi
satu-satunya Partai Politik Islam di Indonesia dengan Jam’iyyah
Nahdlatul Ulama’ sebagai tulang punggungnya. Adapun susunan Dewan
Pimpinan Partai Masyumi secara lengkap adalah sebagai berikut:
Majlis Syura (Dewan Partai)
Ketua Umum : Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
Ketua Muda I : Ki Bagus Hadikusuma
Ketua Muda II : KH. Abdul Wahid Hasyim
Ketua Muda III : Mr. Kasman Singodimejo
Anggota : 1. RHM. Adnan.
2. H. Agus Salim.
3. KH. Abdul Wahab Hasbullah.
4. KH. Abdul Halim.
5. KH. Sanusi.
6. Syekh Jamil Jambek
Pengurus Besar
Ketua : Dr. Sukirman
Ketua Muda I : Abi Kusno Tjokrosuyono
Ketua Muda II : Wali Al Fatah
Sekretaris I : Harsono Tjokreoaminoto
Sekretaris II : Prawoto Mangkusasmito
Bendahara : Mr. R.A. Kasmat
Nahdlatul Ulama Memisahkan Diri Dari Masyumi
Perpecahan yang terjadi dalam tubuh Partai Masyumi benar-benar di
luar keinginan Nahdlatul Ulama’. Sebab Nahdlatul Ulama’ selalu menyadari
betapa pentingnya arti persatuan ummat Islam untuk mencapai
cita-citanya. Itulah yang mendorong Nahdlatul Ulama’ yang dimotori oleh
KH.Abdul Wahid Hasyim untuk mendirikan MIAI, MASYUMI, dan akhirnya
mengorbitkannya menjadi Partai Politik. Bahkan Nahdlatul Ulama’ adalah
modal pokok bagi existensi Masyumi, telah dibuktikan oleh Nahdlatul
Ulama’ pada konggresnya di Purwokerto yang memerintahkan semua warga NU
untuk beramai-ramai menjadi anggauta Masyumi. Bahkan pemuda-pemuda Islam
yang tergabung dalam Ansor Nahdlatul Ulama’ juga diperintahkan untuk
terjun secara aktif dalam GPII (Gabungan Pemuda Islam Indonesia).
Akan tetapi apa yang hendak dikata, beberapa oknum dalam Partai
Masyumi berusaha dengan sekuat tenaga untuk menendang NU keluar dari
Masyumi. Mereka beranggapan bahwa Majlis Syura yang mempunyai kekuasaan
tertinggi dalam Masyumi sangat menyulitkan gerak langkah mereka dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat politis. Apalagi segala
sesuatu persoalan harus diketahui / disetujui oleh Majlis Syura, mereka
rasakan sangat menghambat kecepatan untuk bertindak. Dan mereka tidak
mempunyai kebebasan untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan
politik. Akhirnya ketegangan hubungan antara ulama’/kyai dengan
golongan intelek yang dianggap sebagai para petualang yang berkedok
agama semakin parah. Karena keadaan semacam itu, maka para pemimpin PSII
sudah tidak dapat menahan diri lagi. Mereka mengundurkan diri dari
Masyumi dan aktif kembali pada organisasinya; sampai kemudian PSII
menjadi partai.
Pengunduran diri PSII tersebut oleh pemimpin-pemimpin Masyumi masih
dianggap biasa saja. Bahkan pada muktamar Partai Masyumi ke-IV di
Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 15 – 19 Desember 1949, telah
diputuskan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga. Majlis
Syura yang semula menjadi dewan yang tertinggi diubah menjadi Penasihat
yang tidak mempunyai hak veto; dan nasihatnya sendiri tidak harus
dilaksanakan.
Sikap Masyumi yang telah merendahkan derajat para ulama’ tersebut
dapat ditolelir oleh warga Nahdlatul Ulama’. Namun PBNU masih berusaha
keras untuk memperhatikan persatuan ummat Islam. Nahdlatul Ulama’
meminta kepada pimpinan-pimpinan Masyumi agar organisasi ini
dikembalikan menjadi Federasi Organisasi-Organisasi Islam, sehingga
tidak menyampuri urusan rumah tangga dari masing-masing organisasi yang
bergabung di dalamnya. Namun permintaan ini tidak digubris, sehingga
memaksa Nahdlatul Ulama’ untuk mengambil keputusan pada muktamar NU di
Palembang, tanggal: 28 April s/d 1 Mei 1952 untuk keluar dari Masyumi,
berdiri sendiri dan menjadi Partai.
Nahdlatul Ulama’ membentuk Liga Muslimin
Setelah Nahdlatul Ulama’ keluar dari Masyumi, Jam’iyyah NU yang sudah
menjadi Partai Politik ternyata masih gandrung pada persatuan ummat
Islam Indonesia. Untuk itu Nahdlatul Ulama’ mengadakan kontak dengan
PSII dan PERTI membentuk sebuah badan yang berbentuk federasi dengan
tujuan untuk membentuk masyarakat Islamiyah yang sesuai dengan
hukum-hukum Allah dan sunnah Rasulullah saw. Gagasan NU ini mendapat
tanggapan yang positif dari PSII dan PERTI, sehingga pada tanggal 30
Agustus 1952 diakan pertemuan yang mengambil tempat di gedung Parlemen
RI di Jakarta, lahirlah Liga Muslimin Indonesia yang anggautanya terdiri
dari Nahdlatul Ulama’, PSII, PERTI dan Darud Dakwah Wal Irsyad.
Dekade 1965
Selama Nahdlatul Ulama’ menjadi Partai Islam, dalam gerak langkah nya
mengalami pasang naik dan juga ada surutnya. Saat kabut hitam
melingkupi awan putih wilayah nusantara pada tanggal 30 September 1965,
kepeloporan Nahdlatul Ulama’ muncul dan mampu mengimbangi kekuatan anti
Tuhan yang menamakan dirinya PKI (Partai Komunis Indonesia). Sikap
Nahdlatul Ulama’ pada saat itu betul-betul sempat membuat kejutan pada
organisasi-organisasi selain NU.
Keberhasilan Nahdlatul Ulama’ dalam menumbangkan PKI dapat diakui
oleh semua fihak. Dan hal ini menambah kepercayaan Pemerintah terhadap
Nahdlatul Ulama’. Nahdlatul Ulama’ sebagai Partai Politik sudah membuat
kagum dan dikenal serta disegani oleh setiap orang di kawasan Indonesia,
bahkan oleh dunia internasional. Apalagi mampu menumbangkan dan
menumpas pemberontakan Partai Komunis yang belum pernah dapat ditumpas
oleh negara yang manapun di seluruh dunia. Sehingga dengan demikian,
Nahdlatul Ulama’ dihadapkan kepada permasalahan-permasalahan yang sangat
komplek dengan berbagai tetek-bengeknya. Namun Nahdlatul Ulama’ sendiri
dalam hal rencana perjuangannya yang terperinci, mengalami pembauran
kepentingan partai dengan kepentingan pribadi dari para pimpinannya.
Oleh sebab itu, pada sekitar tahun 1967, Nahdlatul Ulama’ yang sudah
berada di puncak mulai menurun. Hal ini disebabkan antara lain oleh
pergeseran tata-nilai, munculnya tokoh-tokoh baru, ketiadaan generasi
penerus dan lain sebagainya.
Pergeseran tata-nilai ini terjadi di saat Nahdlatul Ulama’ menghadapi
Pemilihan Umum tahun 1955. Nahdlatul Ulama’ harus mempunyai anggauta
secara realita, terdaftar dan bertanda anggauta secara pasti. Demi
pengumpulan suara, maka apa-apa yang menjadi tujuan Nahdlatul Ulama’,
kini dijadikan nomor dua. Partai Nahdlatul Ulama’ membutuhkan anggauta
sebanyak-banyaknya, sekalipun mereka bukan penganut aliran Ahlus Sunnah
Wal Jama’ah. Akibat dari pergeseran nilai inilah yang membuat kabur
antara tujuan, alat dan sarana. Sebagai Partai Politik yang militan,
Nahdaltul Ulama’ harus berusaha agar dapat merebut kursi Dewan
Perwakilan Rakyat sebanyak mungkin; demikian pula halnya jabatan-jabatan
sebagai menteri. Hal itu dimaksudkan sebagai alat untuk dapat
melaksanakan program dalam mencapai tujuan partai. Akan tetapi karena
pengaruh lingkungan dan juga karena pergeseran nilai, maka
jabatan-jabatan yang semula dimaksudkan sebagai alat yang harus dicapai
dan dimiliki, kemudian berubah menjadi tujuan. Dan hal ini sangat
berpengaruh bagi kemajuan dan kemunduran partai dalam mencapai tujuan.
