Mengenal Syi’ah dari
Kitab-Kitab Syi’ah
Definisi
Syi’ah
Kata Syi’ah menurut bahasa
adalah pendukung atau pembela. Syi’ah Ali adalah pendukung Ali atau pembela Ali. Syi’ah Muawiyyah
adalah pendukung Muawiyyah. Istilah ini belum dikenal pada masa Abu Bakar, Umar
dan Utsman dalam arti suatu kelompok.
Al-Mufid,
seorang tokoh Syi’ah abad ke 5 H (w. 413 H/1022 M) mendefinisikan Syi’ah
sebagai:
الشِّيْعَةُ أَتْبَاعُ أَمِيْرِ
الْمُؤْمِنِيْنَ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَى سَبِيْلِ الْولاَءِ وَالْاِعْتِقَادِ بِإِمَامَتِهِ
بَعْدَ الرَّسُوْلِ صَلَوَاتُ اللهِ عَلَيْهِ وَأَلِهِ بِلاَ فَصْلٍ, وَنَفَي الاِمَامَةَ
عَمَّنْ تَقَدَّمَهُ فِي مَقَامِ الخِلاَفَةِ, وَجَعَلَهُ فِي الاِعْتِقَادِ مَتْبُوْعًا
لَهُ غَيْرَ تَابِعٍ لِأَحَدٍ مِنْهُمْ عَلىَ وَجْهِ الاِقْتِدَاءِ (اوائل المقالات
:2-4).
“Syi’ah adalah pengikut Amirul Mukminin (Ali bin Abi Thalib)
shalawatullah ‘alaih atas dasar mencintai dan meyakini kepemimpinannya (imamah)
sesudah Rasul SAW tanpa terputus (oleh orang lain seperti Abu Bakar dan
lainnya). Tidak mengakui keimamahan imamah orang sebelumnya (Ali) sebagai
pewaris kedudukan khalifah dan hanya meyakini Ali sebagai pemimpin, bukan
mengikuti salah satu dari orang-orang sebelumnya (Abu Bakar, Umar dan Utsman).” (Al-Mufid, Awa’il al-Maqalat, hal. 2-4).
Definisi Al-Mufid di atas secara tegas menunjukkan bahwa dia tidak
mengakui kekhalifahan sahabat Abu Bakar, Umar dan Utsman. Keyakinan tersebut
sangat berbeda dengan keyakinan Ahlussunnah wal Jama’ah yang mengakui
kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Utsman secara utuh dan tertib sesuai urutannya.
Syi’ah dan Abdullah bin Saba’
Terkait
masalah awal munculnya sikap fanatik kepada sayyidina Ali terjadi perdebatan di
kalangan sejarawan. Bahkan di
kalangan Syi’ah sendiri juga terjadi perbedaan dalam hal ini. Muhammad Husain
Ali Kasyif al-Ghitha’, tokoh Syi’ah kontemporer, mengemukakan bahwa orang yang
pertama kali memunculkan benih-benih keberpihakan terhadap Ali adalah pembawa
syari’at Islam sendiri (Nabi Muhammad). Artinya, munculnya benih-benih Syi’ah adalah
bersamaan dengan munculnya benih-benih ajaran Islam (Ashl al-Syi’ah wa
Ushuliha, hal. 43). Pendapat senada juga diungkapkan oleh Muhammad Jawwad Mughniyyah dalam kitabnya al-Syi’ah
fi al-Mizan (hal. 17).
Dengan
asumsi demikian, maka secara tidak langsung para tokoh Syi’ah berusaha untuk
menafikan peran Abdullah bin Saba’ dalam sejarah kemunculan Syi’ah. Abdullah
bin Saba’ dianggap sebagai sutradara fitnah terhadap khalifah Utsman hingga
mengantarkan kepada terbunuhnya beliau. Dia adalah seorang pendeta Yahudi dari
Yaman yang pura-pura masuk Islam pada akhir masa khilafah Utsman.
Abdullah
bin Saba’ berusaha dan berjuang mengobarkan fitnah di kalangan kaum muslimin
pada masa pemerintahan Utsman bin Affan. Abdullah bin Saba’ berhasil menyebarkan
akidah-akidah menyimpang yang diadopsinya dari ajaran Yahudi, seperti raj’ah,
bada’, para Nabi pasti mempunyai washi dan sebagainya. Menurutnya,
para Nabi pasti mempunyai washi, dan Ali adalah washi-nya Nabi Muhammad.
Setelah berhasil menyebarkan akidah-akidah tersebut, selanjutnya ia beralih
menyebarkan sikap anti-Utsman dengan cara mencemarkan nama baik beliau yang
dituduh merampas kursi
kekhalifahan Ali tanpa hak. Selanjutnya, provokasi Abdullah bin Saba’ yang
sangat rapi berujung pada terbunuhhya khalifah Utsman (al-Thabari, Tarihk
al-Umam wa al-Muluk, 4/340-341).
Pasca perang
Jamal dan perang Shiffin yang kemudian disusul dengan terbunuhnya
Ali menjadi salah satu faktor yang menyebabkan semakin suburnya doktrin-doktrin
sesat Abdullah bin Saba’ hingga menyebabkan terbunuhnya Sayyidina Husain RA.
Memang,
ada beberapa tokoh Syi’ah yang mengingkari keberadaan Abdullah bin Saba’, tokoh
Yahudi yang digembar-gemborkan sebagai proklamator pecinta keluarga Nabi,
seperti Murtadha al-‘Askari, Ali al-Wardi, Mushthafa al-Syaibi dan lain
sebagainya.
Akan
tetapi, jika kita membaca kitab-kitab sejarah yang otoritatif, maka kita akan
mendapatkan suatu bukti bahwa keberadaan Abdullah bin Saba’ tidak bisa
dipungkiri. Bahkan tokoh-tokoh Syi’ah sendiripun banyak yang menerima
eksistensi Abdullah bin Saba’ tersebut. Seperti Sa’ad al-Qummi, tokoh Syi’ah
abad ke 3, al-Nubakhthi, al-Kasyi, dan lain sebagainya.
Dengan
demikian, mengingkari keberadaan Abdullah bin Saba’ sama dengan mendustakan
sekian banyak ulama Syi’ah dan membatalkan buku-buku Syi’ah tentang rawi-rawi
hadits, sekaligus mengakui bahwa buku-buku Syi’ah tentang rijal bukan
rujukan yang bisa dipercaya.
Rukun Iman Syi’ah
Pada
dasarnya, dalam hal kepercayaan kepada Allah, Syi’ah tidak berbeda dengan Ahlussunnah
wal Jama’ah. Syi’ah juga percaya bahwa Allah adalah Esa, tidak beranak dan
diperanakkan. Mereka juga meyakini bahwa Allah tidak serupa dengan sesuatu
apapun, dan mereka menghukumi kafir terhadap orang-orang yang menyekutukan
Allah.
Akan
tetapi yang membuat doktrin Syi’ah dan Ahlussunnah berbeda tentang uluhiyyah
(ketuhanan) adalah penambahan Syi’ah terhadap doktrin tersebut. Menurut mereka
siapapun yang beriman kepada Allah namun tidak beriman terhadap kepemimpinan Sayyidina
Ali setelah Nabi SAW dan para imam keturunan beliau, maka hukumnya sama dengan
musyrik.
Muhammad
Jawad al-Amili berkata:
الإِيْمَانُ عِنْدَنَا إِنَّمَا يَتَحَقَّقُ بِالاِعْتِرَافِ بِإِمَامَةِ
الأَئِمَّةِ الاِثْنيَ عَشَرَ عَلَيْهِمْ السَّلاَمُ, إِلاَّ مَنْ مَاتَ فِي عَهْدِ
أَحَدِهِمْ فَلاَ يُشْتَرَطُ فِي إِيْمانِهِ إلاَّ مَعْرِفَةُ إمَامِ زَمَانِهِ وَمِنْ
قَبْلِهِ.
“Iman menurut kami hanya terwujudkan dengan cara
mengakui keimamahan Imam yang dua belas, kecuali bagi orang yang mati pada
zaman salah satu dari mereka maka tidak disyaratkan beriman kecuali mengetahui Imam
pada masanya dan masa sebelumnya.”
(Ushul Madzhab al-Syi’ah, hal. 693).
Al-Kulaini
dalam kitabnya menyebutkan suatu riwayat, sebagai berikut:
وعن أبي جعفر قال :
"..... لَقِّنُوْا مَوْتَاكُمْ عِنْدَ المَوْتِ شَهَادَةَ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ
اللهُ وَالْوِلاَيَةَ.
“Tuntunlah orang yang sedang sakratul maut bacaan syahadat
(persaksian bahwa tiada Tuhan selain Allah) dan wilayah (pengakuan atas
kepemimpina Ali).” (Furu’
al-Kafi, 1/34).
Demikianlah,
konsep imamah menjadi sentral doktrin kaum syi’ah. Mereka menjadikan imamah
sebagai salah satu rukun dari rukun-rukun agama Islam. Bahkan, mereka tidak
segan untuk mengkafirkan kelompok lain yang tidak mengakui keimamahan Ali dan
imam-imam keturunannya. Sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Wasa’il
karangan al-Mufid yang menjelaskan tentang kesepakatan kaum syi’ah dalam
mengkafirkan umat Islam:
اِتَّفَقَتْ الإِمَامِيَّةُ
عَلَى أَنَّ مَنْ أَنْكَرَ إِمَامَةَ أَحَدٍ مِنَ الأَئِمَّةِ وَجَحَدَ مَا أَوْجَبَهُ
اللهُ تعالى لَهُ مِنْ فَرْضِ الطَّاعَةِ فَهُوَ كَافِرٌ ضَالٌّ مُسْتَحِقٌّ لِلْخُلُوْدِ
فِي النَّارِ.
“Syi’ah Imamiyyah sepakat bahwa orang yang tidak
meyakini keimamahan salah satu dari para imam dan mengingkari apa yang telah
diwajibkan Allah SWT kepadanya dari kewajiban taat (kepada para imam), maka dia
kafir, sesat dan layak kekal di neraka.”
(Ushul Madzhab al-Syi’ah, hal. 867). Riwayat tersebut juga dikutip oleh
al-Majlisi dalam Bihar al-Anwar (8/366).
Adapun
dalam hal nubuwwah
(kenabian), Syi’ah tidak berbeda dengan Ahlussunnah. Mereka
juga mengakui eksistensi nubuwwah. Namun
demikian, mereka tetap menjadikan imamah sebagai sentral dari doktrin
mereka. Al-Thusi, salah satu ulama Syi’ah, menganggap bahwa orang yang menolak
keyakinan imamah ini sama halnya dengan menolak nubuwwah, sebagaimana
perkataannya:
وَدَفْعُ الاِمَامَةِ كُفْرٌ, كَمَا أَنَ دَفْعَ النُّبُوَّةِ كُفْرٌ,
لِاَنَّ الجَهْلَ بِهِمِا عَلَى حَدٍّ وَاحِدٍ.
“Menyangkal keimaman adalah kafir, seperti halnya
menyangkal kenabian. Sebab (hukum) tidak
tahu pada keduanya berada pada taraf yang sama.” (al-Thusi, Talkhis
al-Syafi, 4/131).
Lebih ekstrim lagi, al-Majlisi dalam kitabnya menegaskan
bahwa para Rasul Ulul Azmi bisa sampai pada derajat yang tinggi disebabkan
mereka mencintai imam Ahlul Bait. Seandainya para Rasul Ulul Azmi tersebut
tidak meyakini wilayah ahlul bait, tentu mereka tidak akan mendapat
gelar Ulul Azmi serta tidak akan mendapatkan derajat dan keutamaan yang tinggi.
Al-Majlisi berkata:
“Bab mengenai mengutamakan
para Imam di atas para Nabi dan semua makhluk yang lain, serta pengambilan
sumpah setia dari para Nabi, malaikat dan makhluk yang lain untuk para imam.
Dan sesungguhnya Ulul Azmi menjadi Ulul Azmi sebab mencintai para imam.” (Al-Majlisi,
Bihar al-Anwar, hal.
297-298).
Konsep imamah
menjadi salah satu doktrin utama dalam keyakinan Syi’ah. Imamah adalah
sebuah konsep kepemimpinan Syi’ah yang
merupakan teori absolut. Konsep inilah sebenarnya
menjadi dasar paling asasi dari doktrin-doktrin Syi’ah yang
lain.
Dalam Syi’ah, imamah tidak hanya merupakan
kepemimpinan duniawi saja, akan tetapi juga mencakup urusan ukhrawi.
Bagi Syi’ah, imamah merupakan penerus kenabian yang dasar-dasarnya
berada pada dalil-dalil syara’ (nash ilahiy).
Syi’ah meyakini bahwa Nabi Muhammad telah menunjuk
sayyidina Ali secara langsung sebagai imam pengganti beliau dengan penunjukan
yang jelas dan tegas. Oleh karena itu, mereka tidak mengakui keabsahan
kepemimpinan sayyidina Abu Bakar, Umar maupun Utsman dan menuding ketiga
khalifah tersebut telah merampas hak sayyidina Ali.
Rujukan
Primer Syi’ah
Sekte Syi’ah memiliki empat kitab hadits yang mereka
jadikan rujukan utama dalam hal aqidah-aqidah mereka. Empat kitab tersebut
adalah al-Kafi, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, Tahdzib al-Ahkam
dan al-Istibshar. Keempat kitab hadits tersebut merupakan referensi
primer Syi’ah setelah al-Qur’an.
Diantara
kitab yang sangat populer di kalangan Syi’ah dalam memasarkan ajarannya adalah al-Muraja’at
yang ditulis oleh Imam Abd Husein Syarafuddin al-Musawi, kitab ini telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Dialog Sunnah-Syi’ah”
diterbitkan oleh Mizan. Al-Musawi berkata:
“Empat
kitab pegangan kaum Syi’ah Imamiyyah dalam ushul dan furu’ sejak
generasi pertama sampai dengan masa kita sekarang adalah al-Kafi, al-Tahdzib,
al-Istibshar, dan Man La Yahdhuruhu Faqih. Kitab-kitab ini telah
sampai kepada kita dengan cara mutawatir sedangkan isi yang dikandungnya adalah
shahih dan bisa dipertanggungjawabkan tanpa keraguan sedikitpun. Diantara
keempatnya, kitab al-Kafi adalah yang paling terdahulu, paling besar,
paling baik dan rapi. Di dalamnya terdapat 16.199 hadits.”
Kitab al-Kafi menempati urutan pertama dari empat
kitab Syi’ah di atas. Al-Kafi adalah kitab yang disusun oleh Syaikh
al-Kulaini. Kitab ini tidak hanya memuat tentang hadits-hadits mengenai fiqih,
akan tetapi juga mencakup hadits-hadits tentang aqidah, sejarah para ma’shumin
(orang-orang yang ma’shum menurut Syi’ah) dan empat belas orang-orang suci,
yakni Nabi, Fathimah al-Zahra’, dan dua belas Imam.
Kitab yang disusun oleh al-Kulaini tersebut menempati
posisi paling istimewa diantara ketiga kitab lainnya. Hal itu disebabkan oleh
beberapa faktor, diantaranya adalah:
a.
Penyusunannya terjadi pada
masa kegaiban sementara atau al-ghaibah al-shughra, yang berarti bahwa
ada kemungkinan penyusunnya bertemu dengan Imam Mahdi melalui wakil-wakilnya.
b.
Penyusunannya dilakukan selama
20 tahun, melalui pengembaraan yang panjang dari satu negeri ke negeri yang
lain.
c.
Kitab ini disusun dengan cara
yang teratur, sistematis, jeli, jauh dari hadits bi al-ma’na (periwayatan
secara makna) dan tidak ada campur tangan pihak luar dalam hadits-haditsnya.
d.
Penyusunnya adalah seorang yang
dalam pandangan Syi’ah diakui, baik oleh kawan maupun lawan, sebagai orang yang
ahli dalam bidangnya, dihormati semua pihak karena ketinggian ilmu dan
takwanya.
Para
tokoh Syi’ah sangat menjunjung tinggi dan memberikan pujian selangit kepada
kitab yang disusun oleh al-Kulaini tersebut. Syaikh
al-Mufid misalnya menyebutkan, “Kitab al-Kafi adalah kitab Syi’ah yang
paling agung dan paling banyak kegunaannya.” Al-Maula al-Istirabadi menegaskan,
“Sepanjang yang kami dengar dari guru dan para ulam, belum ada sebuah kitab pun
yang pernah ditulis dalam Islam yang dapat menyamai kitab al-Kafi.”
Akidah-Akidah Syi’ah
- Semua Sahabat Murtad
Dalam
keyakian Syi’ah, mayoritas sahabat telah murtad setelah wafatnya Rasulullah.
Mereka juga menganggap bahwa Ahlussunnah adalah orang-orang kafir. Terkait
dengan hal ini, dalam hadits Syi’ah dikatakan:
عن ابي جعفر قال: كَانَ النَّاسُ
عَلَى أَهْلِ رِدَّةٍ بَعْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم الا ثَلَاثَةً. فَقُلْتُ
: وَمَنْ الثَّلاَثَةُ؟ فَقَالَ : المِقْدَادُ بن الاَسْوَدِ وَاَبُوْ ذَرٍّ الغِفَارِي
وَسَلْمَانُ الفَارِسِي رحمة الله وبركاته
عليهم.
Dari Abu Jakfar, ia berkata: “Pasca wafatnya Nabi,
orang-orang menjadi murtad semua, kecuali tiga.” Aku bertanya, siapa yang tiga
itu? Beliau menjawab, “Miqdad bin al-Aswad, Abu Dzar al-Ghifari dan Salman al-Farisi.” (al-Kulaini, Ushul al-Kafi, 8/245).
Kaum Syi’ah mengkafirkan para sahabat Nabi dan
semua orang Islam yang mengikuti mereka. Dalam hal ini, salah satu imam Syi’ah,
Al-Majlisi berkata:
“Bahwa mereka (Abu Bakar, Umar dan Utsman) adalah
perampok-perampok yang curang dan murtad, keluar dari agama, semoga Allah melaknat
mereka dan semua orang yang mengikuti mereka dalam bertindak jahat terhadap
keluarga Nabi, baik orang-orang dahulu maupun orang-orang belakangan.” (al-Majlisi, Bihar al-Anwar, 4/385).
Dalam kitabnya, al-Kulaini menafsiri ayat:
( إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ
مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى ) [سورة محمد: 25]
Yakni, Abu Bakar, Umar dan Utsman telah keluar
(murtad) dari iman, karena tidak mau mengangkat Ali menjadi khalifah setelah Rasulullah
wafat. (al-Kulaini, Ushul al-Kafi, 1/488).
b. Sikap Syi’ah
terhadap ‘Aisyah RA
Sebagaimana
telah dijelaskan, Syi’ah mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi, termasuk Abu
Bakar, Umar dan Utsman, begitu pula istri Nabi, ‘Aisyah. Mereka sangat membenci
‘Aisyah. Dalam kitab-kitab Syi’ah terdapat banyak riwayat yang mencaci,
menghina dan merendahkan istri kesayangan Nabi tersebut. Diantaranya adalah
sebagaimana yang terdapat dalam kitab al-Shirath al-Mustaqim, mereka
menjuluki ‘Aisyah dengan al-Syaithanah (III/135). Begitu pula al-Kulaini
mengatakan dalam kitabnya bahwa julukan humaira’ yang diberikan Nabi
kepadanya adalah termasuk julukan yang dibenci Allah (Ushul al-Kafi,
I/247).
Itulah
diantara bentuk kebencian Syi’ah kepada istri Nabi, ‘Aisyah. Dalam makalah ini
tidak perlu disebutkan secara detail mengenai keutamaan-keutamaan ‘Aisyah,
karena banyak riwayat-riwayat shahih yang menjelaskan masalah ini dalam
kitab-kitab hadits. Diantaranya, Nabi pernah ditanya oleh para sahabat, “Siapa
orang yang paling engkau cintai?” Beliau menjawab, ‘Aisyah.” (Shahih
al-Bukhari, V/68).
c. Akidah Syi’ah terhadap Para Imam
Syi’ah
meyakini bahwa Imam mereka ma’shum (terjaga dari kesalahan dan dosa).
Dalam hal ini, Ibnu Babawaih berkata :
اِعْتِقَادُنَا
فِي الْاَئِمَّةِ اِنَّهُم مَعْصُوْمُوْن مُطَهَّرُوْنَ مِنْ كُلِّ دَنَسٍ وَاِنَّهُمْ
لَا يَذْنُبُوْنَ ذَنْبًا صَغِيْرًا وَلَا كَبِيْرًا, وَلَا يَعْصُوْنَ اللهَ مَا اَمَرَهُمْ
ويَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ وَمَنْ نَفَى عَنْهُمْ العِصْمَةَ فِي شَيْءٍ مِنْ
اَحْوَالِهِمْ فَقَدْ جَهِلَهُمْ وَمَنْ جَهِلَهُمْ فَهُوَ كَافِرٌ.
Keyakinan kami bahwa para imam itu ma’shum (terjaga
dari dosa) suci dari setiap kesalahan, tidak pernah berbuat dosa kecil ataupun
besar. Dan tidak durhaka kepada Allah SWT dan selalu melaksanakan apa yang
diperintah-Nya. Siapa saja yang mengingkari sifat ishmah bagi para imam berarti
mereka bodoh dan kafir.
(al-I’tiqadat, 108-109)
Lebih ekstrim lagi kaum Syi’ah meyakini bahwa para
imam mereka derajatnya lebih tinggi dari pada nabi dan rasul yang termasuk
didalamnya Nabi SAW, dalam kitab al-Hukumat al-Islamiyyah, al-Khumaini
berkata:
إنَّ لِلْاِمَامِ
مَقَامًا مَحْمُوْدًا وَدَرَجَةً سَامِيَةً وَخِلَافَةً تَكْوِيْنِيَّةً تَخْضَعُ لِوِلَايَتِهَا
وَسَيْطَرَتِهَا جَمِيْعُ ذَرَّاتِ هَذَا الكَوْنِ، وَإِنَّ مِنْ ضَرُوْرِيَّاتِ مَذْهَبِنَا
أَنَّ لِأَئِمَّتِنَا مَقَامًا لَمْ يَبْلُغْهُ مَلَكٌ مُقَرَّبٌ وَلَانَبِيٌّ مُرْسَلٌ...
“Sesungguhnya Imam mempunyai kedudukan yang
terpuji, derajat yang mulia dan kepemimpian mendunia, di mana seisi alam ini
tunduk di bawah wilayah dan kekuasaannya. Dan termasuk hal yang aksiomatis
adalah bahwa para Imam kita mempunyai kedudukan yang tidak bisa dicapai oleh
malaikat muqarrabin atau pun nabi yang diutus... (Ayatullah Khumaini, al-Hukumat al-Islamiyyah, hal.
52).
Adapun Ahlussunnah hanya meyakini bahwa para Nabi
dan Rasul saja terjaga dari kesalahan dan dosa (ma’shum). Sedangkan selain nabi
dan rasul itu masih memungkinkan untuk berbuat kesalahan yakni tidak ma’shum. Sayyid
Ahmad Al-Marzuqi mengatakan:
عِصْمَتُهُمْ كَسَائِرِ الْمَلَائِكَة وَاجِبَةٌ وَفَاضَلُوا الْمَلَائِكَة
Mereka wajib terpelihara dari perbuatan dosa
(ma’shum) seperti halnya Malaikat dan keutamaan mereka melebihi para Malaikat. (Aqidatul Awam)
Para Nabi dan Rasul itu seperti para malaikat, yang
selalu patuh kepada perintah Allah SWT, dan tidak pernah sekalipun melanggar
larangan Allah SWT.
d. Al-Qur’an Mengalami Tahrif
Dalam keyakinan Syi’ah, al-Qur’an yang ada sekarang
telah mengalami perubahan (tahrif), baik penambahan atau pengurangan
yang dilakukan oleh para sahabat. Adapun al-Qur’an yang asli ada di tangan Ali yang
kemudian diwariskan kepada putera-puteranya dan sekarang ada di tangan Imam Mahdi al-Muntazhar. (Ushul Madzhab
al-Syi’ah, 1/202).
Abu Abdillah
berkata bahwa, “al-Qur’an yang dibawa oleh malaikat jibril kepada Nabi Muhammad
adalah 17.000 ayat.” (al-Kulaini,
Ushul al-Kafi, 2/634).
Pernyataan ini berarti tuduhan kepada para sahabat bahwa mereka telah membuang
sekitar 10.000 ayat.
Terkait dengan adanya tahrif dalam al-Qur’an,
seorang tokoh Syi’ah, al-Nuri al-Thabarsi menulis kitab yang berjudul Fashlul
Khithab Fi Tahrif Kitab Rabb al-Arbab. Sebagai contoh, dalam kitab
tersebut al-Thabarsi
menyebutkan bahwa para sahabat membuang satu
ayat yang terdapat dalam surat al-Insyirah, yakni :
وَجَعَلْنَا عَلِيًّا
صِهْرَكَ.
“Dan kami
jadikan Ali sebagai menantumu.”
Padahal jika kita mau mengkaji dan berpikir dengan
jernih, surat al-Insyirah tersebut termasuk surat Makkiyyah, sementara ketika
berada di Makkah (sebelum hijrah) Ali masih belum menjadi menantu Nabi.
Adapun Ahlussunnah meyakini bahwa al-Qur’an yang
ada saat ini sama dengan al-Qur’an yang ada pada zaman Nabi. Orang yang
meragukan keaslian satu kalimat saja atau satu ayat saja dari al-Qur’an maka
dia sudah menjadi kafir. Karena hal ini berarti mendustakan firman Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا
الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ.
Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan
kami pula yang akan menjaganya.
(QS. Al-Hirj : 9).
e. Taqiyyah
Di antara doktrin Syi’ah yang lain adalah taqiyyah. Taqiyyah adalah
menampakkan sesuatu yang tidak sesuai dengan isi hati. Taqiyyah digunakan oleh
orang Syi’ah ketika mereka berhadapan dengan kelompok Islam mayoritas, yakni Ahlussunnah
yang tidak seakidah dengan mereka. Dalam keyakinan Syi’ah, menerapkan konsep
taqiyyah merupakan suatu kewajiban. Bagi Syi’ah, taqiyyah bukan hanya sekedar
anjuran atau dispensasi, akan tetapi
dijadikan sebagai bagian dari rukun agama. Karena itu, barang siapa yang tidak
menerapkan konsep taqiyyah, maka berarti dia telah merobohkan salah satu pilar
agama. Dalam hal ini, Ibn Babawih al-Qummi berkata:
اِعْتِقَادُنَا فِي التَّقِيَّةِ
اَنَّهَا وَاجِبَةٌ مَنْ تَرَكَهَا بِمَنْزِلَةِ مَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ.
“Keyakinan kita tentang hukum
taqiyyah adalah wajib, barangsiapa yang meninggalkan taqiyyah sama halnya dengan
meninggalkan shalat.”
(Ibn Babawih, al-I’tiqadat, hal. 114).
Kaum Syi’ah menganggap bahwa madzhab Syi’ah tidak
akan tegak tanpa adanya taqiyyah. Karena taqiyyah merupakan pondasi
keberagamaan mereka. Dalam hal ini, al-Kulaini berkata:
“Jagalah agama kalian, tutupilah dengan taqiyyah,
tidak dianggap beriman seseorang sebelum bertaqiyyah.” (al-Kulaini, Ushul al-Kafi, hal. 482-483).
f. Bada’
Bada’ artinya jelas. Maksudnya sesuatu yang awalnya
masih samar kemudian menjadi jelas. Bada’ juga bisa bermakna munculnya
pemikiran yang baru. Bada’ dengan dua pengertian ini berarti menetapkan
kebodohan kepada Allah (jahl). Artinya, Allah pada awalnya tidak tahu
kemudian menjadi tahu. Sifat ini jelas mustahil ada pada dzat Allah, namun
Syi’ah meyakini bahwa Allah memiliki sifat bada’.
Dalam Ushul al-Kafi disebutkan suatu riwayat
dari Rayyan bin al-Shalt, ia berkata:
سمعت الرضا يقول : مَا بَعَثَ
اللهُ نَبِيًّا إِلاَّ بِتَحْرِيْمِ الْخَمْرِ وَأَنْ يُقِرَّ للهِ اْلبَدَاءَ.
“Aku pernah mendengar al-Ridha berkata, “Allah
tidak mengutus Nabi kecuali diperintahkan untuk mengharamkan khamr dan
menetapkan sifat bada’ kepada Allah.” (Ushul
al-Kafi, hal. 40).
Padahal Allah telah berfirman dalam al-Qur’an:
قُلْ لَا
يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللهُ [النمل:65]
“Katakanlah, tidak ada seorangpun di langit dan di
bumi yang mengetahui perkara yang ghaib kecuali Allah.” (QS. al-Naml : 65).
لَا يَضِلُّ
رَبِّي وَلَا يَنْسَى [طه: 52]
Tuhan kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa (QS.Thaha: 52)
Di satu sisi mereka menetapkan sifat ini kepada
Allah, sementara di sisi lain mereka meyakini bahwa para imam mereka mengetahui
segala sesuatu yang akan terjadi dan telah terjadi dan tidak ada sedikitpun
yang samar bagi mereka. Mereka juga mengetahui kapan mereka akan mati dan dapat
memilih dimana mereka akan mati (Ushul al-Kafi, I/258). Na’udzubillah
min dzalik.
g. Raj’ah
Di antara doktrin Syi’ah yang lain adalah Raj’ah.
Raj’ah artinya kembali hidup setelah mati sebelum datangnya hari kiamat. Dalam
hal ini, tokoh Syi’ah al-Mufid berkata:
وَاتَّفَقَتْ الإِمَامِيَّةُ
عَلَى وُجُوْبِ رَجْعَةِ كَثِيْرٍ مِنَ الأَمْوَاتِ.
“Syi’ah Imamiyyah sepakat
akan keharusan kembali (raj’ah) bagi sejumlah orang yang sudah mati.”
(Awa’il al-Maqalat, hal. 51).
Raj’ah
ini akan dialami oleh imam mereka yang terakhir di akhir zaman kelak. Dia akan
keluar dari tempat persembunyiannya dan akan menyembelih semua lawan politiknya
(al-Khuthtuh al-‘Aridhah, hal. 51). Syi’ah menyakini bahwa di masa
bangkitnya imam mereka kelak Abu Bakar dan Umar akan disalib di sebuah pohon (Awa’il
al-Maqalat, hal. 75).
Al-Majlisi
dalam Haqqul Yaqin (hal. 37) menyebutkan suatu riwayat bahwa ketika
al-Mahdi muncul kelak akan menghidupkan ‘Aisyah untuk dihukum.
h. Peringatan Asyura’
Pada
tanggal 10 bulan Muharram, Kaum Syi’ah memiliki ritual rutin yang dikenal
dengan nama peringatan hari ‘Asyura’. Acara itu mereka lakukan sebagai bentuk
atas ekspresi kesedihan dan ratapan atas wafatnya sayyidina Husain. Mereka
turun ke jalan-jalan dengan memakai pakaian serba hitam atau serba putih.
Dalam
acara tersebut, mereka memukul-mukul pipi dengan tangan mereka, memukul dada
dan punggung, menyobek-nyobek saku, menangis sambil berteriak histeris dengan
menyebut nama, Ya Husain-Ya Husain!”bahkan lebih parah lagi, mereka memukul
diri mereka sendiri dengan cemeti dan pedang, sebagaimana yang terjadi di
berbagai tempat yang banyak pengikut syi’ahnya. (Al-Syi’ah Minhum ‘alaihim, hal
250)
i.
Mut’ah
Mut’ah memiliki keistimewaan besar dalam aqidah Syi’ah.
Dalam hal ini, terdapat suatu riwayat dalam kitab Man La Yahdhuruhu al-Faqih,
dari Abdullah bin Sinan, dari Abi Abdillah, ia berkata: “Sesungguhnya Allah
mengharamkan atas orang-orang Syi’ah segala minuman yang memabukkan dan
menggantinya dengan mut’ah.” (Man La Yahdhuruhu al-Faqih, hal. 330).
Al-Majlisi
berkata:
وَمِمَّا
عُدَّ مِنْ ضَرُوْرِيَاتِ دِيْنِ الإِمَامِيَّةِ اِسْتِحْلاَلُ الْمُتْعَةِ, وَحَجَّ التَّمَتُّعِ, وَالْبَرَاءَةُ مِنْ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ
وَعُثْمَانَ وَمُعَاوِيَّةَ.
Termasuk hal-hal yang dianggap penting dalam agama
(keyakinan) imamah adalah bolehnya mut’ah, hajji tamattu’, dan berlepas diri
dari Abu Bakar, Umar, Utsman dan Muawiyyah.
(Al-Majlisi, al-I’tiqadat, hal. 90-91).
Sikap Para Ulama Sunni
Terhadap Syi’ah
a.
Imam Malik
قَالَ
اَشْهَب بِنْ عَبْدُ الْعَزِيز: سُئِلَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللهُ عَنِ الرَّافِضَةِ فَقَالَ:
لَاتُكَلِّمْهُمْ وَلَا تَرْوِ عَنْهُمْ فَإِنَّهُمْ يَكْذِبُوْن.
Berkata Asyhab bin Abdul Aziz: ketika Imam Malik ditanyakan
tentang sikapnya terhadap rafidhah/ syi’ah beliau menjawab: “janganlah kamu
berbicara dengan mereka dan jangan pula meriwayatkan dari mereka, karena mereka
kebiasaannya itu berbohong” (Min Aqaid al-Syi’ah, hal 60)
b. Imam Syafi’i
Imam Syafi’i RA sebagai panutan kaum ASWAJA, beliau
sangat mencintai ahlul bait Nabi SAW. Namun didalam mencurahkan cintanya itu
selalu dalam kendali syariat yakni tidak berlebih-lebihan sehingga melampaui
batas apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW. Beliau juga mengingatkan
agar umat Islam mewaspadai kaum Rafidhah/ Syiah. Sebagaimana diriwayatkan
وَقَالَ اَبُو حَاتِمِ: حَدَّثَنَا حَرْمَلَةُ قَالَ: سَمِعْتُ
الشَّافِعِيَّ رَحِمَهُ اللهُ يَقُوْلُ: لَمْ اَرَ اَحَدًا أَشْهَدَ بِالزُّوْرِ مِنَ
الرَّافَضَةَ.
Berkata abu hatim: Harmalah berkata, aku mendengar
Imam Syafi’i RA berkata: tidak pernah saya melihat orang yang suka menjadi
saksi palsu, seperti apa yang dilakukan oleh orang-orang syi’ah. (Min Aqaid
al-Syi’ah, hal 61)
Karena kecintaan Imam al-Syafi’i kepada ahlul bait
yang sangat mendalam sehingga beliau sempat dituduh oleh sebagian kalangan sebagai
orang yang memihak kepada Rafidhah terungkap dalam lantunan syairnya sebagai berikut:
قَالُوا
تَرَفَّضْتَ قُلْتُ كَلَّا مَا الرَّفْضُ
دِيْنِي وَلَا اعْتِقَادِي (ديوان الإمام الشافعي, 35)
Mereka mengatakan (kepadaku), “Engkau termasuk
golongan Rafidhah.” Aku jawab, “tidak”. Rafidhah bukan agamaku juga bukan
keyakinannku. (Diwan al-Imam al-Syafi’i, 35)
Ungkapan syair tersebut memang sesuai dengan
kenyataan, karena Imam Syafi’i RA walaupun mencintai ahlul bait tetapi tidak
menolak kepemimpinan Sayyidina Abu Bakar RA, Sayyidina Umar RA dan Sayyidina
Utsman RA. Imam Syafi’i menyatakan
عَنِ الرَّبِيْعِ
عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ قَالَ أَفْضَلُ النَّاسِ بَعْدَ رَسُولِ اللهِ J أَبُوْ بَكْرٍ ثُمَّ عُمَرُ ثُمَّ عُثْمَانُ ثُمَّ
عَلِيٌّ رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ. (البيهقى، مناقب الشافعي، ج 1 ص 433)
“Diriwayatkan dari al-rabi’
dari al-Syafi’i bahwa beliau berkata: Manusia yang paling utama setelah Rasulullah adalah Abu Bakr, Umar, Utsman kemudian ‘Ali.
Semoga keridhaan Allah I selalu tercurahkan kepada mereka” (Manaqib
al-Syafi’i, Juz I, hal 433)
c.
Al-Baghdadi
Imam al-Hafizh Abd Qadir al-Baghdadi berkata:
وَأَمَّا
أَهْلُ الْأَهْوَاءِ مِنَ الجَارُوْدِيَّةِ وَالهِشَامِيَّةِ وَالْجَهْمِيَّةِ, وَاْلإِمَامِيَّةِ
الَّذِيْنَ أَكْفَرُوا خِيَارَ الصَّحَابَةِ. فَإِنَّا نُكَفِّرُهُمْ, وَلاَ تَجُوْزُ
الصَّلاَةُ عَلَيْهِمْ عِنْدَنَا وَلاَ الصَّلَاةُ خَلْفَهُمْ.
“Adapun kelompok yang senantiasa mengikuti hawa nafsu, seperti Jarudiyyah,
Hisyamiyyah, Jahmiyyah dan Syi’ah Imamiyyah yang telah mengkafirkan
sahabat-sahabat, maka kami mengkafirkan mereka dan tidak boleh mendoakan mereka
serta tidak boleh pula shalat di belakang mereka.” (Al-Baghdadi, al-Farq Bain al-Firaq, hal. 357).
d. Al-Ghazali
Imam
al-Ghazali berkata:
فَلَوْ
صَرَّحَ مُصَرِّحٌ بِكُفْرِ أَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ- رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا- فَقَدْ
خَالَفَ الْإِجْمَاعَ وَخَرَقَهُ, وَرَدَّ مَا جَاءَ فِي حَقِّهِمْ مِنَ الْوَعْدِ بِالْجَنَّةِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِمْ
وَالْحُكْمِ بِصِحَّةِ دِيْنِهِمْ وَثَبَاتِ يَقِيْنِهِمْ وَتَقَدُّمِهِمْ عَلَى سَائِرِ
الْخَلْقِ فِي أَخْبَارَ كَثِيْرَةٍ. . ثُمَّ قَالَ : " فَقَائِلُ ذَلِكَ إِنْ
بَلَغَتْهُ الْأَخْبَارُ وَاعْتَقَدَ مَعَ ذَلِكَ كُفْرَهُمْ فَهُوَ كَافِرٌ. .بِتَكْذِيْبِهِ
رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, فَمَنْ كَذَّبَهُ بِكَلِمَةِ مِنْ
أَقَاوِيْلِهِ كَافِرٌ بِالْإِجْمَاعِ.
“Jika seseorang meyakini kekafiran Abu Bakar dan Umar,
maka dia telah menyalahi ijma’, merobohkannya, menolak keterangan yang menjelaskan
tentang janji surga untuk Abu Bakar dan Umar, pujian kepada mereka
berdua.................. kemudian dia berkata: “Orang yang berkata demikian
sementara dia tahu penjelasan dari hadits namun tetap meyakini kekafiran Abu
Bakar dan Umar, maka dia kafir, sebab mendustai Rasulullah SAW. Adapun orang
yang mendustai Rasulullah sekalipun itu satu kalimat dari sabda-sabda beliau,
maka dia kafir berdasarkan ijma’.
(Fadhaih al-Bathaniyyah, hal. 149).
e.
KH. Hasyim Asy’ari
Kyai
Hasyim Asy’ari berkata:
وَمِنْهُمْ رَاِفضِيُّوْنَ يَسُبُّونَ
سَيِّدَنَا اَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِىَ اللهُ عَنْهُمَا, وَيَكْرَهُوْنَ الصَّحَابَةَ
رَضِى اللهُ عَنْهُمْ, وَيُبَالِغُونَ هَوَى سَيِّدِنَا عَلِيٍّ وَاَهْلِ بَـيْتِهِ
رِضْوَانُ اللهِ عَلَيْهِمْ اَجْمَعِيْن, قَالَ السَّيِّدُ مُحَمَّدٌ فِي شَرْحِ الْقَامُوسِ:
وَبَعْضُهُمْ يَرْ تَقِى اِلَى الْكُفْرِ وَالزَّنْدَقَةِ اعَاذَنَا اللهُ وَالْمُسْلِمِيْنَ مِنْهَا. قَالَ رَسُولُ الله
صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم : فَمَنْ سَبَّهُمْ فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ
اللهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ اَجْمَعِيْن,
لَا يَقْبَلُ الله مِنْهُ صَرْفًا وَلَا عَدْلًا. (رسالة أهل السنة والجماعة, ص 11)
“Antara lain adalah golongan Rafidhah (Syi’ah)
yang menghujat Sayidina Abu Bakar dan Sayidina Umar radhiyallahu ‘anhuma-,
mereka membenci para sahabat radhiyallahu ‘anhum dan berlebih-lebihan dalam mencintai Sayidina Ali dan keluarganya
radhiyallahu ‘anhum.” Rasulullah SAW bersabda barang siapa yang mengumpat para
sahabat RA maka dia akan mendapatkan kutukan Allah, malaikat, dan ummat manusia dan tidak diterima
amalnya baik yang fardhu ataupun sunnah (KH. Hasyim Asy’ari, Risalah
Ahlussunnah Wal Jama’ah, hal. 11).
Demikianlah
sekilas
mengenai aliran Syi’ah yang dikutip dari kitab-kitab mereka sendiri. Setelah
diketahui beberapa penyimpangan dari berbagai akidah mereka, maka tugas kita (Pengurus
NU) dari semua level harus lebih intens lagi mengawal warganya agar tidak
terperangkap pada jerat-jerat berbagai paham dan aliran yang berpotensi menggerogoti warga NU, baik Syi’ah,
Wahabi, atau HTI dan lain-lain. Dan yang pasti, penulisan makalah ini tidak ada
maksud untuk memojokkan atau mendiskriminasi kelompok di luar NU. Karena pengutipan
dalam makalah ini berasal dari kitab-kitab Syi’ah yang otoritatif, tidak
dilebihkan dan tidak dikurangi. Namun, semata-mata tujuannya ialah lebih
memantapkan warga NU terhadap akidahnya sendiri. Semoga Allah SWT memberi
kekuatan kepada kita untuk mengemban dan menjalankan amanah Jam’iyyah Nahdlatul
Ulama sesuai dengan tujuan para pendirinya. Yaitu mengawal dan melestarikan
akidah Ahlussunah wal Jama’ah. Amin.
Untuk
mendalami kajian tentang Syiah, silahkan membuka website berikut ini:
|
|
12.
http://www.syiahindonesia.com
|
|
1.
شبكة الدفاع عن السنة
2.
موقع
فيصل نور
3.
موقع
البرهان
4.
موقع
مهتدون
5.
حقيقة
الخميني
6.
دليل
حقائق الرافضة
7.
موقع
البينة
8.
موقع
أنصار الحسين
9.
موقع
المنهج
10.
رابطة
اهل السنة في إيران
11.
موقع
الإمام المهدي