Konstruksi Sunnisme Kalangan
Tradisionalis Islam di Indonesia
(analisis kritis atas formulasi ASWAJA – NU)
Oleh :
H.Abdullah Syamsul A, S.Ag. M.H.I.
Taqdim
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah , yang dalam khazanah
barat disebut Sunnisme, adalah sebuah ideologi (faham keagamaan)
yang memiliki nuansa dinamis. Dinamikanya bisa dilihat dari keragaman
masing-masing kelompok pendukungnya dalam mengaktualisasikan ideologi ini.
Keragaman tersebut timbul dari perbedaan pendekatan atau cara pemahaman
pendukungnya terhadap ideologi Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah. Selain itu
disebabkan perbedaan konteks historisitas di mana dan kapan ideologi ini
diaktualisasikan.
Di Indonesia. Diskursus Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah memiliki
nuansa yang khas. Ideologi ini diakui oleh mayoritas umat Islam, walaupun wujud
aktualisasinya berbeda-beda antara satu kelompok dengan kelompok yang lainnya.
Di sinilah, Nahdlotul ‘Ulama’ (NU) merupakan salah satu fariannya. Organisasi
Islam dengan jumlah massa terbesar ini mempertegas jati dirinya sebagai
“pembela” Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah - - yang dilingkungan NU lebih akrab disebut
dengan akronim “ASWAJA” - -.
Makalah ini akan memfokuskan kajiannya
pada karekter paham keagamaan NU untuk kemudian mencoba menakarnya dengan
konsep Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah : Dalam Lintasan Historis, Politik dan
Pemikiran.
Sejarah telah menuturkan, Walaupun
ajaran dasar tentang sunnah dan Jama’ah ada dalam al-Qur’an
dan Hadits, namun perkataan al-Sunnah dan al-Jama’ah
sebagai idiom sosial-keagamaan Islam muncul setelah beberapa peristiwa politik
dalam sejarah dini Islam. Kaum sunni atau Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, sebagai golongan adalah “produk” sejarah,
politik dan pemikiran Islam.
Apabila kita mau menelusuri dan
menganalisa dengan cermat, maka kita akan memahami bahwa ide paham sunni tidak
dapat dilepaskan dari bibit-bibit perpecahan dikalangan umat Islam yang sudah
tumbuh mulai dari masa Nabi SAW, dan beliau sendiri sangat memprihatinkan hal
itu dan mengemukakan antisipasi-antisipasi. Fenomena yang mengindikasikan bagi
potensi perselisihan dan perpecahan itu adalah suatu ironi yang terjadi pada
diri Rasul Allah SAW sendiri : yaitu ketika beliau wafat, jenazah beliau tidak
segera dikebumikan, dan baru bisa terealisasi tiga hari kemudian. Hal ini sama
sekali tidak sesuai dengan petunjuk-petunjuk beliau. Kalau kita cermati apa yang terjadi selama
tiga hari tersebut?, tidak lain ialah pertikaian politik tentang siapa yang
akan menggantikan beliau dalam kapasitas selaku kepala negara. Dengan
diangkatnya Abu Bakr yang disponsori ‘Umar, persoalan itu memang dapat
terselesaikan(sementara), namun bibit-bibit pertikaian itu tidak semuanya dapat
dimusnahkan.
Meletusnya peperangan antara ‘Ali dengan basis kufah di Irak dan
Mu’awiyah dengan basis Damasakus di Syiria yang sempat memakan korban ribuan
jiwa para sahabat Nabi, kiranya dapat dijadikan sebagai bukti sejarah bahwa
bibit-bibit perpecahan itu memang belum pupus sama sekali. Pertikaian yang
memicu terjadinya perang yang kita kenal dengan sebutan perang siffin
itu sejenak memang dapat dihentikan. Tapi ia masih menuntut korban lagi yaitu
jiwa ‘Ali sendiri, Khalifah bijak yang ke tiga. Tidak lama setelah itu,
berdasarkan penuturan cerita yang cukup variatif, Hasan, putra ‘Ali yang telah
dinobatkan untuk menggantikannya, turun dari kedudukannya, pada tahun 41 H. dan
menyerahkan urusan pemerintahan kepada Mu’awiyah. Peristiwa tersebut nampaknya
sangat melegakan umat Islam, dan tahun itupun disebut ‘a>m
al-Jama>’i, tahun persatuan
menyeluruh. Karena sudah sekian lamanya umat bertikai, maka persatuan kembali
itu membangkitkan kenangan manis masa-masa ‘Abu Bakr dan ‘Umar. Dengan modal itu program-program politik
dapat dimulai lagi, khususnya ekspansi yang sempat tertunda bertahun-tahun. Akan
tetapi, karena bibit-bibit pertikaian tadi memang belum dapat diberangus secara
keseluruhan, maka tidak lama kemudian peristiwa karbala yang amat memilikun
terjadi, ketika Husein putera ‘Ali, terbunuh dengan sangat sadis oleh tentara
Yazid bin Mu’awiyah, yang saat itu telah menggantikan kedudukan ayahnya sebagai
penguasa. Peristiwa itulah yang membangkitkan sentimen simpati dan dukungan
yang luar biasa kepada keluarga ‘Ali, yang kemudian sentimen itu mengkristal
menjadi gerakan yang sangat teguh dan bersemangat. Mereka itulah yang disebut
kaum syiah, dengan jargon utamanya penegakan keadilan dan pembelaan kepada kaum
yang lemah.
Konfrontasi-konfrontasi terus terjadi, di
Hijaz misalnya, telah meletus pertikaan besar antara ‘Abd Allah bin Zubair
(keluarga dekat ‘Aisyah, istreri tercinta Nabi) yang memberontak terhadap rezim
Damaskus. Pertikaian tersebut baru dapat dihentikan setelah Abd Allah bin
Zubair terbunuh. ‘Abd al-Malik bin Marwan, penguasa Damaskus pada saat itu,
berupaya keras agar pembrontakan-pembrontakan bisa dihentikan, dan dunia Islam
dapat dipersatukan kembali. Dengan berbagai cara ia berusaha untuk dapat
menggunakan etos jama’ah dan mengukuhkannya dengan sebaik-baiknya. Upaya itu
nampaknya cukup berhasil, serta mampu melahirkan proses arabisasi (Islamisasi)
yang ujung-ujungnya menghasilkan terbentuknya Dunia Arab yang terbentang dari
Bahrain di Timur sampai Maroko di Barat.
Namun demikian, kenyataan yang selalu
didambakan ini, tidak berlangsung lama. Sebab menjelang akhir abad pertama
Hijriah, Dinasati klan yang pernah
menjadi musuh bebuyutan Klan Nabi (Bani Hasyim), mulai menampakkan tanda-tanda
keruntuhannya. Saat itulah tampil Tokoh yang besar peranannya dalam pertumbuhan
dan perkembangan golongan sunni, yaitu Khalifah ‘Umar bin ‘Abd al-Aziz, yang
kerap sekali dijuluki al-Khalifah al-Khamis ( khalifah yang kelima dari
empat Khulafa’ al-Rasyidin sebelumnya). Ia mengulangi usaha membangkitkan etos
Jama’ah, namun kali ini dengan format keagamaan yang saleh dan lebih
bersungguh-sungguh. Ia canangkan persatuan universal umat Islam yang meliputi
seluruh golongan, tanpa peduli tentang aliran sosial politik keagamaan
masing-masing. Secara simbolik ia wujudkan gagasannya itu dengan mengakui
keabsahan empat khalifah pertama, termasuk ‘Ali yang sejak semula tidak diakui
oleh rezim Damaskus. Dengan sendirinya programnya itu juga meliputi
golongan-golongan syiah dan khawarij, dua kekuatan “subversif” yang sangat
berbahaya bagi rezim Damaskus. Mereka menyambut gagaasan inklusif ini,
sekaligus memanfaatkannya. Tapi nampaknya ‘Umar bin ‘Abd al-‘Aziz cukup tulus
dengan agendanya itu, dan iapun segara mendapatkan dukungan yang antusias dari
masyarakat Madinah, yang selama ini bersikukuh memilih netral dalam menatap
persoalan politik yang terjadi.
Dengan adanya dukungan yang riil dari
komunitas madinah, maka khalifah ini mulai mengarahkan pandangannya ke kota
Nabi tersebut, dan ia meminta kepada salah seorang sarjana terkemuka saat itu,
yang bernama Syihab al-Din al-Zuhri untuk meneliti dan mencatat “Sunnah” penduduk
kota Nabi itu. Dengan gembira ia menyambut perintah itu, dan memulai untuk
mengorek dari komunitas Madinah segala sesutu yang terkait dengan Nabi yang
telah mereka hafal turun temurun, baik perkataan, perbuatan maupun sikap Nabi
itu. Dan Dari sinilah mulai terjadi gerakan penghimpunan dan pencatatan segala
sesuatu yang bersumber dari Nabi, yang kemudian tumbuh menjadi sumber ajaran
islam yang ke dua. Tetapi Usaha Kodifikasi Hadits sebagai agreget konsolidasi
sunni berlangsung cukup lama dengan rentangan waktu satu abad lebih. Proses itu
harus terlebih dahulu menyaksikan tampilnya seorang ahli dan pencipta teori
kritik hadits yaitu Muhammad bin Idris al-Syafi’i (150-204 H). Syafi’i sangat
prihatin dengan mudahnya orang menuturkan hadits, sehingga terjadi kekacauan
antara yang absah dan yang palsu. Metode syafi’i diikuti dan mempengaruhi para
tokoh pemikir Islam saat itu. Namun demikian, teori kritik yang dibangun
syafi’i baru terlaksana dengan baik sekitar setengah abad kemudian, dengan
tampilnya al-Bukhari. Dan sang perintis ini kemudian diikuti oleh Muslim,
al-Tarmidzi, al-Nasa’i, Abu Dawud dan Ibn Majah. Mereka menghasilkan apa yang
kita kenal sekarang dengan “al-Kutub al-Sittah” referensi bidang Hadith
yang dianggap paling baku dikalangan sunni.
Setelah masa itu, proses kodifikasi bisa
dianggap final dengan telah lahirnya enam kitab (disamping
kodifikasi-kodifikasi lain) yang diklaim sebagai rujukan baku kaum sunni dalam bidang hadits. Akan tetapi, perang pemikiran yang disertai
dengan truth claim terus mewarnai sejarah perjalanan pemikiran Islam,
dan kali ini berada pada wilayah bagaimana masing-masing kelompok sosial
politik keagamaan itu memahami kedua sumber ajaran Islam tersebut. Pertikaian
antara mana yang benar dan salah dalam pemahaman agama Islam merembet ke
bidang-bidang lain, utamanya dalam bidang aqa’id . Perbedaan-perbedaan
dalam hal ini semakin menumbuh suburkan terciptanya kelompok-kelompok sosial
politik keagamaan yang memiliki pola pemahaman keagamaan yang berbeda dan
saling mengklaim bahwa dirinyalah yang paling benar. Kelompok-kelompok inilah
yang dalam khazanah Islam dikenal dengan istilah firqah.
Kelompok-kelompok yang menyatakan
sebagai pembela sunnah pun turut ambil bagian dalam hal ini. Dan nampaknya agak
ironis, bahwa konsolidasi faham sunni di
bidang ini diselesaikan oleh seorang bekas “kader” Mu’tazilah, saingan kaum
sunni, yaitu Abu al-Hasan al-Asy’ari. Ia sedemikian suksesnya dalam garapannya
itu, sehingga saat ini hampir seluruh dunia Islam sunni mengikuti teori dan
metodologinya. Rumusan Teologi yang dicetuskan oleh al-Asya’ari (yang sekarang
kita kenal dengan istilah ASWAJA) diperkuat oleh al-Maturidi dan dikembangkan
oleh al-Baghdadi, al-Baqillani dan al-Juwaini, sehingga mengantarkan konsep
teologi ini kepada suatu tahap baru, yaitu sebagai suatu madzhab yang boleh
dikatakan “sempurna” untuk menjawab seluruh tantangan teologis yang berkembang
pada abad ke-4 s/d ke-5 H. Teologi ini bergerak semakin leluasa pada masa
al-Ghazali (antara tahun 450 s/d550 H) sebagai akibat dukungan tidak langsung
dari seorang menteri bernama Nidzam al-Muluk. al-Ghazali sendiri juga pro aktif
dalam mengembangkan teologi Asya’ari terutama dalam bukunya yang berjudul al-Iqtishad
fi al-I’tiqad. Sejak masa al-Ghazali inilah teologi Asy’ari berkembang
dengan pesat karena wataknya yang moderat (al-I’tidal). Berdasarkan
realitas ini, banyak kalangan yang menilai bahwa ditangan al-Ghazali inilah
paham sunni memperoleh konsolidasinya yang terakhir dan “final”. Kemampuan
intelektual al-Ghazali yang luar biasa dan cakupan ilmunya yang meliputi
praktis seluruh kajian keislaman, menjadikannya mampu mempengaruhi dunia Islam.
Dan ia pun disebut “Hujjat al-Islam” (bukti kebenaran Islam).
Hakikat ASWAJA
Bertolak dari beberapa uraian di atas,
nampaknya hal yang perlu ditegaskan di sini adalah suatu fakta yang menunjukkan
bahwa ASWAJA merupakan gerakan pemikiran dan purifikasi tentang ajaran Islam.
Dalam konteks ini orang barat menyebutnya dengan istilah Ortodoks Sunni
School:; suatu lembaga yang berusaha memurnikan kembali ajaran Islam, di
mana pada waktu itu telah terjadi penyimpangan. Pemurnian itu dialamatkan
kepada kelompok MU’TAZILAH, satu sekte dalam teologi Islam yang dianggap
banyak melakukan penyimpangan, terlebih
karena terlalu bebas menggunakan akal pikiran. Sehingga kelompok ini menurut
ASWAJA digolongkan dalam ahl
al-Bid’ah. Oleh karena itu, ASWAJA merupakan kelompok yang berusaha
memulihkan interpretasi terhadap ajaran Islam agar sesuai dengan “ma> ana>
‘alaih wa ashha>bi>”,
yang lebih populer
dengan hadits ASWAJA. Adapun secara trminologis istilah ASWAJA awalnya adalah
sekedar nama dan bukan sebuah institusi formal. Artinya ASWAJA sejak zaman
sahabat sudah ada, tetapi baru bisa menjadi lembaga formal ketika masa
al-Asy’ari, dalam kerangka menghadapi kelompok yang disebut ahl al-Bid’ah.
Sehingga para pemikir Islam saat itu merasa perlu merumuskan acuan yang
dianggap ASWAJA, baik dibidang fiqh, teologi, tasawuf maupun bidang akhlaq.
Dengan demikian, kelompok-kelompok sebelum al-Asy’ari yang mempunyai karakteristik
gerakan yang sama; yaitu menampilkan Islam sesuai dengan “ma> ana>
‘alaih wa ashha>bi>”, seperti gerakan Ahmad bin Hanbal dan
Hanabilah yang dikenal dengan sebutan Ahl al-Hadits juga dikatagorikan
ASWAJA. Bahkan dalam berbagai kesempatan Asy’ari sendiri sangat memuji kelompok
ini, seperti yang dinyatakannya secara eksplisit dalam bukunya yang bernama “
al-Ibanah ‘an Ushul al-Diyanah”.
Posisi Doktrin ASWAJA dalam Jam’iyah NU
Sikap NU yang menempatkan ASWAJA
seabagai Doktrin teologis serta acuan dalam peribadatan, muamalah dan tasawuf,
menunjukkan suatu kesadaran historis dikalangan Nahdliyyin untuk menilai
sekaligus memilih rumusan yang dianggap paling “benar” dan paling “mashlahah”
dalam wacana perkembangan pemikiran
islam. Tetapi, jika kita perhatikan dari sudut kronologi sejarah dan
urutan-urutan waktu, tokoh-tokoh yang dijadikan “panutan” dalam rumusan ASWAJA
itu, antara yang satu dengan yang lain nampak tidak “nyambung”. Sebab,
misalnya, antara perintis madzhab empat yang terdiri dari Imam Malik (80-150
H), Imam Hanafi (93-179 H), Imam Syafi’i (150-205 H) dan Imam Ahmad Ibn Hambal
(164-241 H) dengan dua perumus teologi ASWAJA, yakni al-Asy’ari (260-235) dan al-Maturidi (-333
H), terdapat senjang waktu yang cukup lama. Dalam arti, tidak mungkin perintis
empat madzhab fiqih itu, secara teologis, mengikuti rumusan al-Asy’ari dan
al-Maturidi. Yang terjadi malah sebaliknya. Dua perumus teologi Sunni itu,
dalam bidang fiqih, mengikuti Madzhab Syafi’i dan Hanafi. Padahal teologi atau
“aqidah” menjadi ukuran utama dalam ASWAJA. Contoh lain, adalah tokoh
yang dianggap sebagai perumus tasawuf ASWAJA, Junaid al-Baghdadi (-297 H).
Karena ia lahir dan merumuskan pemikiran tasawufnya sebelum al-Asy’ari dan
al-Maturidi, maka mustahil, secara teologis, ia mengikuti rumusan teologi
al-Asy’ari dan al-Maturidi. Oleh karena itu, rumusan NU tersebut semestinya
mengandung beberapa implikasi untuk mengembangkan dan menetapkan pemahaman
ASWAJA diatas. Pertama, Penelitian lebih mendalam terhadap
karya-karya teologis al-Asy’ari dan al-Maturidi, karya-karya fiqih imam madzhab
empat dan karya-karya tasawuf al-Ghazali dan junaid al-Baghdadi. Kedua, Studi
historis terhadap aliran-aliran yang pernah menjadi pendukung ASWAJA dan
penentangnya. Ketiga, Studi perbandingan dan keterpaduan terhadap
seluruh produk pemikiran para tokoh yang disebut dalam rumusan ASWAJA. Keempat,
Merekonstruksi kembali rumusan ASWAJA diatas, jika ternyata, berdasarkan
penelitian, produk pemikiran para tokoh yang disebut dalam rumusan ASWAJA itu
saling bertentangan dan kontradiktif, apalagi sulit diterima secara rasional.
Implikasi semacam ini, sepanjang sejarah
NU, belum pernah dilakukan; bahkan mayoritas kalangan tokoh Nahdliyyin
tidak berusaha secara serius untuk mengkaji sumber pertama, berupa kitab-kitab
yang ditulis oleh para tokoh peletak dasar doktrin ASWAJA itu. Yang berkembang
dikalangan Nahdliyyin adalah malah sumber Kedua, Ketiga, bahkan sumber
keempat dan kelima yang umum dijadikan landasan teologis normatif bagi sikap
dan pola pikir mereka.
Sebagai contoh, dalam bidang teologis
kita lebih akrab dengan karya al-Juwani, al-Baqillani, al-Nasafi, al-Sanusi dan
Sayyid Ahmad Al-Marzuqi dibandingkan dengan karya-karya al-Asy’ari dan
al-Maturidi sendiri. Dalam bidang Fiqh, kita lebih akrab dengan karya-karya
al-Nawawi, al-Rafi’i dibandingkan dengan al-Syafi’i, Malik, Ahmad Ibn Hanbal
dan yang lain-lain. Dalam bidang tasawuf, kita memang akrab dengan al-Ghazali,
tetapi itu hanya terbatas pada Ihya’ Ulum al-Din dan Bidayah
al-Hidayah, disamping mitos dan managip.
Syeikh Abdul Qadir al-Jailani. Sedang karya-karya Junaid al-Baghdadi mungkin
masih asing dalam wacana pemikiran kalangan elit Nahdliyyin. Oleh karena itu,
jika ada studi yang menghasilkan kesimpulan yang kontradiktif dan antagonistik
antara para tokoh yang disebut dalam rumusan
“ASWAJA” versi NU itu, kita tidak perlu kaget. Karena memang kita belum
pernah melakukan studi serius. Contoh-contoh berikut ini mungkin bisa
memperjelas soal diatas itu.
Pertama, Imam Malik, Hanafi dan Syafi’i, dalam lapangan
politik, lebih cendrung kepada Syi’ah, karena kecintaan mereka terhadap ahl
al-Bait yang dalam sejarah memang terus
menerus mengalami penindasan. Tetapi kecintan mereka itu tentu tidak membuat
mereka meyakini teologi Syi’ah yang tidak mengakui keabsahan al-Khulafa’
al-Rasyadin selain ‘Ali. Sebab teologi Syi’ah sebagai madzhab baru dirumuskan
pada abad ke –3 H/ ke –9 M, dengan menjadikan hadith Ghadir khum sebagai
dasar klaim teologi politik Syi’ah – hal yang harus diperdebatkan.
Kedua, Ahmad Ibn Hanbal, menurut Ibn Jarir
al-Thabari dalam kitab al-Khilaf, sebetulnya bukan seorang Faqih, tetapi hanyalah seorang Muhaddist.
Sebab kemampuan dalam ber-istinbat dari al-Qur’an dan al-Hadist hampir
tak ditemukan. Ia menjadi tokoh madzhab, karena “dibesarkan” oleh para
pengikutnya, terutama Ibn Taimiyah dan Muhammad ibn Abdul Wahhab.
Ketiga, Teori tasawuf al-Ghazali yang dikenal
selama ini oleh kalangan sunni hanyalah sebatas pemikiran yang ia kemukakan
dalam kitab Ihya’ Ulum al-Din. Dalam kitab ini pemikiran tasawuf al-ghazali
memang terlihat warna sunninya. Akan tetapi, dalam kitab-kitabnya yang lain,
teori tasawufnya lebih mendekati al-Hallaj, terutama dalam konsep Wihdah al-Wujud. Bahkan al-Ghazali secara
inplisit mengemukakan kekagumannya terhadap teori Fana’ dan hululnya al-Hallaj dalam Ihya’ Ulum al-Din,
ketika membahas tingkatan iman. Jika penemuan diatas dapat dibenarkan, maka
teori tasawuf al-Ghazali masih harus diperdebatkan keabsahannya dikalangan
ASWAJA.
Keempat, Teori tasawuf al-Junaid boleh dikatakan
sangat asing dari pendengaran kita. Yang menjadi pertanyaan, sumber apa yang
digunakan oleh para perumus “ASWAJA” versi NU sehingga mengadopsi teori tasawuf
al-Junaid itu sebagai acuannya? Di linkungan pesantren sendiri, kepustakaan
tentang atau oleh al-Junaid sendiri hampir tidak dikenal, kecuali beberapa
kutipan pendapatnya dikitab-kitab yang ditulis orang lain. Padahal, dalam
sebuah artikel pendek yang ia tulis dan dikumpulkan dalam Rasa’il al Junaid, al-Junaid malah nampak cendrung memihak kepada
pendukung peniadaan sifat tuhan (Nafi al-Shifat) yang lebih mirip dengan
pikiran Mu’tazilah dan bertentangan dengan teologi al-Asy’ari.
Dari keempat contoh diatas, jelaslah
bahwa rumusan ASWAJA yang selama ini kita terima perlu pengembangan dan
evaluasi, melalu studi yang serius. Hal ini sangat penting karena ASWAJA bagi
NU adalah landasan gerak,
berfikir dan bersikap.
Sebetulnya, rumusan ASWAJA ‘a la NU diatas dapat dikatakan “cukup
baik dan tepat”, jika disertai penelitin dan pendalaman hal-hal sebagai berikut
:
1. Bahwa para tokoh
yang disebut dalam rumusan ASWAJA itu adalah pemikir yang produk intelektualnya
meliputi tiga bidang asasi hidup kaum muslimin, yakni teologi, fiqh dan
tasawuf.
2. Diantara para tokoh
tersebut, dalam beberapa hal, terdapat kecocokan, disamping ada perbedaan,
bahkan pertentangan yang antagonistik, seperti telah diungkapkan diatas.
3. Kajian historis
terhadap aspek-aspek kehidupan sosial politik yang terjadi sejak Rasulullah
wafat sampai pada masa hidup para tokoh yang disebut dalam rumusan ASWAJA iti
sangat penting. Kajian itu juga mesti disertai analisis tentang relevesinya
dengan kehidupan sekarang dan masa yang akan datang.
4. Kajian historis
terhadap aliran-aliran (yang masih dalam lingkup Islam) yang dalam banyak hal
bertentangan dengan doktri ASWAJA.
Dari
produk kajian tersebut, kita akan dapat menampilkan sosok ASWAJA yang lebih
jelas, simpatik, meyakinkan, transparan, dan tidak ekslusif.
085731873836
Identitas Aswaja NU
Dari beberapa uraian di atas, nampak
dengan jelas bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah versi NU, ialah pola
keagamaan bermadzhab, yakni mengikuti petunjuk-petunjuk generasi muslim
sebelumnya dalam memahami nash-nash agama (al-Qur’an dan al-Hadits).
Epistimologi dan performen ASWAJA yang demikian ini, tentu saja sangat tipikal,
tidak persis sama dengan konsep Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah yang
bisa disentasakan dari perjalanan sejarah aliran-aliran keagamaan umat Islam.
Pada masa tertentu (sebelum abad ke 5
H), ASWAJA dinisbatkan kepada Ahl al-Hadits yang pernah dipresentasikan
oleh Ahmad bin Hambal atau Hanabilah. Paham keagamaan yang dikembangkan adalah
tekstualis, anti takwil dan berparadigma “mendahulukan yang ma’tsur/tekstual
dari pada yang ma’qul/rasional). Sedangkan saat yang lain (paroh terakhir
abad ke-5 H), ASWAJA lebih dinisbatkan
pada eksistensi pemikiran Asy’ari dan Asy’ariyah yang rasional.
Paradigma keagamaan ahl al-hadits
selanjutnya dikenal dengan salafisme. Jika paham ahl al-hadits
diidentifikasi sebagai corak Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah, dan jika ditarik kepada polarisasi paham
keagamaan di Indonesia, maka Persis, al-Irsyad dan Muhammadiyah nampaknya
sangat pantas menerima julukan ini. Karena organisasi-organisasi tersebut,
walaupun secara sosiologis dapat dikatagorikan “modernis”, tetapi dalam paham
keagamaanya dapat dikatakan “salafis”.
Seperti yang telah kita maklumi bersama,
bahwa rumusan definisi ASWAJA yang populer dikalangan NU adalah “paham
keagamaan yang dalam bidang fiqh mengikuti madzhab empat, mengikuti Asy’ari dan
Maturidi dalam bidang Aqidah, serta mengikuti al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi
dalam bidang Tasawwuf”. Sementara itu eksistensi ASWAJA di NU disebutkan dalam
bermacam istilah: Madzhab, Paham, Aqidah, Dasar dan Haluan, yang masing-masing
penyebutan memiliki makna tersendiri.
Diakui atau tidak, di dalam NU akhirnya
terdapat beragam pemahaman terhadap ASWAJA, baik dari segi pengertian maupun
eksistensinya. Ada yang memandangnya dengan sifat yang inklusif dan
interpratable, dan ada pula yang
memeganginya secara eksklusif dan rigid. Berbagai pemahaman tersebut
sesungguhnya berintikan “pola keagamaan bermadzhab”. Adapun pencantuman berbagai
madzhab dalam rumusan ASWAJA NU dapat dipahami sebagai Ta’rif bi al-Mitsal
(definisi dengan penyebutan contoh). Sebab boleh jadi bahwa konsep ASWAJA
sebagaimana terdapat di NU itu, merupakan penyederhanaan terhadap kerumitan
konsep Ahl al-Sunnah wa
al-Jama’ah itu sendiri, yang sepanjang sejarahnya mengakomudasi berbagai
perbedaan.
Kesimpulan seperti tersebut di atas,
diperkuat oleh dasar pemahaman ASWAJA yang diletakkan oleh pendiri NU. dalam
Muqaddimah Qanun Asasi li Jam’iyat Nahdlat al- Ulama’ (Pembukaan Anggaran
Dasar NU) yang ditulis langsung oleh KH.Hasyim Asy’ari, terkesan jelas bahwa
salah satu mutivasi didirakannya NU adalah mempertahankan tradisi keagamaan
yang berakar pada ajaran Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah. Dalam
teks itu dapat pula dipahami bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah berintikan pola keagamaan bermadzhab
kepada Madzahib al-Arba’ah, tidak termasuk di dalamnya kepengikutan
tehadapa madzhab-madzhab dibidang teologi dan Tasawuf --sebagaimana terdapat
dalam rumusan tokoh-tokoh NU lainnya.
Dari beberapa uraian di atas, dapat kita
simpulkan bahwa Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam NU merupakan tipikal aktualisasi Ahl
al-Sunnah wa al-Jama’ah di Indonesia yang berintikan pola keagamaan
bermadzhab. Pola keagamaan seperti ini membedakan dirinya dengan kelompok Islam
lainnya dari sayap Islam modernis. Kedua kelompok ini sepanjang sejarah
pergumulan umat Islam indonesia selalu terlibat perbedaan, baik pada tataran
wacana keagamaan, konsep-konsep sosial, maupun politik yang tentu saja diduga
kuat merupakan aktualisasi dari paham keagamaannya masing-masing.