Pada sekitar tahun 1967/1968, Nahdlatul Ulama’ mencapai puncak
keberhasilan. Akan tetapi sayang sekali, justeru pada saat itu ciri khas
Nahdlatul Ulama telah menjadi kabur. Pondok Pesantren yang semula
menjadi benteng terakhir Nahdlatul Ulama’ sudah mulai terkena erosi,
sebagai akibat perhatian Nahdlatul Ulama’ yang terlalu dicurahkan dalam
masalah-masalah politik.
Penyederhanaan Partai-Partai
Pada pemilu tahun 1971, Nahdlatul Ulama’ keluar sebagai pemenang
nomor dua. Hal tersebut membawa anggapan baru bagi masyarakat umum bahwa
sebenarnya kepengurusan Nahdlatul Ulama’ adalah sebagai hal yang luar
biasa; sementara di pihak lain terdapat dua partai yang tidak
mendapatkan kursi sama sekali, yaitu Partai MURBA dan IPKI, yang berarti
aspirasi politiknya terwakili oleh kelompok lain. Dari sinilah timbul
gagasan untuk menyederhanakan partai-partai politik.
Kehendak menyederhanakan partai-partai politik tersebut, datangnya
memang bukan dari Nahdlatul Ulama’. Akan tetapi Nahdlatul Ulama’
menyambut dengan gembira. Dan dalam penyederhanaan tersebut Nahdlatul
Ulama’ tidak membentuk federasi, akan tetapi melakukan fusi. Namun
demikian, ganjalan pun terjadi, karena memang masing-masing pihak yang
berfusi mempunyai tata-nilai sendiri-sendiri.
Bagaimanakah kenyataannya?
Kehidupan politik yang ditentukan oleh golongan elit telah menyeret
para pemimpin dan tokoh-tokoh Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ ke dalam
kehidupan elit. Padahal kehidupan elit semacam ini tidak terdapat dalam
tubuh Nahdlatul Ulama’. Sehingga kehidupan elit ini sebagai barang baru
yang berkembang biak dan hidup subur di kalangan Nahdlatul Ulama’. Maka
timbullah pola pemikiran baru yang mengarah kepada kehidupan
individualis, agar tidak tergeser dari rel yang menuju kepada kehidupan
elit. Dari fusi inilah rupa-rupanya yang membuat parah kondisi yang asli
dari Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ sejak mula pertama didirikan sebagai
jam’iyyah.
Nahdlatul Ulama’ Kembali Kepada Khittah An Nahdliyah
Selama Nahdlatul Ulama’ berfusi dalam tubuh Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), tata-nilai semakin berjurang lebar; sementara dalam
tubuh Nahdlatul Ulama’ sendiri terdapat banyak ketimpangan dan
kesimpang-siuran. Dalam kurun waktu yang lama, secara tidak disadari,
Nahdlatul Ulama’ telah menjadi kurang peka dalam menanggapi dan
mengantisipasi perkembangan keadaan, khususnya yang menyangkuat
kepentingan ummat dan bangsa. Salah satu sebabnya adalah ketelibatan
Nahdlatul Ulama’ secara berlebihan dalam kegiatan politik praktis; yang
pada gilirannya telah menjadikan Nahdlatul Ulama’ tidak lagi berjalan
sesuai dengan maksud kelahirannya, sebagai jam’iyyah yang ingin
berkhidmat secara nyata kepada agama, bangsa dan negara. Bahkan hal
tersebut telah mengaburkan hakekat Nahdlatul Ulama’ sebagai gerakan yang
dilakukan oleh para ulama’. Tidak hanya sekedar itu saja yang sangat
menyulitkan Nahdlatul Ulama’ dalam kancah politik selama berfusi dalam
PPP; akan tetapi silang pendapat di kalangan NU sendiri semakin tajam,
sehingga sempat bermunculan berbagai hepothesa tentang bagaimana dan
siapa sebenarnya Nahdlatul Ulama’.
Dari kejadian demi kejadian dan bertolak dari keadaan tersebut, maka
sangat dirasakan agar Nahdlatul Ulama’ secepatnya mengembalikan citranya
yang sesuai dengan khittah Nahdlatul Ulama’ tahun 1926. Hal ini berarti
bahwa Nahdlatul Ulama’ harus melepaskan diri dari kegiatan politik
praktis secara formal, seperti yang telah diputuskan dalam Musyawarah
Alim Ulama’ Nahdlatul Ulama’ (Munas NU) di Pondok Pesantren Salafiyah
Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur tahun 1982.
sumber : pesantren.or.id.29.masterwebnet.com