AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
PENGERTIAN DAN AKTUALISASINYA
Ilmu-ilmu ke-Islaman pada
pokoknya terbagi menjadi dua macam yaitu: pertama, Al-Ushul (prinsip-prinsip
ajaran) yang menyangkut masalah akidah, keyakinan yang berkaitan dengan Tuhan,Rasul
dan hari akhir, dan semua masalah yang langsung ada hubungan dengan hal-hal
prinsip tersebut’ seperti wahyu, alam kubur, surge maupun neraka. Kedua, Al-Furu’
(Cabang-cabang) atau detailering ajaran-ajaran yang lebih praktis, yang
menyangkut masalh fiqhiyah, yang berhubungan dengan kegiatan ibadah dan
mu’amalah maupun jinayah.
Ahlussunnah Wal Jama’ah,
Sebenarnya secara sub-stansial berkaitan dengan masalah Al-Ushul
tersebut,dan tidak berkaitan dengan masalah Al-Furu’. Demikian juga
halnya dengan pengertian firqah-firqah yang disebut dalam sebuah hadist sebanyak
73 firqoh itu, tidak lebih dari konteks keushulan ini, (dalam masalah akidah
bukan masalah fiqhiyah).
Abdul Qahir Al-Baghdadi dalam Al-farqu
baina Al-Firaq juga menjelaskan: “… Golongan Ahlussunnah Wal Jama’ah,baik
dari aliran rasional, maupun aliran skriktural (Ahlu Ar-ra’yi dan Ahlu
Al-Hadist), termasuk para fuqaha’,qurra’, (Ahli Ulumil Qur’an),Muhadditsun’,mereka
sependapat dalam suatu kesimpulan mengenai ke-Maha Esaan Allah, keadilannya, kebijaksanaan-Nya,nama
dan sifat-sifat-Nya.,’ demikian juga dengan masalah kenabian,keimamahan, dan
masalah-masalah ushuluddin lainnya, perbedaan yang terjadi diantara mereka
hanya terbatas masalah-masalah furu’ , masalah fiqhiyah yang menyangkut
pemahaman halal dan haram dan dalam perbedaan-perbedaan (fiqhiyah) ini,
diantara mereka tidak ada saling menyesatkan atau menuduh fasiq termasuk dalam
firqah ini, (Ahlussunnah Wal Jama’ah) mayoritas umat Islam, antara lain
pengikut Imam Malik, Imam Abu Hanifah,Imam As-Syafi’i, Imam Al-Auza’i Imam
As-sauri Imam Ibnu Abi Laila, Imam Abu Tsur, Imam Ahmad bin Hambal dan Ahluz
Zahir (pengikut Abu Dawud al-Zohiri)”.
Term Ahlussunnah Wal Jama’ah,
kemudian menjadi kabur akibat pemakaian sebutan ini, ada yang di terapkan dalam
lingkup yang terlalu luas dan ada pula yang terlalu sempit; seperti yang di utarakan
oleh Dr. Jalal M. Abd Hamid Musa dalam” Nasy’atul asy’ariyah wa Tathowwuruha”,
malah mengilustrasikan masalah ini dengan mengatakan : “Istilah Ahlussunnah wal
Jama’ah menjadi rebutan sekian banyak kelompok, masing-masing berusaha membuat
klaim ahluss sunnah untuk dirinya sehingga istilah ilmu kalam ini di gunakan
untuk cakupan arti yang ‘am ( luas ) dan yang khas ( terbatas ),
seperti yang dijelaskan di muka.
Dalam masyarakat islam dunia
sekarang , di samping Asy’ariyah dan Maturidiyah, di sebut juga aliran ahlul
Atsar yang bersumber dari ajaran Imam Ibnu Hambal, yang antara lain di
kembangkan oleh Ibnu Taymiyah, Ibnu Qayim Al-Jauzi golongan Ahlul-atsar ini
dengan tegas menyatakan diri sebagai Ahlussunnah wal Jamaah, dan Ibnu Taimiyah
penulis prinsip-prinsip aliran ini dalam “ Minhajusunnah”.
PENGERTIAN AHLUS SUNNAH WAL JAMAAH
Dalam Ensiklopedia Arab ( Al Mausuah
al Arabiah Al Muyassarah ) di ta’rifkan Ahlussunnah wal Jamaah itu sebagai
: “ As Sunnah secara lughotan ( etimologi ) bermakna at-thariqah
( jalan atau aliran ), dan secara istilahan ( terminologis ) bermakna
semua yang berasal dari Nabi Muhammad s.a.w baik dalam bentuk sabda, perbuatan
ataupun pengakuan Dan Ahlussunnah adalah mereka yang berpegang teguh pada
ajaran tersebut, sekaligus membela dan mempertahankannya”
Dr. Jalal M. Musa, mengemukakan
ciri wawasan Ahlussunnah wal Jama’ah ini adalah “ Mengikuti jalan atau aliran
para sahabat dan tabiin dalam berserah diri menghadapi masalah-masalah
mutasabihat yangterdapat di dalam al-Qur’an ( ayat-ayat mutasabihat ) dan
menyerahkan hakikat artinya kepada Allah sendiri, tidak suka mengembangkan
pengertian metamorphosis ( ta’wil ) seperti kebiasaan mu’tazilah“. Selanjutnya
dengan mengutip pendapat Al Isfarayini dikatakan: “ Kata Al-jamaah dalam kontek
ini di artikan: sebagai perincian, bahwa mereka menggunakan dalil-dalil syriyah
berupa Kitabullah, sunah Rasul, ijmaul A’immah dan Qiyas, mereka memandangnya
sebagai masalah prinsip “.
Ijma’ as-shahabah di sepakati
sebagai acuan dan dasar hokum, karena ada legitimasi dari Nabi s.a.w sendiri.
Melalui pernyataan beliau: “ Apa yang saya lakukan pada hari ini dan juga yang
di lakukan oleh para sahabatku”.
Sebagai istilah keagamaan maupun
ke ilmuan, “Ahlussunnah wal jmaah” sudah popular sejak zaman sahabat, karena
istilah tersebut memang bersumber dari Nabi Muhammad s.a.w sendiri. Kemudian
istilah ini lebih di populerkan lagi oleh Al A’immah Al Arba’ah yaitu
Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As Syafi’i dan Imam Ibnu Hambal; pada
masa-masa selanjutnya, golongan Khawarij, rafidlah, Mu’tazilah dinyatakan “
bukan Ahlussunnah Wal Jamaah antara lain dengan alasan karena tidak mau
mengakui sahnya Ijmak sebagai hujjah atau dalil hukum agama.
Menurut Ibnu Taimiyah, bahwa Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan madzhabnya
para sahabat yang diperoleh dari Nabi Muhammad s.a.w., Ahlussunnah wal Jama’ah
sepakat, bahwa Ijma’us-shahabah merupakan hujjah,tetapi mereka masih berbeda
pendapat dalam kedudukan Ijma’ angkatan-angkatan berikutnya seperti angkatan
Tabi’in, Tabiut-tabi’in dan selanjutnyam apakah dapat dipandang sebagai hujjah
atau tidak ?.
Dr.An-Nasyar, juga menyatakan bahwa Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah sudah
tumbuh dan berkembang sejak lahirnya Islam, dan terus berjalan maju
ditengah-tengah Madzhab, untuk bertahan dan menghadapinya sepanjang waktu. Pada
zaman khalifah Ali bin Abi Thallib r.a., Ahlussunnah sudah menghadapi kelompok Khawarij,
kemudian Syi’ah. Kemudian pada zaman akhir generasi shahaba, terjadi gerakan
Qadariyah dan Murji’ah, dan selanjutnya pada awal abad ke-2 H. Terjadi gerakan
baru yang dikenal dengan Jahmiyah, yang tidak mengakui adanya sifat-sifat
Allah, yang kemudian disusul lahirnya gerakan Tajsim atau mujassimah
(antroporsifisme dalam Islam).
Apabila madzhab fiqhiyah mencapai perumusan-perumusan kaidah fiqhiyah pada
abad ke-2 H dengan lahirnya ilmu ushul-fiqih, yang disusul dengan Penyusunan
sistematika Kitab-kitab fiqih seperti yang dapat kita kaji sekarang ini, maka
firqah atau madzhab baru pada abad ke-3 H. Disusun metodologinya dan
sistematikanya.
Pada pertengahan abad ke-3 H tampil tiga tokoh ilmu kalam dikalangan
ahlussunnah waljama’ah yakni Abu Musa Al Asy’ari di Basrah, Abu Mansur Al
Maturidi di samarkand dan Abu ja’far At-Thahawi di mesir hanya saja dalam
popularitasnya At-Thahawi tidak sepopuler seperti kedua tokoh lainnya tersebut.
Menurut Dr. Ahmad Amin, jika Al-Asy’ari sebagai pengikut madzhab Syafi’i
(dalam masalah fiqih), maka Al-Maturidi adalah pengikut madzhab Hanafi. Oleh
karenanya maka perbedaan yang terdapat diantara keduanya merupakan bias dari
perbedaan antara As-Syafi’i
dengan Hanafi, yakni lebih banyak bersifat perbedaan simantik dan dialektis. Dalam pengamatan Ibnu Zadah
(Abdurrahim bin Ali) perbedaan antara Al-Asy’ari dengan Al-Maturidi hanya dalam
40 (empat puluh) masalah saja. Sedangkan menurut Ibnu ‘Adzbah (Hasan bin
Abdulmuhsin) perbedaan antara keduanya hanya dalam 30 (tiga puluh) masalah.
Diantaranya seperti:
Pertama : Masalah
Prinsip Iman.
Menurut Maturidiyah, Iman harus berupa pembenaran (tashdiq) dalam hati, dan pengakuan (iqrar)
dengan lisan. Menurut As-Sya’ari, Iman itu disamping tasdiq dalam hati, harus
diucapkan (nutqun) dalam bentuk dua syahadah (kesaksian).
Kedua : Kewajiban
iman kepada Allah dengan akal
Menurut Al-Maturidiyah, orang yang berakal berkewajiban mengetahui dan beriman kepada Tuhan, meskipun belum
mengetahui dan beriman ajaran wahyu. Jika tidak beriman dia dosa. Menurut
As-Ay’ariyah, yang menyebabkan orang berkewajiban mengetahui dan beriman kepada
Tuhan, adalah karena adanya wahyu yang didakwahkan. Bagi orang yang belum
pernah menerima dakwah, dia tidak berkewajiban mengetahui dan beriman kepada
Tuhan, karena dia dianggap tidak berdosa.
Ketiga : Masalah
‘ishmatul Anbiya’ (keterjagaan para nabi dari perbuatan dosa).
Menurut Maturidiyah, semua Nabi terjaga dari perbuatan dosa, baik berupa
dosa besar maupun dosa kecil. Menurut Asy’ariyah, semua Nabi terjaga dari
perbuatan yang menimbulkan dosa kecil.
Sementara orang yang mengeritik ajaran Asy’ariyah sebagai penghambat kreativitas,
terutama ajaran “al-kasb” yang dipandang berbau jabariyah dalam
menyelamatkan aqidah Islamiyah dari penggusuran Hellenisasi habis-habisan,
seperti yang dialami oleh Kristen. Meskipun adalah agama Semitik (agama yang
berasal dari wilayah Timur Tengah yang umumnya monotheis) dan Nabi Isa a.s.
adalah orang yahudi, akan tetapi agama itu kini telah kehilangan Semitiknya dan
digantikan dengan lebih banyak wajah Yunani dan Romawi. Sebagai contoh, menurut
Van den Berg, konsep ketuhanan “Bunda Maria” dalam kristen adalah kelanjutan
mitologi (kepercayaan) Yunani-Romawi tentang Dewi Minerva. Kenyataan ini
merupakan salah satu bukti bahwa Kristen sudah begitu banyak dipengaruhi dan
berkompromi dengan Hellenisme (kebudayaan dan filsafat Yunani). Dalam hal ni
Nurcholis Majid juga mengatakan, bahwa penghargaan harus diberikan kepada
As-Asy’ari setinggi-tingginya, karena berhasil membendung efek Hellenisasi dari
pemikiran kefilsafatan para filosof seperti Ibnu Sina, Al-Kindi maupun
Al-Farabi. Sangat boleh jadi, tanpa kehadiran dan sikap Al-Asy’ari yang
demikian ketat, ajaran tauhid Islampun akan terkompromikan dengan
kepercayaan-kepercayaan setempat, meskipun peranan pembendungan ini tidak
seluruhnya dilakukan oleh Al-Asy’ari sendiri.
AKTUALISASI
AHLUSUNNAH WAL JAMA’AH
Untuk dapat memahami dan apalagi mengaktualisasikan Ahlussunnah wal jamaah
dalam kehidupan individu maupun masyarakat muslim, tentunya tidak hanya
didekati melalui doktrinnya saja. Sedikitnya ada tiga macampendekataan utuk
memahami dan mengaktualisasikan Ahlussunnah Wal Jama’ah ini.
Pertama : pendekatan doktrunal, yakni memahami dan
mengaaktualisasikan Ahlussunnah Wal Jamaah dengan memahami duktrin-doktrin dan
ajaran-ajaran yang dirumuskan dalam kitab-kitab ilmu kalam sunni, maupun melalui
diskusi-diskusi dan pengajian formal atau non formal mulai dari konsep
keimanaan kepada Tuhan, sampai masalah kedudukan manusia terhadap karyanya, dan
masalah-masalah ghaibiyah.
Kedua : pendekatan historis, yakni menulusuri perkembangan
kesejarahan; mengapa sikap-sikap ahlus sunnah waal Jama’ah menjadi tegar dalam
, mensupremasikan dalil-dalil naqli dari pada dalil-dalil aqli, mengapa
Ahlussunnah Wal Jamaa’ah mempertahankan sikap tawasuth dan tasamuh, dan mengapa
Ahlussunnah Wal jamaa’ah selalu berusaha mencari konsensus dalam mewujudkan
kemaslahatan umat selama tidak melanggar batasan syara’ ? sebagai contoh,
ahlussunnah Wal Jamaah berusaha mempertemukan titik temu antara perbedaan yang
terjadi diantara para sahabat dan ulama. Abdul Malik bin Marwan, seorang
kholifah Umawiyah, setelah terjadai konflik dengan keluarga Sd. Ali bin Abi
Thalib r.a., masih berusaha meaklukan konsiliasi dalam masyarakat islam. Slogan
al-jama’ah dipopulerkan dimana-mana:
نَحْنُ جَمَاعَةٌ وَاحِدَةٌ تَحْتَ رَايَةِ اللهِ
“Kita
adalah satu jama’ah dibawah naungan panji-panji agama Allah”.
Abdul Malik bin Marwan juga berusaha mengurangi perpecahan umat, antara
lain dengan konsep “Tarbi” yaitu
menyebut empat nama sahabat besar berurutan (Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin
Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib radiyullahu anhu ) ebagai paket
penghormatankepada mereka. Lahirnya “Tarbi”ini merupakan produk kesejarahan,
bukan bersumber dari doktrin atau dogma semata.
Sikap mencari konsensus untuk persatuan dam kemaslahatan umat ini
ditampilkan lagi oleh kholifah Uman bun Abdul Aziz; yang memerintahkan
penghapusan kalimat yang berbau kritikan terhadap keluarga Ali bin Abi Thalip
r.a dari semua khutbah dan menggantikannya dengan bagian ayat Al-Quran yang
memberi arti sangat akomodatif dan integratif, yaitu:
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَاْلِإحْسَانِ وَإِيْتَاءِ
ذِى اْلقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْيِ يَعِظُكُمْ
لَعَلكُمْ تَذَكَّرُوْنََ.
“Sesungguhnya
Allah menyuruh berlku adil dan berbuat kebajikan, memberi bantuan kepada
keluarga dekat / kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mrngambil pelajaran”.
Masih banyak lagi yang masih dapat kita ambil dari khasan kesejahteraan.
Seperti peran pengembangan Ahlussunahwal Jamaa’ah melalui intrumen birokratis,
yang pernah di lakukan oleh Salahuddin Al Ayyubi, Nizhomil muluk dan lain
sebagainya; yang semuanya memberikan inspirasi kepada kita, bahwa Ahlussunnah
Wal Jama’ah mempunyai kaitan kesejarahan dengan peran kaum birokratis, dan
fenomena seperti itu dapat di lakukan kapan saja.
Ketiga pendekatan kultural, yakni usaha mengembangkan nilai-nilai
dan sikap kemasarakatan yang diberikan oleh Ahlussunnah Wal Jama’ah. Kita tahu
btapa banyakknya perbedaan pendapat antara imam-imam madzab, khususya Imam
Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali; tetapi perbedaan itu tidak
menjadikan mereka saling bermusuhan. Imam Safi’i sendiri pernah tidak membaca
Qunut waktu sembahyang shubuh, pada saat beliau ada di madinah demi menghormati
kepada imam malik yang diakui sebagai gurunya. Imam Ahmad bin Hambal dalam
waktu yang cukup lama mendoakan secara khusus kepada iman Safi’i sebagai
penghormatan jasa-jasa keilmuannya.
Sikap keagamaan yang mengutamakan dalil-dalil naqliah dari pada dalil-dalil
aqliah, memberikan pelajaran kepada kita bahwa yang mutlak benar adalah wahyu,
baik yang berupa Al-Qur’an maupun as-sunnah, sedang yang dari ijtihad manusiawi
tetap hanya memiliki kebenaran nisbi saja, masih mungkin mengandung
kekurangan-tepatan, baik karena perubahan waktu maupun situasi sosial.
Sifat menerima hidup dalamkemajmukan merupakan nilai sosial yang patut
dikembangkan, terutama bagi masarakat pluralistik di indonesia ini. Keangkuhan
sosial bagai manapun akan banyak menimbulkan kemadlahatan.
Sikapo keilmuan yang terbuka seperti yang di kemukakan Al-Ghozali merupakan
sikap ilmiah yang patut di lestarikan, dimana keilmuan ( baik yang sariyah
maupun yang ghoiru sariyah ) dapat di kembangkan bersama-samauntuk
kemaslahatan umat.
Dengan memahami Ahlissunnah Wal Jama’ah melalui beberapa pendekatan
tersebut, diharapkan lebih operatif dalam mengembangkan kualitas umat islam,
dan bukan sekedar doktrin-doktrin yang normatif yang tidak jelas bagaimana cara
menerapkannya.
PERANAN PENDIDIKAN DALAM MELESTARIKAN
NILAI-NILAI AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
(MELALUI KAJIAN METODOLOGI)
Sebagai suatu doktrin ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah sudah ada jauh sebelum
tumbuh sebagai “aliran” dan “gerakan”, bahkan teminologi atau istilah
Ahlussunnah Wal Jama’ah itu sudah dipakai sejak zaman Rosulullah s.a.w. dan
para sahabatnya; hanya saja belum di pakai sebagai “nama aliran” atau gerakan
kelompok tertentu. Hal yang memicu lahirnya Ahlussunnah Wal Jama’ah sebagai
aliran dan gerakan tertentu dari komunitas islam adalah sebagai reaksi dan
koreksi terhadap aliran dan gerakan lain dikalangan umat islam tyang mengan cam
kemapanan doktrin Ahlussunnah Wal Jama’ah, terutama menguatnya pengaruh aliran
dan gerakan Mu’tazilah pada zaman Abbasiyah, khususnya pada zaman Al-Ma’mun
(198-218 H/ 813-833 M), Al-Mu’tasim (218-228 H/833-842 M) dan Al-Watsiq
(228-233 H/842-847 M) yang menjadikan Mu’tazilah sebagai madzab resmi negara
yang dilindungi oleh pemerintah.
Dalam penyebaran faham Mu’tazilah
itu, terjadi suatu peristiwa yang membuat lembaran hitam dalam sejarah umat
islam dan khususnya Mu’tazilah sendiri. Khalifah Al-Ma’mun dalam upayanya
menanamkan pengaruh Mu’tazilahmelakukan pemaksaan kepda seluruh jajaran
pemerintahannya, bahkan juga kepada seluruh masarakat islam. Dalam pemaksaan
faham Mu’tazilah itu, banyak ulama yang menjadi panutan masarakat menjadi
korban penganiyayaan di antaranya adalah Imam Hambali ( ahmad bin Hambal),
Muhammad bin Nuh, dan lain-lain lagi yang tidak mau mengubah pendiriannya untuk
mengattakan bahwa “ Al-qur’an itu adalah mahluk” (seperti yang diyakini Mu’tazilah), maka
mereka di penjarakan dan di aniaya. Ketegaran dan ketegasan mereka dalam
mempertahankan keyakinan/aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah itu mendapat simpati
luas dari masarakat dan sekaligus menanamkan kebencian dan antipati terhadap
Mu’tazilah dan kekuasaan mendukungnya.
Ketika Al-Mutawaqil (233-247 H/874-861 M) menjada khalifah Abasiyah
menggantikan Al-Watsiq dia melihat bahwa posisi sebagian khalifah perlu
mendapat dukungan mayoritas dari masarakat.sementara itu kelompok mayoritas
islam setelah kasus “mihnah” atau ujian aqidah terhadap pengikut imam
bin Hambal. Oleh sebabitu pada tahun 856 M, khalifah Al Mutawajil membatalkan
aliran Mu’tazilah sebagai madzab resmi negara atau pemerintahan.
Bagi masarakat awam, sebenarnya sulit menerima doktrin mu’tazilah yang
rasional-filosofis, mereka lebih suka ajaran-ajaran yang sifatnya sederhana
yang sejalan dengan sunnah Nabi Muhammad s.a.w dan tradisi para sahabatnya.
Dalam keadaan yang demikian itu muncullah tokoh intelektual dan ulam islam Abul
Hasan Al-As ary wafat 324 H/935 M ) dengan ajara-ajaran aqidah (teologi) baru
yang berusaha mengakomodasi aspirasi masarakat, dengan tetap berpegangan teguh
pada sunnah nabi s.a.w serta tradisi para sahabatnya. Ajaran atau doktrin
teologi al-As Ary ini kemudian di kembangkan secara dinamik oleh murid-murid
dan ulama-ulam pengikutnya, seperti: Abu Hasan Al Bahili, muhammad Al
Baghillani, Abdul Maali Al Juwaini (Imam haramain), abu hamid Muhammad Al
Ghozali, Muhammad bin Yusuf As Sanusi, dan lain-lain. Dan disamarkand, muncul
tokoh Ahlussunnah Wal Jamaah yang lain ya’ni Abu Mansur Al Maturidi (wafat333
H/ 944 M) kemudian ajaran teologinya di kenal Al Maturidiyah. Di Bukhara,
aliran Mturidiyah dikembangkan oleh Ali Muhammad Al Basdawi. Meskipun pendukung
Al Asariyah maupun Maturidiyah, secara metodologi mengikuti imamnya, tetapi
dalam fatwa-fatwa qauliyah tidak seluruh sama; disana terjadi dinamika konsepsi
sejalan dengan realita dan penemuam-penemuan baru yang dihadapi. Dan dari
kejadian kajian khazanah keilmuan dan data-data kesejahteraan Ahlussunnah Wal
Jama’ah selama ini dapat di tarik suatu Wal Jama’ah secara utuh, perlu beberapa
macam pendekatan, setidak tidaknya adalah pendekatan doktrinal (mengkaji dari
sisi ajaran yang di pandang baku), historis (aspek kesejahteraan yang
mempengaruhi perkembangan Ahlussunnah Wal Jamaah selama ini), dan kultural
(pengaruh budaya dan tradisi yang mendukung maupun menentang Ahlussunnah Wal
Jama’ah) itu sendiri.
PERAN
PENDIDIKAN TERHADAP AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH
Sampai pada awal pemerintahan bani salju, yakni pada masa tugril Beq dan
perdana meterianya yang benama Abu Nasr bin Mansur Al Kundari (416-456 H),
tekana-tekanan terhadap golongan dan gerakan terhadap Ahlussunnah Wal Jama’ah
masih sanagt kuat, bahkan ajaran dan tokohtokoh Ahlussunnah Wal Jamaah mendapat
cacian dan kutukan mimbar-mimbar jumaat dan ceramah-ceramah di Masji-Masjid.
Bahkan Al Kundari pernah memerintahkan penangkapan terhadap tokoh\tokoh dan
ulama-ulama Al Asariyah. Diantara yang pernah dipenjarakan adalah Abu Abdul
Qasim Abdul Karim Al-Qusyairi dengan ddemikian penyebaran pengembangan
Ahlussunnah Wal Jama’ah secara umum dan As-Sy’ariyah secara khusus mengalami
hambatan.
Tekanan dan istimedasi terhadap gerakan Ahlussunnah Wal Jama’ah
Pengembangan ajaran-ajarannya berakhir, setelah tterjadi pergantian kekuasaan
dari Tugril Beg ke Alp Arsalan dengan perdana menterinya yang masyhur, yakni;
Mizhomul Mulk (1063-1092 M) yang dengan setia mendukung faham Ahlussunnah Wal
Jama’ah. Aliran As-Asy’ariyah mengalami kemajuan pesat bahkan mampu mendominasi
pemikiran dunia Islam melalui “Madrsyah Nizhomiyah” yang didirikan
dizhomul Mulk madrasyah ini mempunyai cabang hampir seluruh kota penting dalam
wilayah kekuasaan Saljukiyah. Semua sekolah-sekolah Nizhomiyah menerapkan
kurikulum yang sarat ajaran-ajaran Ahlussunnah Waljama’ah. Imam Al-Ghozali
pernah memimpin lembaga Nizhomiyah ini,dan berkesempatan luas untuk mewarnai
Nizhomiyah dengan faham As-Asy’ariyah.
Di mesir dan Suriah teologi As-Suriah ini juga perkembangan dengan dukungan
pemerintahna salahuddin Al-Ayyubi, pendirian dinasti Ayyubiyah, setelah
menghapuskan ajaran Asiah dari pusat pendidikan Al-Azhar dan sekolah-sekolah di
mesir dan suriah lain warisan dinasti Fathimiyah yang berkuasa sebelumnya, dan
selanjutnya sistem dan kurikulum Al-Azhar sebagai pusat pengembangan keilmuan
dan peradaban Islam bercitra Sunni Sampai selkarang.
Perkembangan aliran As-Asy’ariyah dibelahan dunia timur (
India,pakistan,afganistan sampai ke Indonesia) berkat dukungan Muhammad
Al-Gazwani ( 971-1030 M), Sultan ketiga dinasti gaswaniyah. Pada mulanyamahmud
Al-Ghazwani menganut madzhab Hanafi, tetapi, Gazwani dalam penyebaran
pengembangan Ahlussunnah Wal Jama’ah antara lain dengan :
Pertam, memprakarsai penulisan kitab –kitab
keislaman yang bermuatan ajaran Sunni.
Kedua, membangun madrasyah-madrasyah besar sebagai
pusat pengajaran.
Ketiga,
membentuk Majlis-majlis keilmuan dan
keagamaaan yang diikuti oleh para ulama’ dan cendekiawan.
Keempat,
mengirim ulama’ dan
muballigh-muballigh untuk menyebarkan ajaran sunni sekaligus menghadapi
gerakan-gerakan lain yang dipandang menyimpang dari ajaran Islam.
Khusus
diIndonesia pemikiran-pemikiran Al-Asyariyah dikenal luas melalui kitab-kitab
karya al-Ghazali dan As-Sanusi. Pengaruh As-Sanusi di Indonesia populer dengan
konsep teologinya terhadap sifat Allah dan rasulnya yaitu sifat Wajib,Mustahil
dan Jaiz.,tentang sifat-sifat wajib yang 20 (dua puluh), sifat
mustahil 20 (Dua puluh), dan sifat Jaiznya hanya satu (1) bagi Allah
Juga pengelompokan sifat-sifat Allah dalam tiga bagian, yakni sifat “Nafsiyah”(kedirian
Allah), sifat “salbiyah” (sifat yang membedakan zdat Allah dengan
lainnya) dan sifat “ Ma’ani” (sifat yang Abstrak). Disamping itu juag
konsep sifat rasul, yakni sifat wajib empat(4) sifat mustahil empat(4)
dan sifat jaiz satu (1). Konsep-konsep akidah ( teologis) tersebut
begitu merasuk dalam kehidupan masyarakat luas, baik melalui pengajian,
karya-karya tulis, maupun kurikulum sekolah atau madrasyah.
Di spayol ( andalusia) dan afrika utara, peranan iIbnu Tumart sangat besar.
Dia yang memerintahkan Agar karya-karya Al-Asy’ari dan Al-Ghozali dihidupkan
kembali, yang sebelumnya dilarang bahkan dikabar oleh penguasa dinasti murabithim.
Penyebaran gerakan Al-Asy’ariyah menjadi lebih kuat setelah Ibnu Tumart
berhasil membangun kekuasaan politik di Afrika dan Andalusia pada tahun 1114M
yang diberi nama daulat “Al-muwahhinun”, kekuasaan ini berlangsung
sekitar satu abad (515-667 H / 1121-1269 M). Pada zaman dinasti muwahindun
inilah hidup ulama’-ulama’ dan cendikiawan besar sunni, seperti Ibnu Rusyd,
Ibnu Tufail, Ibnu Mulkun,Ibnu Zur dan sampai sekarang kawasan itu seperti
maroko, Al-Jazair tunisia dan Libia masih menjadi wilayah-wilayah sunni yang
sangat kuat kecuali spayol(andalusia) yang berubah menjadi kristen lagi.
Pusat-pusat pendidikan disana sampai sekarang masih merupaka pusat pengembangan
dan pengajian Islam sunni (Ahlussunnah Wal Jama’ah).
PEMBUDAYAAN AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH MELALUI PENDIDIKAN SEKOLAH
Sebagaimana dikemukakan pada bagian kedua (peran pendidikan terhadap
Ahlussunnah Wal Jama’ah) bahwa pendidikan telah berperan banyak dalam
penyebaran dan pengembangan Ahlussunnah Wal Jama’ah selama ini, bahkan hanya
dalam pemahaman tetapi juga dalam pengamalan. Kita dapat menyaksikan, banyak
langgar-langgar atau surau-surau, masjid-masjid membiasakan jama’ahnya
melakukan “pujian” dengan membaca : “Wujud,Qidam,Baqa’,Muhafatul lil
hawaditsi,Qiyamuhu binafsihi, wahdaniyat,Qudrad,Iradat,....dan seterusnya”,
suatu model pembudayaan melalui pendidikan klasik dinegara kita. Tetapi tradisi
semacam itu sekarang mulai terasa langka. Dipondok-pondok pesantren dulu,
dianjurkan “Riyadloh”(tirakat). Melek wengi”(tidak tidur waktu
malam) “ tahajjud” Wiridan “ dan lain-lain. Sebagai pengamalan
penghayatan ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah yang menyatakan,bahwa “ilmu’itu
sumbernya adalah Allah, yang dapat diberikan kepada manusia mulai dua jalur
usaha, yakni dengan ‘Ta’allum” (belajar) dan”Takarrub”i (mendekatkan
diri kepada Allah). Sekarang ini, masalah internaliasasi nilai Ahlussunnah
Wal Jama’ah macam itu sudah kurang sekali. Dilain sisi pemahaman Ahlussunnah
Wal jama’ah secara ilmiah kurang memadai, antara lain karena :
Pertama: pemahaman tentang Ahlussunnah wal jama’ah kurang proporsional (
Fi ghori maudi ihi), Ada kecenderungan penyempitan pemahaman dan wawasan
Ahlussunnah Wal Jama’ah seperti pertanyaan : “yangb tidak qunut dalam shalat
subuh, itunbukan Ahlussunnah ...”, atau “yang tidak mau manaqiban itu bukan
Ahlussunnah...”, cara-cara semacam itu akan mengkerdilkan pemahaman Ahlussunnah
Wal Jama’ah secara ilmiah, sebab didalam buku-buku atau kitab-kitab yang
mu’tabarpun tidak pernah masalah qunut itu menjadi ukuran/para meter ke
Ahlussunnah Wal jama’ah. Dikalangan Madzahibul Arba’ah yang melakukan “qunut’
saat melaksanakan shalat subuh.yang hanya madzhab Syafi’i, sedangkan Hanafi,
Maliki dan Hambali tidak melakukannya. Apakah berarti mereka bukan termasuk
golongan Ahlussunnah?.
Kedua; Buku-buku pelajaran dan bacaan bebas
tentang Ahlussunnah Wal Jama’ah, umumnya disusun hanya dengan
pendekatan”Doktrinal” yang Normatif, tanpa mengembangkan wawasan sesajarahan. Misalnya,
tentang konsep Al-Juaini yang mengharuskan “ Ta’wil” terhadap semua ayat yang
memberikan gambaran tentang Allah secara “jasmani” sepert muka (wajah),tangan(yad),
mata (ainun), duduk (Istawa) dan lain-lain padahal Al-Assy’ari
sendiri tidak melakukannya. Semua itu menunjukkan bahkan bahwa Doktrin
Ahlussunnah Wal-Jama’ah ini cukup dinamis dan kedinamisan itu tidak lepas dari
pengaruh sosiohistoriknya.
Ketiga: kalau dahulu mulai zaman Al-Asy’ari dan Al-maturidi juga pada zaman
generasi selanjutnya. Masalah Aqidah dan prinsip-prinsip teologi Ahlussunnah
Wal-jama’ah , selalu dikembangkan melalui metode deologis, memberi peluang
untuk bertukar pikiran, mengadu argumen dan bersifat terbuka. Sekarang ini
kerapkali kita gunakan pendekatan yang sebaliknya guru banyak bersikap
otoriter, serba memaksakn, tidak banyak memberi peluang dialog tidak memberikan
penjelasan yang memuaskan, malah menimbulkan rasa penasaran pada peserta
didiknya.
Hal
demikian itu mungkin terjadi karena beberapa, seperti;
a.
Keterbatasan pengajar dalam menguasai subtansi
materi yang diberikan.
b. Keterbatasan wawasan
dalam masalah diajarkan, sehingga media dialog sulit dikembankan.
c. Kelemahan metodologi.
Akhirnya terasa sekali perlunya kajian-kajian
Ahlussunnah Wal-jama’ah yang lebih Intensif, baik secara Doktrinal, Historis,
maupun Kultural. Dan untuk itu semua kami kira perlu upaya mengembangkan “laboratorium
Ahlussunnah Wal-jama’ah”, yang bekerja untuk jangka panjang dengan intesitas
kajian yang utuh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar