Berkhidmat Kepada Umat Berbakti Kepada Negeri, Memacu Kinerja, Mengawal Kemenangan Indonesia

Selasa, 18 September 2018

Ketua MWCNU Pacet Pertama Seorang Veteran Hizbullah



Ketika kantor MWCNU Pacet yang sekarang dikenal dengan sebutan Graha NU Pacet sudah mulai dilanjutkan pembangunannnya, saya bersama bapak ketua MWCNU Pacet, M.Yusuf, S.Pd.I berkeinginan mendokumentasikan foto para pendahulu pejuang NU di kecamatan Pacet terutama rais dan ketua era pertama secara struktural di MWCNU kecamatan Pacet. Foto itu akan dipasang di kantor MWCNU Pacet sebagai bentuk penghormatan kepada beliau beliau dan suri tauladan bagi generasi sekarang dan yang akan datang.
Sejak tahun 2015 saya mulai mencari dan mengumpulkan foto foto beliau dari dokumentasi keluarga masing masing. Menurut dokumen buku panduan konferensi MWCNU tahun 2011 disebutkan, Rais pertama MWCNU Pacet adalah KH Faqih Abdul Wahab Pasinan Cepokolimo dan ketua tanfidznya adalah Kyai Danun Treceh Sajen tahun 1940 - 1970. Data itu dibenarkan oleh tokoh tokoh NU dan masyarakat termasuk pelaku sejarah yang waktu itu masih hidup.
Foto KH Faqih Abdul Wahab sudah saya koleksi dan terpasang di dinding Graha NU pacet, sedangkan foto Kyai Danun saya belum menemukan. Foto para sesepuh pengurus MWCNU Pacet yang lain juga sudah berhasil saya kumpulkan diantaranya foto Kyai Abdul Shomad (tokoh Ansor), KH. Amir Syuhadak, KH Syamsul Huda Amir, dan KH. Abdul Munif.
Dengan meminta bantuan para pengurus MWCNU dan warga Nahdliyin, pencarian foto Kyai Danun terus saya upayakan. Namun sekian lama usaha itu belum juga mendapatkan hasil. Mungkin dikarenakan kurang sungguh sungguhnya saya untuk mencarinya, wallahu a'lam.
Tetapi Alhamdulillah pencarian itu kemarin sudah berakhir. Saya berhasil menemukan foto kyai Danun yang seakan terlupakan untuk didokumentasikan tersebut. Karena mencari foto jejak sejarah itu memang membutuhkan ketekunan dan kesungguhan. Ketika niat itu muncul kembali saya segera mencari informasinya dan usaha itu bersamaan dengan turunnya hidayah dari Allah SWT sehingga akhirnya berhasil. Bagaimana proses penemuan foto tersebut ? Berikut ceritanya.
Kemarin (Senin, 17 September 2018) jam 13.30 saya berangkat ke PCNU Mojokerto guna mengambil SK ranting NU yang baru melaksanakan musran di kecamatan Pacet. Setelah melakukan pengecekan data akhirnya SK itu saya foto kopi jadi dua baru setelah itu distempel.
Foto kopi yang satu untuk arsip PCNU Mojokerto, satu lagi untuk arsip MWCNU Pacet dan yang asli akan diberikan kepada ranting-ranting NU se kecamatan Pacet.
Setelah itu saya sholat Ashar dan segera pulang ke Pacet karena bermaksud mengantarkan surat undangan rapat persiapan Konfercab PCNU Mojokerto kepada Rais dan ketua ranting NU yang belum menerima undangan. Sebagian undangan sudah diberikan kepada ketua atau rais ranting NU ketika mengikuti pertemuan kader PKPNU pada hari Jumat kemarin di Graha NU Pacet.
Ketika tiba mengantarkan surat ke Ust Musyaffa, ketua ranting NU desa Sajen saya teringat tentang Kyai Danun, ketua MWCNU kec Pacet pertama sekitar tahun 1940 an. Dari penuturan bibi ipar saya, ibu Mariatun Baraan Cepokolimo yang berasal dari Treceh bahwa Kyai Danun masih mempunyai anak yang masih hidup sampai sekarang yaitu ibu Hj. Juwariyah treceh. Dari informasi itulah saya kemudian menanyakan kepada ketua ranting NU sajen tentang keberadaan ibu Hj Juwariyah. Ust Musyaffa yang juga menjadi menantu Gus Mian ini menjawab kalau rumah ibu Hj Juwariyah berada di sebelah jalan Raya dekat musholla Pak Umar. Pak Umar sendiri adalah saudara ibu Hj Juwariyah.
Akhirnya pada pukul 18.30 saya bergegas ke rumah beliau. Setelah memastikan kebenaran rumah beliau kepada tetangga dekatnya akhirnya saya yakin dan memberanikan diri mengetuk pintu sambil mengucap salam. Dari dalam rumah terdengar suara seorang nenek yang sedang membaca ayat suci Alquran.
Begitu mendengar salam saya, nenek itu bergegas ke pintu sambil menjawab salam. Tampak tangan kanannya masih memegang kitab suci Alquran. Nenek itu seakan ragu membukakan pintu karena memang beliau sedang sendirian di rumah. Apalagi belum kenal saya sama sekali.
Setelah saya memperkenalkan diri utusan dari pengurus NU beliau langsung membukakan pintu. Saya dipersilahkan masuk dan duduk di sofa. Setelah memperkenalkan nama saya lanjutkan dengan mengutarakan niat saya bertamu. Beliau nampak sumringah ketika saya menyebut perjuangan Kyai Danun pada NU pada masa penjajahan Belanda. Akhirnya beliau mengatakan bahwa kyai Danun adalah ayahnya. Kyai Danun mempunyai dua orang anak yaitu Arkat atau Pak Umar dan Juwariyah, beliau sendiri. Dengan bersemangat Ibu Hj Juwariyah kemudian bercerita tentang perjuangan kyai Danun di NU. Bahkan beliau sendiri mengaku sering diajak ayahnya blusukan ke kampung kampung untuk berdakwah mengenalkan Islam dan NU.
Beliau menuturkan bahwa kyai Danun adalah veteran dari laskar Hizbulloh bersama KH Amir Syuhadak Pacet yang ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ketika saya menanyakan foto kyai Danun, beliau mengaku tidak punya fotonya karena satu satunya foto yang pernah ada tidak terawat dan rusak.
Saya pun tidak putus asa. Barangkali masih ada foto dari sumber lain yang mungkin bisa saya cari jejaknya. Dengan rendah hati saya mengutarakan niat MWCNU pacet yang ingin menghormati kyai Danun dengan memajang fotonya di kantor MWCNU agar generasi muda mengetahui sejarah perjuagannya, ibu Hj Juwariyah akhirnya bercerita. Ketika itu pihak keluarga disuruh mengurus dokumen pengajuan veteran untuk kedua kalinya. Pengajuan pertama sudah berhasil. Salah satu syarat di pengajuan itu harus dilampirkan foto orang yang diajukan. Entah apa yang terjadi ternyata pengajuan itu tidak pernah ada kabar hasilnya. Ketika ditanyakan kepada KH Amir Syuhadak sebagai pihak pengumpul data, beliau mengaku belum menerima surat ajuan. Padahal berkasnya sudah dibuatkan dengan data yang lengkap.
Ketika foto satu satunya telah rusak, keluarga sudah merasa kehilangan kenangan dengan wajah kyai Danun semenjak wafatnya. Ketika istri kyai Danun, ibu Siti Fatimah juga wafat, ibu Juwariyah teringat akan berkas ajuan veteran itu. Yang beliau ingat adalah disana ada foto kyai Danun.
Akhirnya berkas berhalaman empat itu ditemukan dan disimpan baik baik oleh anak kyai Danun. Ibu Hj Juwariyah baru mencarinya kembali ketika saya menginginkan foto itu.
Pada awalnya beliau ragu untuk menyerahkan dokumen tersebut kepada saya, takut saya bawa dan tidak kembali. Saya segera menangkap kekhawatiran ibu Hj Juwariyah. Dengan lirih saya sampaikan bahwa saya hanya ingin memfotonya dengan kamera HP saja. Beliau setuju. Setelah saya foto dokumen itu saya serahkan kembali kepada beliau. Alhamdulillah.
Sebelum saya pulang, saya meminta izin bila suatu hari nanti saya akan kembali dan ingin ditunjukkan letak makamnya kyai Danun dan dapat berdoa di sana bersama para pengurus NU. Saya juga menyampaikan bahwa setiap harlah NU, pengurus MWCNU dan Banomnya serta ranting NU mengadakan ziarah ke makam para pendahulu NU di kecamatan Pacet. Dan Harlah NU tahun depan mudah mudahan dapat menziarahi makam kyai Danun. Ibu Hj Juwariyah mengangguk dan mengatakan bahwa pesarehan ayahnya tidak ada tanda khusus. Sebelum wafat kyai Danun berpesan agar kuburnya tidak dikijing/ ditembok karena menghormati hak sesama muslim lainnya yang dikuburkan di pesarean umum desa tersebut. Kyai Danun lahir pada tahun 1915 dan wafat pada tahun 1970. Semoga amal bhakti beliau diterima oleh Allah SWT dan dapat berkumpul bersama para pejuang NU, para ulama dan syuhada di alam akhirat. Aamiin yaa Rabbal Aalamiin. (Agus Santoso)


1 komentar: