Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ Lahir
Setelah kaum Wahabi melalui
pemberontakan yang mereka lakukan pada tahun 1925 berhasil menguasai seluruh
daerah Hejaz, maka mereka mengubah nama negeri Hejaz dengan nama Saudi Arabia.
Dengan dukungan sepenuhnya dari raja mereka yang pertama, Ibnu Sa’ud, mereka
mengadakan perombakan-perombakan secara radikal terhadap tata cara kehidupan
masyarakat. Tata kehidupan keagamaan, mereka sesuaikan dengan tata cara yang
dianut oleh golongan Wahabi, yang antara lain adalah ingin melenyapkan semua
batu nisan kuburan dan meratakannya dengan tanah.
Keadaan tersebut sangat
memprihatinkan bangsa Indonesia yang banyak bermukim di negeri Hejaz, yang
menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,dengan memilih salah satu dari empat
madzhab. Mereka sangat terkekang dan tidak mempunyai kebebasan lagi dalam
menjalankan ibadah sesuai dengan paham yang mereka anut. Hal ini dianggap oleh
bangsa Indonesia sebagai suatu persoalan yang besar.
Persoalan tersebut oleh bangsa
Indonesia tidak dianggap sebagai persoalan nasional bangsa Arab saja, melainkan
dianggap sebagai persoalan internasional, karena menyangkut kepentingan ummat
Islam di seluruh dunia. Oleh karena itu, para tokoh ulama di Jawa Timur
menganggap penting untuk membahas persoalan tersebut. Dipelopori oleh alm. KH.
Abdul Wahab Hasbullah dan almarhum hadlratus syaikh KH. Hasyim Asy’ari,
diadakanlah pertemuan di langgar H. Musa Kertopaten Surabaya. Pada pertemuan
tersebut dilahirkan satu organisasi yang diberi nama Comite Hejaz, yang
anggotanya terdiri dari para tokoh tua dan para tokoh muda.
Semula Comite Hejaz bermaksud akan
mengirimkan utusan ke tanah Hejaz untuk menghadap raja Ibnu Sa’ud. Akan tetapi
oleh karena satu dan lain hal pengiriman utusan ditangguhkan, dan sebagai
gantinya hanya mengirimkan telegram kepada raja Ibnu Sa’ud.
Pada tanggal 31 Januari 1926 M. atau
16 Rajab 1345 H, hari Kamis, di lawang Agung Ampel Surabaya, diadakan pertemuan
yang disponsori oleh Comite Hejaz sebagai realisasi dari gagasan yang timbul
pada pertemuan sebelumnya. Pada pertemuan ini, lahirlah organisasi baru yang
diberi nama “JAM’IYYAH NAHDLATUL ULAMA” dengan susunan pengurus HB (Hoof
Bestuur) sebagai berikut:
Ra’is Akbar : Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
Wakil Ra’is : KH. Said bin Shalih
Katib Awwal : KH. Abdul Wahab Hasbullah
Katib Tsani : Mas H. Alwi Abdul Aziz
Wakil Ra’is : KH. Said bin Shalih
Katib Awwal : KH. Abdul Wahab Hasbullah
Katib Tsani : Mas H. Alwi Abdul Aziz
Kehadiran Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’
dimaksudkan sebagai suatu organisasi yang dapat mempertahankan ajaran Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah dari segala macam intervensi (serangan) golongan-golongan
Islam di luar Ahlus Sunnah Wal Jama’ah di Indonesia pada khususnya dan di
seluruh dunia pada umumnya; dan bukan hanya sekedar untuk menghadapi golongan
Wahabi saja sebagaimana Comite Hejaz. Disamping itu juga dimaksudkan sebaga
organisasi yang mampu memberikan reaksi terhadap tekanan-tekanan yang diberikan
oleh Pemerintah Penjajah Belanda kepada ummat Islam di Indonesia.
1926-1929
Setelah Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’
lahir pada tanggal 31 Januari 1926 M, maka Comite Hejaz dibubarkan. Sedangkan
semua tugas Comite Hejaz yang belum dilaksanakan, dilimpahkan seluruhnya kepada
Jam’iyyah NU. Alhamdulillah, meskipun Jam’iyyah NU baru saja lahir, ternyata
telah mampu melaksanakan tugas-tugas yang berat; baik tugas yang dilimpahkan
oleh Comite Hejaz, maupun tugas yang diharapkan oleh ummat Islam kepadanya. Tugas-tugas
tersebut antara lain:
·
Pada bulan Februari 1926 M. setelah berhasil menyelenggarakan kongres Al
Islam di Bandung yang dihadiri oleh tokoh-tokoh organisasi Islam selain NU,
seperti: PSII, Muhammadiyah dan lain-lainnya. Diantara keputusan kongres tersebut
adalah mengirimkan dua orang utusan, yaitu: H.Umar Said Tjokroaminoto dari PSII
dan KH. Mas Mansur dari Muhammadiyah, ke Muktamar Alam Islam yang
diselenggarakan oleh raja Ibnu Saud (raja Saudi Arabia) di Makkah. Disamping
itu, Jam’iyyah NU juga mengirimkan utusan yang khusus membawa amanat NU, yaitu:
KH. Abdul Wahab Hasbullah dan KH. Ahmad Ghonaim Al Misri. Alhamdulillah kedua
utusan ini berhasil dengan baik. Kedua beliau ini pulang dengan membawa surat
dari raja Sa’ud ke Indonesia tertanggal 28 Dzul Hijjah 1347 H./ 13 Juni 1928
M., nomor: 2082, yang isinya antara lain menyatakan bahwa raja Ibnu Sa’ud
menjanjikan akan membuat satu ketetapan yang menjamin setiap ummat Islam untuk
menjalankan Agama Islam menurut paham yang dianutnya.
·
Sesuai dengan yang diharapkan oleh bangsa Indonesia, maka sejak lahir,
Jam’iyyah NU telah berani memberikan reaksi secara aktif terhadap rencana
pemerintah Penjajah Belanda mengenai:
- Ordonansi Perkawinan atau Undang-Undang Perkawinan, yang isinya mengkombinasikan hukum-hukum Islam dengan hukum-hukum yang dibawa Belanda dari Eropa.
- Pelimpahan pembagian waris ke Pengadilan Negeri (Nationale Raad) dengan menggunakan ketentuan hukum di luar Islam.
- Persoalan pajak rodi, yaitu pajak yang dikenakan kepada warga negara Indonesia yang bermukim di luar negeri.
- Dan lain-lainnya.
Walhasil, meskipun NU tidak pernah
menyatakan sebagai Partai Politik, namun yang ditangani adalah soal-soal
politik.
1929-1942
Pada tanggal 5 September 1929
Jam’iyyah NU mengajukan Anggaran Dasar (Statuten) dan Anggaran Rumah Tangga
(Huishoudelijk Reglemen) yang telah disusun kepada Pemerintah Hindia Belanda.
Dan pada tanggal 6 Februari 1930 mendapat pengesahan dari Pemerintah Hindia
Belanda sebagai organisasi resmi dengan nama: “PERKUMPULAN NAHDLATUL ULAMA”
untuk jangka waktu 29 tahun terhitung sejak berdiri, yaitu: 31 Januari 1926.
Hoofbestuur (Pengurus Besar)
Nahdlatul Ulama’ juga berusaha membuat lambang NU dengan jalan meminta kepada
para Kyai untuk melakukan istikharah. Dan ternyata Almarhum KH. Ridlwan
Abdullah, Bubutan Surabaya berhasil. Dalam mimpi, beliau melihat gambar lambang
itu secara lengkap seperti lambang yang sekarang; tanpa mengetahui makna
simbol-simbol yang terdapat dalam lambang tersebut satu-persatu.
Setelah berdiri secara resmi,
Nahdlatul Ulama’ mendapat sambutan dari seluruh masyarakat Indonesia yang
sebagian besar berhaluan salah satu dari madzhab empat. Sehingga dalam waktu
yang relatif singkat, 4 sampai 5 bulan, sudah terbentuk 35 cabang. Hal ini
disebabkan oleh beberapa faktor, yang antara lain:
·
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama’ dipimpin oleh para ulama’ yang menjadi guru
dari para kyai yang tersebar di seluruh Nusantara, khususnya Hadlratus Syaikh
KH. Hasyim Asy’ari.
·
Kesadaran ummat Islam Indonesia akan keperluan organisasi Islam sebagai
tempat menyalurkan aspirasi dan sebagai kekuatan sosial yang tangguh dalam
menghadapi tantangan dari luar.
Sebagai organisasi sosial yang harus
menangani semua kepentingan masyarakat, Nahdlatul Ulama’ memandang sangat perlu
untuk membentuk kader-kader yang terdiri dari generasi muda yang sanggup
melaksanakan keputusan-keputusan yang telah diambil oleh NU. Untuk itu, pada
tanggal 12 Februari 1938, atas prakarsa KH. Abdul Wahid Hasyim selaku konsul
Jawa Timur, diselenggarakan konferensi Daerah Jawa Timur yang menelorkan
keputusan untuk menyelenggarakan pendidikan formal, yaitu mendirikan
madrasah-madrasah, disamping sistem pendidikan pondok pesantren.
Madrasah-madrasah yang didirikan itu terdiri dari dua macam, yaitu:
* Madrasah Umum, yang terdiri dari:
o Madrasah Awwaliyah, dengan masa belajar 2 tahun.
o Madrasah Ibtidaiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Tsanawiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Mu’allimin Wustha, dengan masa belajar 2 tahun.
o Madrasah Mu’allimin ‘Ulya, dengan masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Ibtidaiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Tsanawiyyah, dengan masa belajar 3 tahun.
o Madrasah Mu’allimin Wustha, dengan masa belajar 2 tahun.
o Madrasah Mu’allimin ‘Ulya, dengan masa belajar 3 tahun.
* Madrasah Kejuruan
(Ikhtishashiyyah), yang terdiri dari:
o Madrasah Qudlat (Hukum).
o Madrasah Tijarah (Dagang).
o Madrasah Nijarah (Pertukangan).
o Madrasah Zira’ah (Pertanian).
o Madrasah Fuqara’ (untuk orang-orang fakir).
o Madrasah Khusus.
o Madrasah Tijarah (Dagang).
o Madrasah Nijarah (Pertukangan).
o Madrasah Zira’ah (Pertanian).
o Madrasah Fuqara’ (untuk orang-orang fakir).
o Madrasah Khusus.
Kelahiran Al Majlis Al Islamiy Al
A’la (MIAI)
Pada masa penjajahan Belanda, ummat
Islam Indonesia selalu mendapat tekanan-tekanan dari pemerintah penjajah
Belanda, disamping penghinaan-penghinaan yang dilakukan oleh golongan di luar
Islam kepada agama Islam, Al Qur’an dan Nabi Besar Muhammad saw.. Untuk
menghadapi hal tersebut, maka Nahdlatul Ulama’ memandang perlu untuk
mempersatukan seluruh potensi ummat Islam di Indonesia.
Pada tahun 1937 Nahdlatul Ulama’
telah memelopori persatuan ummat Islam di seluruh Indonesia dengan membidani
kelahiran dari Al Majlis al Islamiy al A’la Indonesia (MIAI), dengan susunan
dewan sebagai berikut:
Ketua Dewan : KH. Abdul Wahid Hasyim, dari NU
Wakil Ketua Dewan : W. Wondoamiseno, dari PSII
Sekretaris (ketua) : H. Fakih Usman, dari Muhammadiyah
Penulis : S.A. Bahresy, dari PAI
Bendahara : 1. S. Umar Hubeis, dari Al Irsyad
2. K.H. Mas Mansur, dari Muhammadiyah
3. Dr. Sukiman, dari PII
Ketua Dewan : KH. Abdul Wahid Hasyim, dari NU
Wakil Ketua Dewan : W. Wondoamiseno, dari PSII
Sekretaris (ketua) : H. Fakih Usman, dari Muhammadiyah
Penulis : S.A. Bahresy, dari PAI
Bendahara : 1. S. Umar Hubeis, dari Al Irsyad
2. K.H. Mas Mansur, dari Muhammadiyah
3. Dr. Sukiman, dari PII
Adapun tujuan perjuangan yang akan
dicapai oleh MIAI antara lain sebagai berikut:
·
Menggabungkan segala perhimpunan ummat Islam Indonesia untuk bekerja
bersama-sama.
·
Berusaha mengadakan perdamaian apabila timbul pertikaian di antara
golongan ummat Islam Indonesia, baik yang telah tergabung dalam MIAI maupun
belum.
·
Merapatkan hubungan antara ummat Islam Indonesia dengan ummat Islam di
luar negeri.
·
Berdaya upaya untuk keselamatan agama Islam dan ummatnya.
·
Membangun Konggres Muslimin Indonesia (KMI) sesuai dengan pasal 1
Anggaran Dasar MIAI.
1942-1952 ; Kelahiran Majlis Syura
Muslimin Indonesia (MASYUMI)
Pada masa penjajahan Jepang, MIAI
masih diberi hak hidup oleh Pemerintah Penjajah Jepang. Malah suara MIAI tetap
diijinkan untuk terbit selama isinya mengenai hal-hal berikut:
- Menyadarkan rakyat atas keimanan yang sebenar-benarnya dan berusaha dengan sekuat tenaga bagi kemakmuran bersama.
- Penerangan-penerangan dan tafsir Al Qur’an.
- Khutbah-khutbah dan pidato-pidato keagamaan yang penting dari para ulama’ atau kyai yang terkenal.
- Memberi keterangan kepada rakyat, bagaimana daya upaya Dai Nippon yang sesungguhnya untuk membangunkan Asia Timur Raya.
- Memperkenalkan kebudayaan Dai Nippon dengan jalan berangsur-angsur.
Akan tetapi setelah Letnan Jendral
Okazaki selaku Gunseikan pada tanggal 7 Desember 1942 berpidato di hadapan para
ulama’ dari seluruh Indonesia yang dipanggil ke istana Gambir Jakarta, yang
isinya antara lain: Akan memberikan kedudukan yang baik kepada pemuda-pemuda
yang telah dididik secara agama, tanpa membeda-bedakan dengan golongan lain
asal saja memiliki kecakapan yang cukup dengan jabatan yang akan dipegangnya,
maka sekali lagi Nahdlatul Ulama’ tampil ke depan untuk memelopori kalahiran
dari Majlis Syura Muslimin Indonesia (MASYUMI) sebagai organisasi yang dianggap
mampu membereskan segala macam persoalan kemasyarakatan; baik yang bersifat
sosial maupun yang bersifat politik, agar keinginan untuk menuju Indonesia
Merdeka, bebas dari segala macam penjajahan segera dapat dilaksanakan. Dan
setelah Masyumi lahir, maka MIAI pun dibubarkan.
Pembentukan laskar rakyat
Pemerintah Penjajah Jepang memang
mempunyai taktik yang lain dengan Penjajah Belanda terhadap para ulama’ di
Indonesia. Dari informasi yang diberikan oleh para senior yang dikirim oleh
pemerintah Jepang ke Indonesia jauh sebelum masuk ke Indonesia (mereka menyamar
sebagai pedagang kelontong dan lain sebagainya yang keluar masuk kampung),
penjajah Jepang telah mengetahui bahwa bangsa Indonesia yang mayoritas beragama
Islam serta menganut paham Ahlus Sunnah Wal Jama’ah, semuanya ta’at, patuh dan
tunduk kepada komando yang diberikan oleh para ulama’.
Oleh karena itu, penjajah Jepang
ingin merangkul para ulama’ untuk memukul bangsa Indonesia sendiri. Itulah
sebabnya, maka dengan berbagai macam dalih dan alasan, penjajah Jepang meminta
kepada para ulama’ agar memerintahkan kepada para pemuda untuk memasuki dinas
militer, seperti Peta, Heiho dan lain sebagainya.
Sedang Nahdlatul Ulama’ sendiri
mempunyai maksud lain, yaitu bahwa untuk mencapai kemerdekaan Indonesia dan
mempertahankan kemerdekaan, mutlak diperlukan pemuda-pemuda yang terampil
mempergunakan senjata dan berperang. Untuk itu Nahdlatul Ulama’ berusaha
memasukkan pemuda-pemuda Ansor dalam dinas Peta dan Hisbullah. Sedangkan untuk
kalangan kaum tua, Nahdlatul Ulama’ tidak melupakan untuk membentuk Barisan
Sabilillah dengan KH. Masykur sebagai panglimanya; meskipun sebenarnya selama
penjajahan Jepang NU telah dibubarkan. Jadi peran aktif NU selama penjajahan
Jepang adalah menggunakan wadah MIAI dan kemudian MASYUMI.
Masyumi menjelma sebagai Partai Politik
Setelah proklamasi kemerdekaan
Indonesia, Nahdlatul Ulama’ yang dibubarkan oleh penjajah Jepang bangkit
kembali dan mengajak kepada seluruh ummat Islam Indonesia untuk membela dan
mempertahankan tanah air yang baru saja merdeka dari serangan kaum penjajah
yang ingin merebut kembali dan merampas kemerdekaan Indonesia.
Rais Akbar dari Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama’, Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari, mengeluarkana fatwa
bahwa mempertahankan dan membela kemerdekaan Indonesia adalah wajib hukumnya.
Seruan dan ajakan NU serta fatwa
dari Rais Akbar ini mendapat tanggapan yang positif dari ummat Islam; dan
bahkan berhasil menyentuh hati nurani arek-arek Surabaya, sehingga mereka tidak
mau ketinggalan untuk memberikan andil yang tidak kecil artinya dalam peristiwa
10 November ’45
Pengurus Besar NU hampir sebulan
lamanya mencari jalan keluar untuk menanggulangi bahaya yang mengancam dari
fihak penjajah yang akan menyengkeramkan kembali kuku-kuku penjajahannya di
Indonesia.
Kelambanan NU dalam hal tersebut disebabkan
karena pada masa penjajahan Jepang NU hanya membatasi diri dalam
pekerjaan-pekerjaan yang bersifat agamis,sedang hal-hal yang menyangkut
perjuangan kemerdekaan atau berkaitan dengan urusan pemerintahan selalu
disalurkan dengan nama Masyumi.
Atas prakarsa Masyumi, di bawah
pimpinan KH. Abdul Wahid Hasyim, maka Masyumi yang pada masa penjajahan Jepang
merupakan federasi dari organisasi-organisasi Islam, mengadakan konggresnya di
Yogyakarta pada tanggal 7 November 1945. Pada konggres tersebut telah disetujui
dengan suara bulat untuk meningkatkan Masyumi dari Badan Federasi menjadi
satu-satunya Partai Politik Islam di Indonesia dengan Jam’iyyah Nahdlatul
Ulama’ sebagai tulang punggungnya. Adapun susunan Dewan Pimpinan Partai Masyumi
secara lengkap adalah sebagai berikut:
Majlis Syura (Dewan Partai)
Ketua Umum : Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
Ketua Muda I : Ki Bagus Hadikusuma
Ketua Muda II : KH. Abdul Wahid Hasyim
Ketua Muda III : Mr. Kasman Singodimejo
Anggota : 1. RHM. Adnan.
2. H. Agus Salim.
3. KH. Abdul Wahab Hasbullah.
4. KH. Abdul Halim.
5. KH. Sanusi.
6. Syekh Jamil Jambek
Pengurus Besar
Ketua : Dr. Sukirman
Ketua Muda I : Abi Kusno Tjokrosuyono
Ketua Muda II : Wali Al Fatah
Sekretaris I : Harsono Tjokreoaminoto
Sekretaris II : Prawoto Mangkusasmito
Bendahara : Mr. R.A. Kasmat
Ketua Umum : Hadlratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari
Ketua Muda I : Ki Bagus Hadikusuma
Ketua Muda II : KH. Abdul Wahid Hasyim
Ketua Muda III : Mr. Kasman Singodimejo
Anggota : 1. RHM. Adnan.
2. H. Agus Salim.
3. KH. Abdul Wahab Hasbullah.
4. KH. Abdul Halim.
5. KH. Sanusi.
6. Syekh Jamil Jambek
Pengurus Besar
Ketua : Dr. Sukirman
Ketua Muda I : Abi Kusno Tjokrosuyono
Ketua Muda II : Wali Al Fatah
Sekretaris I : Harsono Tjokreoaminoto
Sekretaris II : Prawoto Mangkusasmito
Bendahara : Mr. R.A. Kasmat
Nahdlatul Ulama Memisahkan Diri Dari
Masyumi
Perpecahan yang terjadi dalam tubuh
Partai Masyumi benar-benar di luar keinginan Nahdlatul Ulama’. Sebab Nahdlatul
Ulama’ selalu menyadari betapa pentingnya arti persatuan ummat Islam untuk
mencapai cita-citanya. Itulah yang mendorong Nahdlatul Ulama’ yang dimotori
oleh KH.Abdul Wahid Hasyim untuk mendirikan MIAI, MASYUMI, dan akhirnya
mengorbitkannya menjadi Partai Politik. Bahkan Nahdlatul Ulama’ adalah modal
pokok bagi existensi Masyumi, telah dibuktikan oleh Nahdlatul Ulama’ pada
konggresnya di Purwokerto yang memerintahkan semua warga NU untuk beramai-ramai
menjadi anggauta Masyumi. Bahkan pemuda-pemuda Islam yang tergabung dalam Ansor
Nahdlatul Ulama’ juga diperintahkan untuk terjun secara aktif dalam GPII
(Gabungan Pemuda Islam Indonesia).
Akan tetapi apa yang hendak dikata,
beberapa oknum dalam Partai Masyumi berusaha dengan sekuat tenaga untuk
menendang NU keluar dari Masyumi. Mereka beranggapan bahwa Majlis Syura yang mempunyai
kekuasaan tertinggi dalam Masyumi sangat menyulitkan gerak langkah mereka dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan yang bersifat politis. Apalagi segala sesuatu
persoalan harus diketahui / disetujui oleh Majlis Syura, mereka rasakan sangat
menghambat kecepatan untuk bertindak. Dan mereka tidak mempunyai kebebasan
untuk menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politik. Akhirnya
ketegangan hubungan antara ulama’/kyai dengan golongan intelek yang dianggap
sebagai para petualang yang berkedok agama semakin parah. Karena keadaan
semacam itu, maka para pemimpin PSII sudah tidak dapat menahan diri lagi.
Mereka mengundurkan diri dari Masyumi dan aktif kembali pada organisasinya;
sampai kemudian PSII menjadi partai.
Pengunduran diri PSII tersebut oleh
pemimpin-pemimpin Masyumi masih dianggap biasa saja. Bahkan pada muktamar
Partai Masyumi ke-IV di Yogyakarta yang berlangsung pada tanggal 15 – 19
Desember 1949, telah diputuskan perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga. Majlis Syura yang semula menjadi dewan yang tertinggi diubah menjadi
Penasihat yang tidak mempunyai hak veto; dan nasihatnya sendiri tidak harus
dilaksanakan.
Sikap Masyumi yang telah merendahkan
derajat para ulama’ tersebut dapat ditolelir oleh warga Nahdlatul Ulama’. Namun
PBNU masih berusaha keras untuk memperhatikan persatuan ummat Islam. Nahdlatul
Ulama’ meminta kepada pimpinan-pimpinan Masyumi agar organisasi ini
dikembalikan menjadi Federasi Organisasi-Organisasi Islam, sehingga tidak
menyampuri urusan rumah tangga dari masing-masing organisasi yang bergabung di
dalamnya. Namun permintaan ini tidak digubris, sehingga memaksa Nahdlatul
Ulama’ untuk mengambil keputusan pada muktamar NU di Palembang, tanggal: 28
April s/d 1 Mei 1952 untuk keluar dari Masyumi, berdiri sendiri dan menjadi
Partai.
Nahdlatul Ulama’ membentuk Liga Muslimin
Nahdlatul Ulama’ membentuk Liga Muslimin
Setelah Nahdlatul Ulama’ keluar dari
Masyumi, Jam’iyyah NU yang sudah menjadi Partai Politik ternyata masih gandrung
pada persatuan ummat Islam Indonesia. Untuk itu Nahdlatul Ulama’ mengadakan
kontak dengan PSII dan PERTI membentuk sebuah badan yang berbentuk federasi
dengan tujuan untuk membentuk masyarakat Islamiyah yang sesuai dengan
hukum-hukum Allah dan sunnah Rasulullah saw. Gagasan NU ini mendapat tanggapan
yang positif dari PSII dan PERTI, sehingga pada tanggal 30 Agustus 1952 diakan
pertemuan yang mengambil tempat di gedung Parlemen RI di Jakarta, lahirlah Liga
Muslimin Indonesia yang anggautanya terdiri dari Nahdlatul Ulama’, PSII, PERTI
dan Darud Dakwah Wal Irsyad.
Dekade 1965
Selama Nahdlatul Ulama’ menjadi
Partai Islam, dalam gerak langkah nya mengalami pasang naik dan juga ada
surutnya. Saat kabut hitam melingkupi awan putih wilayah nusantara pada tanggal
30 September 1965, kepeloporan Nahdlatul Ulama’ muncul dan mampu mengimbangi
kekuatan anti Tuhan yang menamakan dirinya PKI (Partai Komunis Indonesia).
Sikap Nahdlatul Ulama’ pada saat itu betul-betul sempat membuat kejutan pada
organisasi-organisasi selain NU.
Keberhasilan Nahdlatul Ulama’ dalam
menumbangkan PKI dapat diakui oleh semua fihak. Dan hal ini menambah
kepercayaan Pemerintah terhadap Nahdlatul Ulama’. Nahdlatul Ulama’ sebagai
Partai Politik sudah membuat kagum dan dikenal serta disegani oleh setiap orang
di kawasan Indonesia, bahkan oleh dunia internasional. Apalagi mampu menumbangkan
dan menumpas pemberontakan Partai Komunis yang belum pernah dapat ditumpas oleh
negara yang manapun di seluruh dunia. Sehingga dengan demikian, Nahdlatul
Ulama’ dihadapkan kepada permasalahan-permasalahan yang sangat komplek dengan
berbagai tetek-bengeknya. Namun Nahdlatul Ulama’ sendiri dalam hal rencana
perjuangannya yang terperinci, mengalami pembauran kepentingan partai dengan
kepentingan pribadi dari para pimpinannya. Oleh sebab itu, pada sekitar tahun
1967, Nahdlatul Ulama’ yang sudah berada di puncak mulai menurun. Hal ini
disebabkan antara lain oleh pergeseran tata-nilai, munculnya tokoh-tokoh baru,
ketiadaan generasi penerus dan lain sebagainya.
Pergeseran tata-nilai ini terjadi di
saat Nahdlatul Ulama’ menghadapi Pemilihan Umum tahun 1955. Nahdlatul Ulama’
harus mempunyai anggauta secara realita, terdaftar dan bertanda anggauta secara
pasti. Demi pengumpulan suara, maka apa-apa yang menjadi tujuan Nahdlatul
Ulama’, kini dijadikan nomor dua. Partai Nahdlatul Ulama’ membutuhkan anggauta
sebanyak-banyaknya, sekalipun mereka bukan penganut aliran Ahlus Sunnah Wal
Jama’ah. Akibat dari pergeseran nilai inilah yang membuat kabur antara tujuan,
alat dan sarana. Sebagai Partai Politik yang militan, Nahdaltul Ulama’ harus
berusaha agar dapat merebut kursi Dewan Perwakilan Rakyat sebanyak mungkin;
demikian pula halnya jabatan-jabatan sebagai menteri. Hal itu dimaksudkan
sebagai alat untuk dapat melaksanakan program dalam mencapai tujuan partai.
Akan tetapi karena pengaruh lingkungan dan juga karena pergeseran nilai, maka
jabatan-jabatan yang semula dimaksudkan sebagai alat yang harus dicapai dan
dimiliki, kemudian berubah menjadi tujuan. Dan hal ini sangat berpengaruh bagi
kemajuan dan kemunduran partai dalam mencapai tujuan.
Pada sekitar tahun 1967/1968, Nahdlatul
Ulama’ mencapai puncak keberhasilan. Akan tetapi sayang sekali, justeru pada
saat itu ciri khas Nahdlatul Ulama telah menjadi kabur. Pondok Pesantren yang
semula menjadi benteng terakhir Nahdlatul Ulama’ sudah mulai terkena erosi,
sebagai akibat perhatian Nahdlatul Ulama’ yang terlalu dicurahkan dalam
masalah-masalah politik.
Penyederhanaan Partai-Partai
Pada pemilu tahun 1971, Nahdlatul
Ulama’ keluar sebagai pemenang nomor dua. Hal tersebut membawa anggapan baru
bagi masyarakat umum bahwa sebenarnya kepengurusan Nahdlatul Ulama’ adalah
sebagai hal yang luar biasa; sementara di pihak lain terdapat dua partai yang
tidak mendapatkan kursi sama sekali, yaitu Partai MURBA dan IPKI, yang berarti
aspirasi politiknya terwakili oleh kelompok lain. Dari sinilah timbul gagasan
untuk menyederhanakan partai-partai politik.
Kehendak menyederhanakan
partai-partai politik tersebut, datangnya memang bukan dari Nahdlatul Ulama’.
Akan tetapi Nahdlatul Ulama’ menyambut dengan gembira. Dan dalam penyederhanaan
tersebut Nahdlatul Ulama’ tidak membentuk federasi, akan tetapi melakukan fusi.
Namun demikian, ganjalan pun terjadi, karena memang masing-masing pihak yang
berfusi mempunyai tata-nilai sendiri-sendiri.
Bagaimanakah kenyataannya?
Kehidupan politik yang ditentukan oleh
golongan elit telah menyeret para pemimpin dan tokoh-tokoh Jam’iyyah Nahdlatul
Ulama’ ke dalam kehidupan elit. Padahal kehidupan elit semacam ini tidak
terdapat dalam tubuh Nahdlatul Ulama’. Sehingga kehidupan elit ini sebagai
barang baru yang berkembang biak dan hidup subur di kalangan Nahdlatul Ulama’.
Maka timbullah pola pemikiran baru yang mengarah kepada kehidupan individualis,
agar tidak tergeser dari rel yang menuju kepada kehidupan elit. Dari fusi
inilah rupa-rupanya yang membuat parah kondisi yang asli dari Jam’iyyah
Nahdlatul Ulama’ sejak mula pertama didirikan sebagai jam’iyyah.
Nahdlatul Ulama’ Kembali Kepada
Khittah An Nahdliyah
Selama Nahdlatul Ulama’ berfusi
dalam tubuh Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tata-nilai semakin berjurang
lebar; sementara dalam tubuh Nahdlatul Ulama’ sendiri terdapat banyak
ketimpangan dan kesimpang-siuran. Dalam kurun waktu yang lama, secara tidak disadari,
Nahdlatul Ulama’ telah menjadi kurang peka dalam menanggapi dan mengantisipasi
perkembangan keadaan, khususnya yang menyangkuat kepentingan ummat dan bangsa.
Salah satu sebabnya adalah ketelibatan Nahdlatul Ulama’ secara berlebihan dalam
kegiatan politik praktis; yang pada gilirannya telah menjadikan Nahdlatul
Ulama’ tidak lagi berjalan sesuai dengan maksud kelahirannya, sebagai jam’iyyah
yang ingin berkhidmat secara nyata kepada agama, bangsa dan negara. Bahkan hal
tersebut telah mengaburkan hakekat Nahdlatul Ulama’ sebagai gerakan yang
dilakukan oleh para ulama’. Tidak hanya sekedar itu saja yang sangat
menyulitkan Nahdlatul Ulama’ dalam kancah politik selama berfusi dalam PPP;
akan tetapi silang pendapat di kalangan NU sendiri semakin tajam, sehingga
sempat bermunculan berbagai hepothesa tentang bagaimana dan siapa sebenarnya
Nahdlatul Ulama’.
Dari kejadian demi kejadian dan
bertolak dari keadaan tersebut, maka sangat dirasakan agar Nahdlatul Ulama’
secepatnya mengembalikan citranya yang sesuai dengan khittah Nahdlatul Ulama’
tahun 1926. Hal ini berarti bahwa Nahdlatul Ulama’ harus melepaskan diri dari
kegiatan politik praktis secara formal, seperti yang telah diputuskan dalam
Musyawarah Alim Ulama’ Nahdlatul Ulama’ (Munas NU) di Pondok Pesantren Salafiyah
Syafi’iyyah Sukorejo Situbondo Jawa Timur tahun 1982.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar