Berkhidmat Kepada Umat Berbakti Kepada Negeri, Memacu Kinerja, Mengawal Kemenangan Indonesia

Selasa, 23 Oktober 2018

Prestasi Generasi Muda NU di Kecamatan Pacet Mojokerto

Hari Ahad, 21 Oktober 2018 kemarin betul betul menjadi hari yang bersejarah bagi generasi muda NU di kecamatan Pacet Mojokerto. Dalam perhelatan lomba peringatan Hari Santri Nasional yang dilaksanakan pengurus cabang, pac GP Ansor dan IPNU IPPNU kecamatan Pacet berhasil keluar sebagai juara.
Grup Banjari PAC GP Ansor Pacet yang divokali Ismaul Maarif menjadi juara 1 lomba banjari antar PAC Ansor se kabupaten Mojokerto. Sedangkan Yahya Baihaqi, delegasi IPNU kecamatan Pacet menjadi juara 1 duta Santri Majapahit dan Zainab Candy menjadi juara 2 duta Santriwati Majapahit 2018 se kabupaten Mojokerto.

Minggu, 21 Oktober 2018

Pawai MWCNU Pacet Menyongsong Hari Santri Nasional 2018







Sejak pukul 06.00 pagi ini, 21 Oktober 2018 seluruh santri TPQ, Madin dan Pondok pesantren se kecamatan Pacet mengikuti Pawai Taaruf yang diselenggarakan oleh MWCNU Kec Pacet Mojokerto.
Selain itu pawai ini terasa berbeda karena dihadiri oleh jajaran Polres kabupaten Mojokerto.
Nampak yang hadir adalah bpk Kapolres Mojokerto, Camat, Kapolsek dan Danramil Pacet. Selain itu hadir pula ketua MUI kabupaten Mojokerto, KH Mashul Ismail dan jajaranya. Beliau juga hadir sebagai ketua FKUB kabupaten Mojokerto. Sedangkan dari MWCNU pacet sebagai tuan rumah yang hadir adalah KH Muslih Abbas, SH (mustasyar), KH Iskandar Munir (Rais), KH Suyadi Tamsir (Katib) H M. Yusuf (ketua MWC) dan jajaran pengurus lainnya.
Pawai taaruf ini merupakan rangkaian kegiatan dalam rangka menyongsong Hari Santri Nasional tahun 2018 di kecamatan Pacet. Sedangkan acara puncaknya adalah Apel kebangsaan yang akan dilaksanakan pada hari Senin, 22 Oktober 2018 di lapangan Desa Sajen.
Pawai taaruf yang bertema Bersama Santri Damailah Negeri ini diikuti oleh 4.700 santri dari TPQ, Madin dan pondok pesantren. Rute yang dilalui meliputi start di halaman pasar Pacet, pertigaan Indomart, bunderan Taman Pacet, kantor Polsek, Koperasi Dana Mulya dan finish di lapangan TPQ Annur Pacet Maron. Setelah itu peserta dapat berbaur di acara car free day yang lokasinya tepat di sepanjang ruas jalan depan TPQ Annur. (AgusS)

Rabu, 17 Oktober 2018

Dahsyatnya Pengaruh Resolusi Jihad NU dan Para Ulama


RESOLUSI JIHAD NU - Fakta Sejarah di balik Perang Surabaya 1945
               Oleh: K Ng H Agus Sunyoto
    Pertempuran besar di Surabaya pada 10 November 1945, yang menurut William H. Frederick (1989) sebagai pertempuran paling nekat dan destruktif  -- yang tiga minggu di antaranya – sangat mengerikan jauh di luar yang dibayangkan pihak Sekutu maupun Indonesia,  secara kronologis sejarah tidak bisa dipisahkan dari Perang Rakyat dalam bentuk Perang Kota antara Brigade ke-49 Mahratta di bawah komando Brigadir Jenderal Aulbertin Walter Sothern Mallaby dengan arek-arek Surabaya yang berlangsung sangat brutal selama tiga hari, tanggal 27 – 28 – 29 Oktober 1945 dengan kesudahan sekitar 2000 orang pasukan Brigade ke-49 tewas termasuk Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby yang terbunuh tanggal 31 Oktober, di mana Perang Rakyat selama tiga hari itu tidak terlepas sama sekali dari Resolusi Jihad NU yang dimaklumkan tanggal 22 Oktober 1945 di Surabaya.  Itu berarti, lima hari setelah Resolusi Jihad NU pecah Perang Rakyat tiga hari pada 27 – 28 – 29 Oktober 1945 dan 12 hari setelah Perang Rakyat itu atau 17 hari setelah Resolusi Jihad NU itu pecah perang besar 10 November 1945 yang dikenang oleh pihak Inggris sebagai perang paling mencekam yang diperingati dengan satu kalimat singkat  “Once and Forever.”

    Lahirnya Resolusi Jihad NU saat itu, bukanlah peristiwa insidental yang muncul tanpa perhitungan matang, apalagi hanya berdasar pertimbangan situasional. Para pimpinan NU seperti KH Hasyim Asy’ari, yang sejak keluar dari Penjara Koblen Surabaya tidak kembali ke Tebuireng tetapi tinggal di Surabaya, cukup dekat dengan kalangan pergerakan dan memperoleh informasi cukup banyak tentang perkembangan situasi politik, termasuk peta kekuatan kalangan nasionalis pasca kekalahan Jepang. Bahkan secara khusus, KH Hasyim Asy’ari mengetahui seberapa besar kekuatan para santri Nahdliyyin di tubuh TNI dan badan-badan perjuangan. Dan yang paling menentukan, adalah pembacaan terhadap semangat rakyat yang meluap-luap semenjak akhir  bulan September sampai pertengahan bulan Oktober yang butuh suatu kanalisasi yang bermuara kepada perlawanan terhadap siapa pun di antara kekuatan kulit putih yang akan kembali menjajah Indonesia.
           Sebagaimana telah diketahui bahwa  tanggal 3 Oktober 1943 Saiko Sikikan dari Tentara Pendudukan Jepang mengeluarkan Osamu Seirei No.44 tentang pembentukan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air (PETA) atau Bo-ei Giyugun Kanbu Renseitai yang terdiri atas 65 Daidan  (batalyon) di Jawa dan 3 Daidan di Bali. Tiap Daidan beranggotakan 535 personil dipimpin Daidancho (komandan batalyon) pangkat setingkat mayor dibantu kepala staf berpangkat Chudancho. Setiap Daidan terdiri dari 4 Chudan yang dipimpin seorang Chudancho (komandan kompi) pangkat setingkat kapten. Tiap Chudan terdiri dari 3 shodan yang dipimpin seorang shodancho (komandan peleton) pangkat setingkat letnan. Tiap shodan terdiri dari 4 bundan yang dipimpin seorang bundancho (komandan regu) pangkat setingkat sersan. Dari 65 batalyon itu, 20 orang komandan dan kepala stafnya adalah para kyai di mana  akibat banyaknya  kyai yang menjabat komandan batalyon, surat kabar Asia Raya 22 Januari 1944 mempertanyakan sebutan yang pas untuk mereka  “Apa para kyai cukup disebut daidancho atau ada tambahan daidancho kyai?”
         Peristiwa pembentukan Tentara Sukarela PETA ini adalah babak baru dari sejarah umat Islam dalam bidang kemiliteran. Jika sebelumnya, dalam berbagai perlawanan bersenjata terhadap pemerintah kolonial Belanda selalu dilakukan oleh pemuka agama yang didukung petani, perajin, tukang, pedagang yang dipersenjatai yang di dalam peperangan menggunakan teknik-teknik tempur tradisional, maka melalui Tentara Sukarela PETA ini umat Islam memasuki babak baru sejarah perang modern di mana sebagian besar umat Islam dilatih langsung oleh tentara-tentara professional Jepang yang sejak tahun 1905 sudah berhasil menunjukkan kehebatannya dengan menghancurkan armada Rusia dalam pertempuran di Teluk Tchusima dan pada Maret 1942 menghancurkan kekuatan Belanda yang didukung sekutu dalam pertempuran di Laut Jawa.  
           Setahun kemudian, pada 14 Oktober 1944 pemerintah pendudukan Jepang membentuk Hizbullah di Jakarta. Hizbullah secara khusus beranggotakan pemuda-pemuda Islam se-Jawa dan Madura. Pada latihan pertama di Cibarusa, Bogor, yang diikuti 500 orang pemuda muslim itu tercatat sejumlah nama kiai muda  dari pondok pesantren seperti KH Mustofa Kamil (Banten), K. Mawardi (Solo), K. Zarkasi (Ponorogo), K. Mursyid (Pacitan), K.  Syahid (Kediri), K. Abdul Halim (Majalengka), K. Thohir Dasuki (Surakarta), K. Roji’un (Jakarta), K. Munasir Ali (Mojokerto),  K. Abdullah, K. Wahib Wahab (Jombang), K. Hasyim Latif (Surabaya), K. Zainuddin (Besuki), Sulthan Fajar (Jember), dan lain-lain.
           KH Hasyim Asy’ari menyambut baik pembentukan paramiliter Hizbullah ini. Itu tercermin pada sambutan tertulis beliau selaku syuumubutyo (Kepala Jawatan Agama) yang dibacakan oleh KH Abdul Kahar Muzakkir, dalam penutupan latihan pemimpin Hizbullah se-Jawa pada 20 Mei 1945, yang isinya sebagai berikut:
            “Saya yakin bahwa pemuda yang telah rela memasuki barisan Hizbullah dan yang sabar mengatasi segala kesukaran dalam latihan ini, adalah pemuda-pemuda Islam pilihan di seluruh Jawa. Maka pada saat bangsa Indonesia menghadapi suatu kejadian yang penting sekali, yakni timbulnya bangsa yang merdeka, yang dapat menegakkan agama Allah, sungguh besar kewajibanmu sebagai harapan bangsa. Bangsa Indonesia kini sedang berjuang, untuk membentuk dan menyelenggarakan negara Indonesia yang merdeka. Kamu harus menjadi tenaga yang sebaik-baiknya untuk mencapai cita-cita itu. Buktikanlah kepada segenap dunia, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang masih hidup dan umat Islam di Indonesia adalah umat yang masih hidup pula.”
            Sebulan setelah latihan pemimpin Hizbullah, diselenggarakan pula latihan seluruh bintara PETA dan Hizbullah se-Karesidenan Besuki yang dimulai pada 20 Juni 1945 dan berakhir pada 21 Juli 1945. Susunan organisasi pelatihan itu adalah Mayor Fukai dan  Mayor Kobayashi dari Komando Militer (Butai) sebagai pimpinan, KH Mursyid sebagai penasehat,  Yogeki Shodancho Wahyudi sebagai instruktur (Taicho), Sulthan Fajar (komandan korp Hizbullah Karesidenan Besuki) sebagai Asisten Instruktur (Fuku Taicho),  dan 23 perwira Hizbullah lulusan Cibarusa, Bogor, sebagai Komandan Latihan Peleton (Sidokan). Sedangkan sebagai ketua panitia penyelenggara adalah Nuruddin, anggota DPR (Syu Sangikai) Besuki.
            Berbekal pengetahuan militer modern yang diperoleh dari pendidikan di PETA dan Hizbullah, para kiai dan pemuda Islam di daerahnya masing-masing kemudian membentuk satuan-satuan paramiliter. Para kyai di pesantren-pesantren pun membentuk satuan-satuan paramiliter baru yang disebut Sabilillah. Para santri dan warga sekitar pesantren, adalah anggota utama dari pasukan Sabilillah ini. Sementara  masyarakat arek yang tinggal di  kawasan Surabaya – Gresik – Lamongan – Tuban - Bojonegoro – Mojokerto – Jombang – Pasuruan - Malang ditambah masyarakat Tapal Kuda yang secara kultural memiliki akar yang sama dengan NU, adalah komunitas yang selama pendudukan Jepang mendapat latihan-latihan militer lewat Tonari Gumi dengan kinrohoshi, Chokai dengan keibodan, dan seinendan. Keibodan yang dipersenjatai takiyari (bambu runcing) di seluruh Jawa dengan jumlah ditaksir lebih dari satu juta orang. Sementara pemuda pelajar yang dilatih dalam Seinendan diperkirakan jumlahnya sekitar lima juta orang.

Situasi Surabaya Menjelang Resolusi Jihad

    Sejak kemerdekaan diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan Republik Indonesia dibentuk pada 18 Agustus 1945, para elit pemimpin di berbagai daerah sibuk membentuk pemerintahan dengan pijakan kepentingan individu yang kuat dengan menjalin kekuasaan kelembagaan yang dibutuhkan, sampai pembentukan tentara nasional pun terabaikan. Keadaan inilah yang menjadi salah satu penyulut tindakan kekerasan di tengah masyarakat yang ditandai bermunculannya kelasykaran-kelasykaran sepanjang awal bulan September 1945. Bahkan kalangan pelajar pun, lepas dari kendali untuk bisa diatur, sebagaimana terlihat pada kasus 3 September 1945 di mana  para pemuda dengan kasar menolak untuk diatur-atur oleh elit agar mengikuti prosedur yang ditetapkan pemerintah. Dan itu dibuktikan dengan pawai raksasa di Tambaksari tanggal 11 September 1945. Dan 19 September 1945 pecah insiden bendera di Hotel Oranye.
    Tanggal  21 September 1945 Doel Arnowo adakan rapat terbuka di GNI Surabaya dihadiri anggota KNID. Dr Moestopo yang sudah memanggil  mantan anggota PETA ke Surabaya bersumpah bahwa ia dan pasukannya akan mengambil alih markas sekutu. Ini adalah reaksi terhadap pembentukan markas RAPWI di Hotel Oranye yang dipimpin seorang perwira Belanda bernama P.G. de Back  pada tanggal 21 September 1945  itu. Bahkan tanggal 23 September 1945, sebuah tim di bawah Kepala kantor Belanda Untuk Urusan Orang-orang Terlantar, D.L.Asjes, masuk ke kota surabaya di bawah perlindungan pasukan kehormatan Jepang. Hari itu datang juga perwira Belanda  P.J.G.Huijer  yang berbicara langsung dengan Panglima AD dan panglima AL Jepang sebagai wakil Belanda dan Inggris.
    Tanggal  27 September 1945 mulai terjadi konfrontasi antara warga kampung dengan tentara Jepang. Perkelahian yang berlangsung di gerbang-gerbang masuk kampung itu selalu berakhir dengan tentara Jepang lari atau tewas terbunuh dan senjatanya diambil warga kampung.  Menurut kesaksian warga yang terlibat perkelahian dengan tentara Jepang, salah satu pemicu keberanian warga menyerang tentara Jepang karena semua sudah diberitahu para sesepuh bahwa waktu habisnya kekuasaan Jepang sudah datang (titi wanci) sesuai Ramalan Jayabaya. Selain itu, takiyari (bambu runcing) milik mereka sudah diberi ‘asma oleh para kyai.
    Tanggal 29 September 1945 di dekat Pasar Blauran terjadi insiden di mana kendaraan militer yang membawa seorang  perwira Jepang menabrak dokar. Kusir dan penumpang dokar luka-luka. Dalam sekejap perwira Jepang dan sopirnya itu dikeroyok massa. Untung diselamatkan PRI sehingga tidak terbunuh. Tapi malam hari, patroli Jepang dicegat dan diserang massa. Tentara Jepang lari meninggalkan truk dan senjata yang dirampas massa. Menurut kesaksian, yang mengordinasi penduduk untuk menyerang  tentara Jepang adalah Pemuda Ansor yang tergabung dalam barisan Hizbullah pimpinan Cak Achyat.
    Tanggal 30 September 1945 massa dari berbagai kampung sekitar Blauran bergerak menuju ke Don Bosco, kawasan Sekolah Katholik yang menjadi barak-barak Tentara Jepang. Sambil berteriak-teriak, massa mengepung tentara Jepang yang dicekam ketegangan. Untung cepat datang Kepala Polisi Khusus M. Jasien, wakil-wakil KNID, BKR dan PRI yang menenangkan massa dengan menjadi juru runding dengan pihak Jepang. Massa tetap meminta agar Jepang menyerahkan semua senjata, pakaian, makanan, dan bahan-bahan lain kepada mereka. Akhirnya, Jepang menyerah dan memenuhi keinginan massa.
    Keberhasilan Don Bosco dijadikan “rumus” oleh massa untuk melucuti Jepang. Demikianlah, pool kendaraan AD Jepang, fasilitas pemancar utama kota, rumah sakit, dan fasilitas-fasilitas lainnya dialihkan kepada wakil-wakil dari pemerintahan wilayah. Sepanjang tanggal 30 September 1945 selain terjadi pengepungan  terhadap kekuatan Jepang yang berakhir dengan menyerahnya pihak Jepang, juga beredar desas-desus yang diikuti poster-poster tentang bakal diserangnya Jepang pada 1 Oktober 1945.
    Tanggal 1 Oktober 1945 wilayah Surabaya pusat dibanjiri penduduk yang membawa bendera, poster, pedang, takiyari, dan senjata api. Didukung massa yang beringas ini wakil-wakil KNID, BKR, Polisi Khusus menekan pihak Jepang untuk menyerah. Pihak Jepang yang enggan menyerah diserang.  Salah satu pihak yang menolak untuk menyerah adalah markas Kenpetai. Dalam aksi pertempuran antara massa rakyat dengan Kenpetai selama 36 jam, pada 2 Oktober 1945 kantor yang dikenal paling horor itu menyerah. 24 orang pemuda gugur. 40 orang Kenpetai tewas dan luka-luka serta ratusan tentara Jepang digiring ke kamp tawanan Koblen.
    Ke-24 orang pahlawan itu dimakamkan di bekas Lapangan Canaalan pada tanggal 3 Oktober 1945 dengan penghormatan militer dari polisi khusus. Penduduk datang berduyun-duyun sambil mengibarkan bendera merah putih. Para kyai hadir membacakan doa bagi para pahlawan. Upacara pemakaman ditutup dengan teriakan-teriakan “Hidup Indonesia!” dan “Indonesia Merdeka!”. Lalu tersebar kabar bahwa Kenpetai dikeluarkan dari penjara Koblen. Massa beramai-ramai ke penjara Koblen dan mendapati kerumunan massa lain sudah mengepung penjara tersebut. Saat itulah terjadi pelampiasan amarah massa yang membantai sebagian  dari  tawanan-tawanan Jepang tersebut. Anggota PRI  dengan susah payah memasukkan kembali tawanan-tawanan itu ke penjara.
              Memasuki pekan awal Oktober 1945,  tentara Jepang di Semarang dan Bandung yang sudah dilucuti rakyat merebut kembali kota Semarang dan Bandung yang telah jatuh ke tangan Indonesia dan kemudian menyerahkan kepada Inggris. Pemerintah Republik Indonesia yang telah terbentuk pada tanggal 18 Agustus 1945 menahan diri untuk tidak melakukan perlawanan dan mengharapkan penyelesaian kasus itu secara diplomatik. Pemerintah tampaknya menerima saja ketika melihat bendera Belanda dikibarkan di Jakarta. Tindakan Jepang yang menguntungkan Inggris itu  membuat marah para pemimpin Indonesia, termasuk para ulama NU.
          Tanggal 6 Oktober 1945 massa dari kampung-kampung Surabaya dalam jumlah tak terhitung berkerumun di luar markas PRI di Simpang Club. Mereka marah karena PRI memasukkan kembali orang-orang Jepang ke penjara. Mereka menuntut agar tawanan Jepang dilepaskan. Tiga orang pimpinan PRI tanpa daya digiring ke penjara Koblen. Ternyata, penjara Koblen sudah penuh dengan kerumunan massa yang sedang marah-marah dengan aparat oemerintah yang kebanyakan anggota KNID seperti Sudirman, Bambang Suparto, Doel Arnowo, Angka Nitisastro, Bambang Kaslan, Dr Soewandhi, Sumarsono, Hardjadinata, dan lain-lain.
        Ketika pimpinan PRI dan KNID sedang membahas langkah terbaik mengatasi kemarahan massa, sekumpulan orang menerobos penjagaan PRI yang mengamankan penjara. Di bawah todongan pedang, beberapa orang Jepang yang dikenal sebagai anggota Kenpetai diseret ke tengah kerumunan massa dan dieksekusi di bawah kemarahan.  Bahkan akibat kemarahan tak terkendali, orang-orang bergantian meminum darah Kenpetai  Jepang yang mereka sembelih itu. Setelah itu, kawanan pembunuh dengan membawa pedang berlumur darah menghadap para pemimpin dan meminta mereka untuk menjilat darah di pedang tersebut.
         Tanggal 10 – 11 Oktober 1945 ketika PRI menggeledah kantor RAPWI dan perumahan Eropa tersiar kabar bahwa ditemukan banyak bukti tentang rencana serangan, perangkat radio, peta sistem komunikasi, instruksi dari pemerintah NICA di Australia, dan sejumlah besar mata uang Jepang. Padahal informasi menunjuk bahwa Sekutu akan mendarat di Surabaya tanggal 14 Oktober 1945. Suasana di Surabaya pun memanas. Lalu dengan alasan untuk menghindari aksi massa, tanggal 15 Oktober 1945 sekitar 3500 orang Belanda dan Indo Belanda yang sudah dilepas dari interniran Jepang,  diam-diam  oleh PRI dinaikkan truk-truk dan dibawa ke penjara Kalisosok (werfstraat) untuk ditahan serta ditempatkan di sejumlahntempat yang aman. Sebagian truk yang membawa para tawanan itu dihadang massa di depan Simpang Club dan para tawanan dihakimi massa secara brutal.
          Tanggal 15 Oktober 1945, Soetomo memproklamasikan terbentuknya BPRI (Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia) dengan tujuan memangkas  pengaruh PRI yang dicurigai bermain-mata dengan pihak Belanda. Tanggal 16 Oktober 1945, Radio Pemberontakan yang menyiarkan propaganda mulai mengudara. Radio Pemberontakan selain menyiarkan berita, juga menyiarkan aneka macam dorongan keberanian dan bahkan hasutan untuk melawan Belanda. Teriakan “Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!” sebelum dan setelah siaran, dengan cepat menarik umat Islam Surabaya. Banyak pengamat mencatat bahwa Soetomo, yang terkenal dengan nama Bung Tomo memiliki hubungan khusus dengan tokoh-tokoh Islam. Ia bahkan diketahui mendapat  kepercayaan dan dukungan dari KH Wachid Hasyim.
   
Resolusi Jihad dan Pengaruhnya
    Kabar bakal mendaratnya Sekutu yang diboncengi tentara NICA makin keras terdengar  di tengah penduduk Surabaya yang dicekam kemarahan menunggu kedatangan tentara Belanda yang membonceng pasukan Inggris itu. Atas dasar berbagai pertimbangan – salah satunya momentum semangat melawan masyarakat terlatih yang tak tersalurkan – membuat PBNU mengundang konsul-konsul NU di seluruh jawa dan madura agar hadir pada tanggal 21 Oktober 1945 di kantor PB ANO di Jl. Bubutan VI/2 Surabaya.  Malam hari tanggal 22 Oktober 1945, Rais Akbar KH Hasyim Asy’ari, menyampaikan amanat berupa pokok-pokok kaidah tentang kewajiban umat Islam, pria maupun wanita, dalam jihad mempertahankan tanah air dan bangsanya. Rapat PBNU yang dipimpin Ketua Besar KH Abdul Wahab Hasbullah itu kemudian menyimpulkan satu keputusan dalam bentuk resolusi yang diberi nama “Resolusi Jihad Fii Sabilillah”, yang isinya sebagai berikut:
        “Berperang menolak dan melawan pendjadjah itoe Fardloe ‘ain (jang haroes dikerdjakan oleh tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewadjiban itu djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kalaoe dikerdjakan sebagian sadja…”    
             Dalam tempo singkat, Surabaya guncang oleh kabar seruan jihad dari PBNU. Dari masjid ke masjid  dan dari  musholla ke musholla tersiar seruan jihad yang dengan sukacita disambut penduduk Surabaya. Atas dasar pertimbangan politik, Resolusi Jihad tidak disiarkan di radio. Namun dari pidato Bung Tomo tanggal 24 Oktober 1945 yang berbeda dari biasanya, terlihat jelas pesan yang disampaikan agar tidak arek-arek Surabaya jangan gampang berkompromi dengan Sekutu yang akan mendarat di Surabaya. Isi pidato Bung Tomo  tersebut, adalah  sebagai berikut:
    “Kita ekstrimis dan rakyat sekarang tidak percaya lagi pada ucapan-ucapan manis. Kita tidak percaya setiap gerakan (yang mereka lakukan) selama kemerdekaan Republik tetap tidak diakui! Kita akan menembak, kita akan mengalirkan darah siapa pun yang merintangi jalan kita! Kalau kita tidak diberi Kemerdekaan sepenuhnya, kita akan menghancurkan gedung-gedung dan pabrik-pabrik imperialis dengan granat tangan dan dinamit yang kita miliki, dan kita akan memberikan tanda revolusi, merobek usus setiap makhluk hidup yang berusaha menjajah kita kembali!”
    “Ribuan rakyat yang kelaparan, telanjang, dan dihina oleh kolonialis, akan menjalankan revolusi ini. Kita kaum ekstrimis, kita yang memberontak dengan penuh semangat revolusi, bersama dengan rakyat Indonesia, yang pernah ditindas oleh penjajahan, lebih senang melihat Indonesia banjir darah dan tenggelam ke dasar samudera daripada dijajah sekali lagi! Tuhan akan melindungi kita! Merdeka! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
    Dengan mencermati detik-detik setelah dimaklumkannya Resolusi Jihad Fii Sabilillah oleh PBNU, terlihat sekali bagaimana rakyat Surabaya beserta pemimpin-pemimpinnya mengatur persiapan tersendiri dalam menyambut rencana pendaratan pasukan Sekutu di Surabaya, yang sebagian besar di luar perkiraan pemerintah RI di Jakarta. Bahkan pada sore hari, tanggal 24 Oktober 1945,  sewaktu diadakan perundingan di Modderlust antara  utusan Sekutu yang diwakili Colonel Carwood dan pihak TKRL diwakili Oemar Said, J.Soelamet, Hermawan, dan Nizam Zachman terjadi jalan buntu. Semua permintaan Sekutu ditolak. Malam hari jam 20.00 terdengar pidato Drg Moestopo, yang mengaku sebagai Menhan RI yang tegas-tegas menolak Sekutu untuk  mendarat dan menyebut Sekutu sebagai NICA. Dan pidato Drg Moestopo itu dibalas oleh pemancar radio dari kapal yang isinya,”We don’t take any order from anybody, we don’t have the command of a dental surgeon!”
    Tindakan Drg Moestopo yang tidak sesuai dengan kebijakan pemerintah pusat di Jakarta itu tidak bisa dicegah, termasuk setelah pemerintah mengirimkan Mr Soedarpo, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr. Sartono agar bersedia membiarkan  Sekutu menjalankan tugasnya. Akhirnya Drg Moestopo ditelpon langsung oleh Presiden Soekarno agar  tidak menembak Sekutu.
    Tanggal 25 Oktober 1945 HMS Wavenley bersandar di dermaga Modderlust dan mengirim Captain Mac Donald dan Pembantu Letnan Gordon Smith untuk menemui Gubernur. Dengan siasat mengundang jamuan minum teh sambil berunding, Sekutu memanfaatkan kunjungan Drg Moestopo untuk melihat tawanan di Kalisosok dengan mendaratkan pasukan secara besar-besaran. Tindakan ini mengudang reaksi keras penduduk. Lalu diadakan perundingan antara Drg Moestopo dengan Kolonel Pugh. Hasilnya, pasukan Sekutu berhenti  pada garis batas 800 meter dari pantai ke arah kota.
    Tanggal 26 Oktober 1945 diadakan perundingan antara pihak RI yang diwakili oleh wakil gubernur Soedirman, Ketua KNI Doel Arnowo, Walikota Radjamin Nasution, dan wakil Drg Moestopo, Jenderal Mayor Muhammad  dengan pihak Sekutu yang diwakili A.W.S. Mallaby beserta staf. Dalam perundingan, pasukan sekutu diperbolehkan menggunakan beberapa bangunan di dalam kota. Markas Brigade ke-49 Mahratta ditempatkan di Kayoon. Dengan persetujuan itu, Sekutu membangun pos-pos pertahanan yang menebar dari kawasan pantai hingga ke bagian tengah dan selatan kota.
    Tanggal 27 Oktober 1945  Sekutu mendaratkan lebih banyak pasukan untuk memperkuat pos-pos pertahanannya. Kira-kira jam 11.00 di atas langit Surabaya melesat pesawat Dakota yang menebarkan selebaran yang berisi perintah kepada penduduk Surabaya untuk menyerahkan segala persenjataan dan peralatan Jepang kepada Sekutu. Perintah itu disertai ancaman, bahwa apabila masih ada orang membawa senjata akan langsung ditembak di tempat. Tindakan Sekutu itu dijawab penduduk dengan memasang barikade-barikade di seluruh jalan kota. Lalu pertempuran pun pecah di depan Rumah Sakit Darmo yang merembet ke daerah Kayoon, Simpang, Ketabang, Jembatan Merah, dan Benteng di Ujung. Aliran listrik, telepon  dan air minum diputus. Jalur logistik terhenti. Kota pada malam hari gelap gulita. Dropping logistik dari udara justru jatuh ke tangan rakyat.
    Tanggal 28 Oktober 1945 yang merupakan hari peringatan Sumpah Pemuda ditandai dengan pertempuran sengit para pemuda melawan Sekutu. Menurut kesaksian para pelaku sejarah, salah satunya Brigjen Barlan Setiadijaya, pertempuran tanggal 28 Oktober 1945 itu sangat membingungkan sekutu. Sebab lawan mereka bukan tentara yang bertempur menggunakan pola operasi militer, melainkan gerakan rakyat yang fanatik dengan senjata apa saja menyerang pasukan sekutu dari  kampung-kampung sekitar pos-pos pertahanan sekutu. Bahkan menurut arek-arek Surabaya seperti Luthfi Rachman, Perang Tiga Hari pada tanggal 27 – 28 -29 Oktober 1945 itu bukanlah perang, melainkan semacam tawuran massal karena rakyat Surabaya bertempur tidak ada yang mengkomando. Sepanjang hari, penduduk keluar dari kampung-kampung sambil meneriakkan takbir, menyerang pasukan Sekutu dari berbagai arah seperti semut mengerumuni bangkai. Tentara Sekutu yang lari menyelamatkan diri diburu dan begitu tertangkap beramai-ramai dibantai meski tentara-tentara asal India meminta ampun dan mengaku muslim, tetap saja dibunuh.
    Pertempuran baru berhenti setelah tanggal 30 Oktober 1945 Bung Karno dan Bung Hatta datang ke Surabaya untuk meredam pertempuran. Gencatan senjata dilakukan. Namun dalam rangka sosialisasi gencatan senjata, tiba-tiba Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas dilempar granat dalam sebuah insiden di Hotel Internatio. Demikianlah, semangat Resolusi Jihad yang harusnya meredah dengan kedatangan Bung Karno dan Bung Hatta, ternyata makin menyala-nyala dan meledak menjadi bara api Perang Surabaya 10 November 1945 yang berlangsung selama 100 hari.
(Disadur dari pmiiunisda)

Sejarah Di Balik Resolusi Jihad NU


73 tahun silam Fatwa Jihad Yg di Komandani Hadrotus Syaikh Hasyim Asyari , fatwa Jihad merupakan pintu masuk adanya Resolusi Jihad
--------------------------------
17 Agustus 1945
Siaran berita Proklamasi Kemerdekaan sampai ke Surabaya dan kota-kota lain di Jawa, membawa situasi revolusioner. Tanpa komando, rakyat berinisiatif mengambil-alih berbagai kantor dan instalasi dari penguasaan Jepang.

31 Agustus 1945
Belanda mengajukan permintaan kepada pimpinan Surabaya untuk mengibarkan bendera Tri-Warna untuk merayakan hari kelahiran Ratu Belanda, Wilhelmina Armgard.

17 September 1945
Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan sebuah Fatwa Jihad yang berisikan ijtihad bahwa perjuangan membela tanah air sebagai suatu jihadis fi sabilillah. Fatwa ini merupakan bentuk penjelasan atas pertanyaan Presiden Soekarno yang memohon fatwa hukum mempertahankan kemerdekaan bagi umat Islam.

19 September 1945
Terjadi insiden tembak menembak di Hotel Oranje antara pasukan Belanda dan para pejuang Hizbullah Surabaya. Seorang kader Pemuda Ansor bernama Cak Asy’ari menaiki tiang bendera dan merobek warna biru, sehingga hanya tertinggal Merah Putih.

23-24 September 1945
Terjadi perebutan dan pengambilalihan senjata dari markas dan gudang-gudang senjata Jepang oleh laskar-laskar rakyat, termasuk Hizbullah.

25 September 1945
Bersamaan dengan situasi Surabaya yang makin mencekam, Laskar Hizbullah Surabaya dipimpin KH Abdunnafik melakukan konsolidasi dan menyusun struktur organisasi. Dibentuk cabang-cabang Hizbullah Surabaya dengan anggota antara lain dari unsur Pemuda Ansor dan Hizbul Wathan.Diputuskan pimpinan Hizbullah Surabaya Tengah (Hussaini Tiway dan Moh. Muhajir), Surabaya Barat (Damiri Ichsan dan A. Hamid Has), Surabaya Selatan (Mas Ahmad, Syafi’i, dan Abid Shaleh), Surabaya Timur (Mustakim Zain, Abdul Manan, dan Achyat).

5 Oktober 1945
Pemerintah pusat membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Para pejuang eks PETA, eks KNIL, Heiho, Kaigun, Hizbullah, Barisan Pelopor, dan para pemuda lainnya diminta mendaftar sebagai anggota TKR melalui kantor-kantor BKR setempat.

15-20 Oktober 1945
Meletus pertempuran lima hari di Semarang antara sisa pasukan Jepang yang belum menyerah dengan para pejuang.

21-22 Oktober 1945
PBNU menggelar rapat konsul NU se-Jawa dan Madura. Rapat digelar di Kantor Hofdsbestuur Nahdlatul Ulama di Jalan Bubutan VI No 2 Surabaya. Di tempat inilah setelah membahas situasi perjuangan dan membicarakan upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia, Di akhir pertemuan pada tanggal 22 Oktober 1945 PBNU akhirnya mengeluarkan sebuah Resolusi Jihad sekaligus menguatkan fatwa jihad Rais Akbar NU Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari.

25 Oktober 1945
Sekitar 6.000 pasukan Inggris yang tergabung dalam Brigade ke-49 Divisi ke-26 India mendarat di Surabaya. Pasukan ini dipimpin Brigjend AWS. Mallaby. Pasukan ini diboncengi NICA (Netherlands-Indies Civil Administration).

26 Oktober 1945
Terjadi perundingan lanjutan mengenai genjatan senjata antara pihak Surabaya dan pasukan Sekutu. Hadir dalam perundingan itu dari pihak Sekutu Brigjend Mallaby dan jajarannya, dari pihak Surabaya diwakili Sudirman, Dul Arnowo, Radjamin Nasution (Walikota Surabaya) dan Muhammad.

27 Oktober 1945
Mayjen DC.Hawtorn bertindak sebagai Panglima AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) untuk Jawa, Madura, Bali dan Lombok menyebarkan pamflet melalui udara menegaskan kekuasaan Inggris di Surabaya, dan pelarangan memegang senjata selain bagi mereka yang menjadi pasukan Inggris. Jika ada yang memegangnya, dalam pamflet tersebut disebutkan bahwa Inggris memiliki alasan untuk menembaknya. Laskar Hizbullah dan para pejuang Surabaya marah dan langsung bersatu menyerang Inggris. Pasukan Inggris pun balik menyerang, dan terjadi pertempuran di Penjara Kalisosok yang ketika itu berada dalam penjagaaan pejuang Surabaya.

28 Oktober 1945
Laskar Hizbullah dan Pejuang Surabaya lainnya berbekal senjata rampasan dari Jepang, bambu runcing, dan clurit, melakukan serangan frontal terhadap pos-pos dan markas Pasukan Inggris. Inggris kewalahan menghadapi gelombang kemarahan pasukan rakyat dan massa yang semakin menjadi-jadi.

29 Oktober 1945
Terjadi baku tembak terbuka dan peperangan massal di sudut-sudut Kota Surabaya. Pasukan Laskar Hizbullah Surabaya Selatan mengepung pasukan Inggris yang ada di gedung HBS, BPM, Stasiun Kereta Api SS, dan Kantor Kawedanan. Kesatuan Hizbullah dari Sepanjang bersama TKR dan Pemuda Rakyat Indonesia (PRI) menggempur pasukan Inggris yang ada di Stasiun Kereta Api Trem OJS Joyoboyo.

29 Oktober 1945
Perwira Inggris Kolonel Cruickshank menyatakan pihaknya telah terkepung. Mayjen Hawtorn dari Brigade ke-49 menelpon dan meminta Presiden Soekarno agar menggunakan pengaruhnya untuk menghentikan pertempuran. Hari itu juga, dengan sebuah perjanjian, Presiden Soekarno didampingi Wapres Mohammad Hatta terbang ke Surabaya dan langsung turun ke jalan-jalan meredakan situasi perang.

30 Oktober 1945
Genjatan senjata dicapai kedua pihak, Laskar arek-arek Surabaya dan pasukan Sekutu-Inggris. Disepakati diadakan pertukaran tawanan, pasukan Inggris mundur ke Pelabuhan Tanjung Perak dan Darmo (kamp Interniran), dan mengakui eksistensi Republik Indonesia.

30 Oktober 1945
Sore hari usai kesepakatan genjatan senjata, rombongan Biro Kontak Inggris menuju ke Gedung Internatio yang terletak disaping Jembatan Merah. Namun sekelompok pemuda Surabaya menolak penempatan pasukan Inggris di gedung tersebut. Mereka meminta pasukan Inggris kembali ke Tanjung Perak sesuai kesepakatan genjatan senjata. Hingga akhirnya terjadi ketegangan yang menyulut baku tembak. Di tempat ini secara mengejutkan Brigjen Mallaby tertembak dan mobilnya terbakar.

31 Oktober 1945
Panglima AFNEI Letjen Philip Christison mengeluarkan ancaman dan ultimatum jika para pelaku serangan yang menewaskan Brigjen Mallaby tidak menyerahkan diri maka pihaknya akan mengerahkan seluruh kekuatan militer darat, udara, dan laut untuk membumihanguskan Surabaya.

7-8 November 1945
Kongres Umat Islam di Yogyakarta mengukuhkan Resolusi Jihad Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sebagai kebulatan sikap merespon makin gentingnya keadaan pasca ultimatum AFNEI.

9 November 1945
Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari sebagai komando tertinggi Laskar Hizbullah menginstruksikan Laskar Hizbullah dari berbagai penjuru memasuki Surabaya untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan dengan satu sikap akhir, menolak menyerah. KH Abbas Buntet Cirebon diperintahkan memimpin langsung komando pertempuran. Para komandan resimen yang turut membantu Kiai Abbas antara lain Kiai Wahab (KH. Abd. Wahab Hasbullah), Bung Tomo (Sutomo), Cak Roeslan (Roeslan Abdulgani), Cak Mansur (KH. Mas Mansur), dan Cak Arnowo (Doel Arnowo).Bung Tomo melalui pidatonya yang disiarkan radio membakar semangat para pejuang dengan pekik takbirnya untuk bersiap syahid di jalan Allah SWT.

10 November 1945
Pertempuran kembali meluas menyambut berakhirnya ultimatum AFNEI. Inggris mengerahkan 24.000 pasukan dari Divisi ke-5 dengan persenjataan meliputi 21 tank Sherman dan 24 pesawat tempur dari Jakarta untuk mendukung pasukan mereka di Surabaya. Perang besar pun pecah. Ribuan pejuang syahid. Pasukan Kiai Abbas berhasil memaksa pasukan Inggris kocar-kacir dan berhasil menembak jatuh tiga pesawat tempur RAF Inggris.

Sumber: Mukafi Niam, NU Online.

Minggu, 14 Oktober 2018

Rapat Menyongsong HSN 2018


Kemarin malam , Sabtu 13 Oktober 2018 sebanyak 56 orang yang tergabung dalam panitia peringatan Hari Santri Nasional 2018 MWCNU kecamatan Pacet mengadakan rapat tehnikal meeting di pondok pesantren Fatchul Ulum Pacet.
Ponpes yang diasuh oleh KH Muslihuddin Abbas ini memang mempunyai semangat yang luar biasa ketika menyambut peringatan HSN. Dua tahun yang lalu bahkan menyelenggarakan apel HSN dengan formasi unik. Ada peserta yang berseragam petani, tentara, peternak, guru, kyai, santri dan lain lain. Yang lebih heboh lagi masing masing peserta membawa peralatan kerja mereka sehingga kambingpun diikutkan upacara.
Tahun ini panitia merencanakan peringatan HSN melalui pawai dan upacara

Minggu, 07 Oktober 2018

Selamat Datang Rais dan Ketua PCNU Mojokerto Yang Baru

Pengurus MWCNU Pacet Mojokerto mengucapkan Selamat atas Terpilihnya KH Mashul Ismail dan KH Abd Adhim Alwy sebagai Rais dan Ketua PCNU Mojokerto untuk masa khidmat 2018-2023. Semoga dapat mengantarkan NU di kabupaten Mojokerto semakin mandiri dan bermartabat untuk kemaslahatan umat dan bangsa. Aamiin

Sabtu, 06 Oktober 2018

Konfercab NU Kab. Mojokerto 2018



Hari ini Sabtu 6 Oktober 2018 PCNU kab. Mojokerto melaksanakan Konferensi untuk memilih Rais dan ketua PCNU Kabupaten Mojokerto masa khidmat 2018-2023.
Konferensi ini dihadiri oleh KH Marzuki Mustamar ketua PWNU Jawa Timur yang memberikan sambutan pengarahan dan membuka acara konferensi secara resmi. Beliau menginginkan pemimpin PCNU Mojokerto adalah kader NU tulen, kompeten dan berjiwa ikhlas. Sedangkan sambutan atas nama pemerintah kabupaten Mojokerto diwakili oleh KH Ahmad Jazuli. Putra KH Aziz yang juga menjabat sebagai mustasyar PCNU kota Mojokerto ini menyampaikan terima kasih atas pengabdian dan kiprah NU di kabupaten Mojokerto yang telah membantu menciptakan suasana keagamaan yang harmonis dan suksesnya program program pemerintah. Selanjutnya ketua PCNU Mojokerto, KH Syihabul Irfan Arif juga menyampaikan pidato terakhirnya selaku ketua PCNU sebelum demisioner. Beliau mengupas beberapa keberhasilan PCNU dalam melaksanakan program yang diamanatkan dalam konferensi cabang NU tahun 2013.
Menurut panitia pelaksana, antusias peserta konfercab NU kali ini luar biasa, dibuktikan dengan tingkat kehadiran MWCNU, Ranting dan pengurus PC yang mencapai 90 persen. Termasuk peserta dari MWCNU Pacet yang 100 persen hadir.
Usai acara pembukaan dilanjutkan dengan sidang penetapan tatib konferensi. Tepat pukul 12.25 peserta dipersilahkan ishoma sampai jam 13.30. Acara dilanjutkan dengan penyampaian Laporan Pertanggung jawaban pengurus PCNU Mojokerto masa khidmat 2013-2018 yang diwakili oleh Gus H Saifuddin Zuhri. Setelah itu diadakan sidang komisi. Komisi Bahtsul masail dan komisi Rekomendasi berada di tempat konferensi. Sedangkan komisi organisasi dan program berada di aula lantai dua wisma PCNU. Sidang komisi diakhiri dengan sholat ashar berjamaah dan dilanjutkan sidang pleno komisi sampai menjelang maghrib, waktunya sholat, istirahat dan makan malam.
Setelah sholat isya acara intipun dilaksanakan yaitu proses penetapan tim AHWA yang terdiri dari 5 ulama, pemilihan rais PCNU oleh AHWA dan pemilihan ketua PCNU oleh MWCNU dan ranting se kabupaten Mojokerto.
Proses didahului dengan pentabulasian tim Ahlul halli wal aqdi (AHWA) 5 orang ulama yang sudah diusulkan oleh Syuriah MWCNU bersama Rais ranting NU. Tim AHWA ini akhirnya bermufakat memilih KH Mashul Ismail sebagai Rais PCNU kab Mojokerto masa khidmat 2018-2023.
Selanjutnya pemilihan calon ketua PCNU melalui tahapan pengajuan bakal calon oleh ketua MWCNU dan ketua ranting. Bakal calon yang memperoleh suara minimal 99 akan maju dalam pemilihan. Konsep yang diutamakan adalah musyawarah mufakat. Bila tidak terjadi aklamasi maka akan dilanjutkan dengan voting.
Dalam penetapan bakal calon ini muncul 10 nama kandidat yaitu H Mahsun, H Muchid, KH Adhim, H Marzuki, H Nur Rohmad, Khusaini, Mashudi, Mukhson, Maksum dan KH Wahid Rozaq. Dalam tahap pertama perolehan suara terbanyak adalah KH Adhim 139 suara dan H Mahsun 119 suara.
Tahap kedua persaingan semakin kencang dan menegangkan. Akhirnya pada pukul 23.20 yang terpilih menjadi ketua PCNU kabupaten Mojokerto masa khidmat 2018-2023 adalah KH Abd Adhim yang memperoleh 182 suara mengungguli H Mahsun yang memperoleh 146 suara.
Setelah itu rais dan ketua PCNU terpilih ditetapkan dan dilanjutkan pembentukan tim mede formatur yang akan bertugas melengkapi kepengurusan harian PCNU kabupaten Mojokerto.
Semoga di bawah kepengurusan yang baru ini PCNU Kabupaten Mojokerto dapat mandiri dan bermartabat untuk kemaslahatan umat dan bangsa. Aamin ya Robbal Aalamiin. (Agus Santoso)

MWCNU Pacet Luar Biasa Kegiatannya



Kemarin siang (Jumat Pon, 5 Oktober 2018) MWCNU Pacet menggelar tiga kegiatan rutin sekaligus yang bertempat di Graha NU Pacet. Kegiatan tersebut adalah pengajian rutin Jumat Pon yang mengupas aswaja an nahdliyah, koin NU dan senam Ling Tien Kung. Pengajian aswaja menyehatkan jiwa dan aqidah, kegiatan koin NU menyehatkan ekonomi NU dan senam Ling Tien Kung menyehatkan raga warga nahdliyin.
Pengajian aswaja dilaksanakan oleh LDNU bersama para pengurus MWCNU, Lembaga dan Ranting NU. Kegiatan itu bertempat di aula lantai dua Graha NU Pacet. Sekitar 50 orang hadir mengikuti pengajian yang diasuh oleh para kyai Syuriah MWCNU. Diantara qori nya adalah KH Iskandar Munir, KH Abd Jamil dan Gus H Khotibul Umam. Sedangkan gerakan koinisasi dilaksanakan oleh Lazisnu Care MWCNU Pacet yang dikmotori oleh Moh. Malkan. Pertemuan yang bertempat di sekretariat lantai dasar itu bergerak dalam pengumpulan hasil uang koin dari tiap ranting/desa. Selain itu juga membagikan kaleng koin bagi ranting yang membutuhkan tambahan kaleng serta koordinasi secara teknis.
Adapun lantai tiga ditempati oleh para pegiat senam penyembuhan Ling Tien Kung yang dilaksanakan setiap hari Jumat pukul 15.30. Sejak beberapa pekan ini alhamdulillah peserta senam semakin banyak. Menurut penanggungjawab pelaksana, H Imron Rosyadi, SP senam penyembuhan ini terbukti manfaatnya bagi kesehatan tubuh sehingga beliau tak henti hentinya memperjuangkan keistiqomahan senam Ling Tien Kung di Graha NU pacet.
Tak ingin ketinggalan, para pemuda GP Ansor ancab Pacet juga memanfaatkan moment baik ini untuk menggalang dana peduli Palu-Donggala dalam forum pengajian aswaja.
Semoga semua kegiatan NU ini selalu mendapat kemudahan, barokah dan ridho Allah SWT. Aamiin. (Agus Santoso) 

Senin, 01 Oktober 2018

Pandangan NU terhadap Pancasila dan NKRI




Oleh: Ahmad Muntaha AM [1]
ِِA. Sejarah
Memahami sejarah Nahdlatul Ulama (NU) sebagai jam’iyah diniyah (organisasi keagamaan) tidak cukup hanya dengan membaca formalitas kelahirannya pada 31 Januari 1926 di kampung Kertopaten Surabaya, bersamaan pembentukan Komite Hijaz yang akan dikirim ke Arab Saudi. Jauh sebelum itu, NU sudah ada dan berwujud dalam bentuk jama’ah(community) yang terikat oleh aktivitas keagamaan yang mempunyai karakteristik tertentu. Terkait hal ini Rais Akbar Nahdlatul Ulama, Hadratusy Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari menyatakan:

قَدْ كَانَ مُسْلِمُو الْأَقْطَارِ الْجَاوِيَّةِ فِي الزَّمَانِ الْخَالِيَةِ مُتَّفِقِي الْآرَاءِ وَالْمَذْهَبِ، وَمُتَّحِدِ الْمَأْخَذِ وَالْمَشْرَبِ. فَكُلُّهُمْ فِي الْفِقْهِ عَلىٰ الْمَذْهَبِ النَّفِيسِ مَذْهَبِ الْإِمَامِ مُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيسَ، وَفِي أُصُولِ الدِّينِ عَلىٰ الْمَذْهَبِ الْإِمَامِ أَبِي الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيِّ، وَفِي التَّصَوُّفِ عَلىٰ الْمَذْهَبِ الْإِمَامِ الْغَزَالِيِّ وَالْإِمَامِ أَبِي الْحَسَنِ الشِاذِلِيّ.[2]

Sungguh kaum muslimin tanah Jawa (Nusantara) pada masa lalu sepakat dalam pendapat dan madzhabnya; tunggal sumber rujukannya. Semuanya dalam fikih memedomani madzhab indah, madzhab al-Imam Muhamamd bin Idris asy-Syafi’i, dalam ushuluddin memdomani madzhab al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf memedomani madzhab al-Imam al-Ghazali dan al-Imam Abu al-Hasan asy-Syadzili.”
Dalam musyawarah pemberian nama organisasi ini, KH. Abdul Hamid dari Sidayu Gersik mengusulkan nama Nuhudlul Ulama dengan penjelasan para ulama mulai bersiap-siap bangkit melalui perwadahan formal tersebut. Namun pendapat ini mendapat sanggahan dari KH. Mas Alwi bin Abdul Aziz. Menurut beliau, kebangkitan ulama bukan sedang akan dimulai, namun sebenarnya sudah bergerak jauh sebelum adanya tanda-tanda akan terbentuknya Komite Hijaz, namun kebangkitan dan pergerakan ulama kala itu memang belum terorganisir secara rapi. Sebab itu, KH. Mas Alwi mengusulkan nama Nahdhatul Ulama yang lebih condong pada makna gerakan serentak ulama dalam suatu pengarahan, atau gerakan bersama-sama yang terorganisir.[3]
Dari sini bisa dipahami bahwa pendirian NU tiada lain merupakan pengorganisasian, peningkatan dan pengembangan peran ulama pesantren yang sudah ada. Dengan kata lain, didirikannya NU agar menjadi wadah bagi usaha menyatukan langkah ulama pesantren dalam rangka pengabdian yang tidak terbatas pada persoalan keagamaan saja–meskipun ini merupakan tujuan utamanya–, namun juga merambah pada masalah-masalah sosial, ekononomi, dan persoalan kemasyarakatan pada umumnya. Hal ini terlihat secara jelas dalam Statuen Perkoempoelan Nahdlotoel ‘Oelama, Fatsal 2 dan 3:
“Fatsal 2:
Adapoen maksoed perkoempulan ini jaoetu: “Memegang tegoeh pada salah satoe dari madzhabnya Imam  ampat, jaitoe Imam Moehammad bin Idris Asj-Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboehanifah An-Noe’man, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang mendjadikan kemaslahatan Agama Islam.”
Fatsal 2:
Oentoek mentjapai maksoed perkoempoelan ini maka diadakan ichtiar:
1. Mengadakan perhoeboengan di antara ‘Oelama-‘Oelama jang bermadzhab tersebut dalam fatsal 2.
2. Memeriksai kitab-kitab sebeloemnja dipakai oentoek mengadjar, soepaja di ketahoei apakah kitab itoe dari pada kitab-kitabnja Ahli Soennah Wal Djama’ah atau kitab-kitabnja Ahli Bid’ah.
3. Menjiarkan Agama Islam di atas madzhab sebagai tersebut dalam fatsal 2, dengan djalanan apa sadja jang baik.
4. Berichtiar memperbanjakkan Madrasah-Madrasah jang berdasar Agama Islam.
5. Memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan dengan masdjid2, langgar2, dan pondok2, begitoe djuga dengan hal ahwalnja anak-anak jatim dan orang-orang jang fakir miskin.
6. Mendirikan badan-badan oentoek memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan, dan peroesahaan, jang tiada dilarang oleh sjara` Agama Islam.”[4]
Selain itu, berdirinya NU tidak bisa dilepaskan dari tujuan membangun semangat nasionalisme bangsa yang sedang terjajah. Selain tercermin dalam keterlibatan KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam Syarikat Islam, Indonesische Studie Club, Nahdlatul Wathan, Taswir al-Afkar, dan berbagai organisasi lainnya, hal ini sekali lagi ditegaskan oleh beliau sehari sebelum lahirnya NU. Setelah undangan pertemuan ulama untuk membicarakan Komite Hijaz pada 31 Januari 1926 selesai diedarkan, Kiai Abdul Halim bertanya kepada Kiai Wahab, apakah rencana pembentukan organisasi ulama itu mengandung tujuan untuk menuntut kemerdekaan? Kiai Wahab menjawab dengan penuh isyarat: “Tentu, itu syarat nomor satu. Umat Islam menuju ke jalan itu. Umat Islam tidak leluasa sebelum Negara kita merdeka.”[5]
Kiai Abdul Halim ragu dengan tujuan tersebut, sebab pembentukan perkumpulan ulama saja baru pada tahap pengiriman undangan. Ia bertanya: “Apakah usaha semacam ini bisa menuntut kemerdekaan?” Kiai Wahab langsung menyalakan api rokoknya sambil berkata: “Ini bisa menghancurkan bangunan perang. Kita jangan putus asa. Kita harus yakin tercapai negeri merdeka.”[6]
Dengan demikian, lahirnya NU juga didorong oleh semangat membangun nasionalisme. Membangun nasionalisme pada waktu itu sama halnya dengan membela tanah air, membela tuntutan rakyat untuk merdeka.[7]
B. Sikap Kemasyarakatan NU
Sikap kemasyarakatan NU telah dirumuskan dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo, No. 02/MNU-27/1984 tentang Khitthah NU. Namun, untuk memahaminya perlu dipahami terlebih dahulu Dasar-Dasar Faham Keagamaan NU, yaitu:[8] 1. Nahdlatul Ulama mendasarkan faham keagamaan kepada sumber ajaran agama Islam: al-Qur`an, as-Sunnah,al-Ijma’,dan al-Qiyas.
2. Dalam memahami, menafsirkan Islam dari sumber-sumbernya di atas, Nahdlatul Ulama mengikuti faham Ahlussunnah wal Jama’ah dan menggunakan jalan pendekatan (al-Madzhab): a) di bidang aqidah, Nahdlatul Ulama mengikuti Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipelopori oleh Imam Abul Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi; b) di bidang fiqh, Nahdlatul Ulama mengikuti jalan pendekatan (al-madzhab) salah satu dari madzhab Abu Hanifah an-Nu’man, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hanbal; dan c) di bidang tasawuf, mengikuti antara lain Imam al-Junaid al-Baghdadi, dan Imam al-Ghazali serta imam-imam yang lain.
Nahdlatul Ulama mengikuti pendirian, bahwa Islam adalah agama yang fitri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh Nahdlatul Ulama bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi milik serta ciri-ciri suatu kelompok manusia, seperti suku maupun bangsa, dan tidak bertujuan menghapus nilai-nilai tersebut.
Dasar-dasar pendirian keagamaan NU ini menumbuhkan sikap kemasyarakatan NU yang bercirikan:[9] 1. Sikap Tawassuthdan I’tidal
Sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah kehidupan bersama. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf (ekstrim).
2. Sikap Tasamuh
Sikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’ atau menjadi masalah khilafiyah, serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan.
3. Sikap Tawazun
Sikap seimbang dalam berkhidmah. Menyerasikan khidmah kepada Allah SWT, khidmah kepada sesama manusia serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kepentingan masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.
4. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan baik, berguna, dan bermanfaat bagi kehidupan bersama; serta menolak dan mencegah semua hal yang dapat menjerumuskan dan merendahkan nilai-nilai kehidupan.
Dalam tataran praktisnya dasar-dasar keagamaan dan sikap kemasyarakatan itu membentuk perilaku warga Nahdlatul Ulama, baik dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi yang:[10]
1. Menjunjung tinggi nilai-nilai maupun norma-norma ajaran Islam.
2. Mendahulukan kepentingan bersama daripada kepentingan pribadi.
3. Menjunjung tinggi sifat keikhlasan dan berkhidmah serta berjuang.
4. Menjunjung tinggi persaudaraan (al-ukhuwwah), persatuan (al-ittihad), serta kasih mengasihi.
5. Meluhurkan kemuliaan moral (al-akhlaq al-karimah), dan menjunjung tinggi kejujuran dalam berfikir, bersikap, dan bertindak.
6. Menjunjung tinggi kesetiaan (loyalitas) kepada bangsa dan negara.
7. Menjunjung tinggi nilai amal, kerja dan prestasi sebagai bagian dari ibadah kepada Allah Swt.
8. Menjunjung tinggi ilmu-ilmu pengetahuan serta ahli-ahlinya.
9. Selalu siap untuk menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa kemaslahatan bagi manusia.
10. Menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu, dan mempercepat perkembangan masyarakatnya.
11. Menjunjung tinggi kebersamaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara.
C. Pancasila dalam Perspektif NU
Mempertentangkan Pancasila dan Islam memang terasa lebih mudah daripada memahami keduanya secara proporsional. Namun demikian, NU telah menegaskan pandangannya yang jelas dan jernih, yang tercantum dalam Deklarasi Hubungan Pancasila dan Islam, sebagai hasil keputusan Munas Alim Ulama Nahdlatul Ulama tahun 1983 di Situbondo, sebagai berikut:[11] 1. Pancasila sebagai dasar dan falsafah negara Republik Indonesia adalah prinsip fundamental namun bukan agama, tidak dapat menggantikan agama, dan tidak dipergunakan untuk menggantikan kedudukan agama.
2. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar negara menurut pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang menjiwai sila-sila yang lain mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.
3. Bagi Nahdlatul Ulama, Islam adalah aqidah dan syari’ah meliputi aspek hubungan manusia dengan Allah dan hubungan antar manusia.
4. Penerimaan dan pengamalan Pancasila merupakan perwujudan dan upaya umat Islam Indonesia untuk menjalankan kewajiban agamanya.
5. Sebagai konsekuensi dari sikap tersebut di atas, Nahdlatul Ulama berkewajiban mengamankan pengertian yang benar tentang Pancasila dan pengamalannya yang murni dan konsekuen oleh semua pihak.
Merujuk pernyataan KH. Achmad Siddiq, Peletak Dasar  Khitthah NU:[12] “Nahdlatul Ulama menerima Pancasila menurut bunyi dan makna yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar 1945 (bil lafdhi wal ma’nal murad), dengan rasa tanggung jawab dan tawakkal kepada Allah.”[13]
D. NKRI dalam Perspektif NU
Demokrasi di era reformasi telah membuka seluas-luasnya pintu kebebasan. Bahkan kebebesan yang menjurus pada tindakan makar terhadap negara pun leluasa bergerak.[14] Namun bagi NU, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) merupakan upaya final dari perjuangan seluruh penduduk Indonesia–termasuk umat Islam di dalamnya– dalam mendirikan negara.[15] NKRI adalah negara yang sah menurut hukum Islam, yang menjadi wadah berkiprah melaksanakan dakwah yang akomodatif dan selektif, serta bertaqwa sesempurna mungkin, tidak usah mencari atau membuat negara yang baru.[16] Bahkan merujuk Resolusi Jihad 22 Oktober 1945, mempertahankan dan menegakkan NKRI menurut hukum Agama Islam adalah wajib, termasuk sebagai satu kewajiban bagi tiap-tiap muslim, dan jihad fi sabilillah.[17]  Karena itu, NU mempunyai tanggung jawab terhadap kehidupan kebangsaan dan kenegaraan, baik dahulu, sekarang, maupun masa mendatang.
Terkait tanggung jawab tersebut, melalui Muktamar ke-29 di Cipasung Tasikmalaya pada 1 Rajab 1415 H/ 4 Desember 1994 M, NU mengeluarkan Keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama No. 02/MNU-29/1994 tentang Pengesahan Hasil Sidang Komisi Ahkam/Masail Diniyah, yang di antaranya terkait dengan Pandangan dan Tanggung Jawab NU Terhadap Kehidupan Kebangsaan dan Kenegaraan, yang mana di antara isinya adalah sebagaimana berikut:[18]
“IV. WAWASAN KEBANGSAAN DAN KENEGARAAN DALAM PANDANGAN NAHDLATUL ULAMA
1. Nahdlatul Ulama menyadari bahwa kehidupan berbangsa dan bernegara -di mana sekelompok orang yang oleh karena berada di wilayah geografis tertentu dan memiliki kesamaan, kemudian mengikatkan diri dalam satu sistem dan tatanan kehidupan merupakan “realitas kehidupan” yang diyakini merupakan bagian dari kecenderungan dan kebutuhan yang fitri dan manusiawi. Kehidupan berbangsa dan bernegara adalah perwujudan universalitas Islam yang akan menjadi sarana bagi upaya memakmurkan bumi Allah dan melaksanakan amanatNya sejalan dengan tabiat atau budaya yang dimiliki bangsa dan wilayah itu.
2. Kehidupan berbangsa dan bernegara seyogyanya merupakan langkah menuju pengembangan tanggung jawab kekhilafahan yang lebih besar, yang menyangkut “kehidupan bersama” seluruh manusia dalam rangka melaksanakan amanat Allah, mengupayakan keadilan dan kesejahteraan manusia, lahir dan batin, di dunia dan di akhirat.
3. Dalam kaitan itu, kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah dibangun atas dasar prinsip ketuhanan, kedaulatan, keadilan, persamaan dan musyawarah. Dengan demikian maka pemerintah (umara’) dan ulama -sebagai pengemban amanat kekhilafahan- serta rakyat adalah satu kesatuan yang secara bersama-sama bertanggung jawab dalam mewujudkan tata kehidupan bersama atas dasar prinsip-prinsip tersebut.
4. Umara’ dan ulama dalam konteks di atas, merupakan pengemban tugas khilafah dalam arti menjadi pengemban amanat Allah dalam memelihara dan melaksanakan amanatNya dan dalam membimbing masyarakat sebagai upaya memperoleh kesejahteraan dan kebahagiaan hidup yang hakiki. Dalam kedudukan seperti itu, pemerintah dan ulama merupakan ulil amri yang harus ditaati dan diikuti oleh segenap warga masyarakat. Sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya) dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang Demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. al-Nisa’: 59)
VII.  TANGGUNG JAWAB NAHDLATUL ULAMA TERHADAP KEHIDUPAN BERBANGSA DI MASA MENDATANG
1. Umat Islam Indonesia dan Nahdlatul Ulama, sejak semula memandang Indonesia sebagai “kawasan amal dan dakwah”. Indonesia adalah bagian dari bumi Allah, dan (karenanya) merupakan lahan dari ajaran Islam yang universal itu (Kaffatan linnas dan Rahmatan lil ‘alamin).
2. Indonesia dalam berbagai kondisinya, adalah rahmat yang sangat besar dari Allah Swt., yang wajib disyukuri seluhur-luhurnya, dengan melestarikannya, mengembangkannya dan membangunnya sepanjang zaman. Segala kekurangan dan kelemahannya diperbaiki, dan segala kebaikannya ditingkatkan dan disempurnakan untuk mencapai “Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur”, negara adil dan makmur di bawah maghfirah (ampunan) Allah Swt.
3. Dalam menyongsong masa depan, Nahdlatul Ulama bertekad untuk selalu berperan besar dalam meningkatkan kualitas umat, baik secara perorangan maupun secara kelompok. Dengan itulah umat Islam mampu memenuhi peran dan tanggung jawab sebagai mayoritas bangsa, sebagai khalifah Allah di bumi dan sekaligus sebagai hamba yang harus selalu mengabdi dan beribadah kepadaNya. Untuk itu, tugas Nahdlatul
4. Ulama pada masa kini dan masa mendatang adalah: a) Sebagai “kekuatan pembimbing spiritual dan moral umat dan bangsa ini”, dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara -politik, ekonomi, sosial, budaya dan iptek- untuk mencapai kehidupan yang maslahat, sejahtera dan bahagia, lahir dan batin, dunia dan akhirat. b) Berusaha akan dan terus secara konsisten menjadi “Jam’iyah diniyah/ organisasi keagamaan” yang bertujuan untuk ikut membangun dan mengembangkan insan dan masyarakat Indonesia yang bertakwa kepada Allah Swt., cerdas, terampil, adil, berakhlak mulia, tenteram dan sejahtera. c) Berperan aktif memeperjuangkan pemerataan sarana perikehidupan yang lebih sempurna demi mewujudkan keadilan sosial yang diridhai Allah Swt. d) Menjadikan warga Nahdlatul Ulama dan seluruh warga bangsa Indonesia sebagai warga negara yang senantiasa menyadari tanggung jawabnya dalam membangun Indonesia secara utuh, menegakkan keadilan dan kebenaran, memelihara kemanusiaan dan kejujuran serta melaksanakan amar ma’ruf nahi munkar. e) Menjadikan Indonesia sebagai negara yang merdeka, berdaulat, mandiri, terbebas dari penjajahan dan penganiayaan oleh siapapun dalam bentuk apapun, sehingga nilai kebenaran, keadilan dan kemanusiaan, serta ajaran Islam yang lain, dapat dimasyarakatkan dan disatukan dengan dan dalam kehidupan bangsa Indonesia. Indonesia adalah wilayah atau bagian dari bumi Allah, yang menjadi tempat kaum muslimin menghambakan dirinya kepada Allah Swt., dengan penuh ketenangan dan keleluasaan, dalam seluruh aspek kehidupan.”
Demikian sekilas pengetahuan tentang sejarah NU, sikap kemasyarakatan dan pandangannya terhadap Pancasila dan NKRI. Diharap dengannya kaum muslimin secara luas dapat memperkokoh niat untuk masuk dan berkhidmah di dalamnya, sebagai implementasi praktis dari khidmat terhadap agama, bangsa dan negara.
Semoga  Ahli Nahdlah semakin yakin, Nahdlatul Ulama sebagai jam’iyah yang penuh berkah akan mengantarkannya untuk meraih kesuksesan dunia dan akhirat, sebagaimana seruan as-Sayyid Ahmad bin Abdullah as-Saqaf–rahimahullah–yang termaktub dalam Muqaddimah al-Qanun al-Asasi li Jam’iyah Nahdlatul Ulama:

إِنَّهَا الرَّابِطَةِ قَدْ سَطَعَتْ بَشَائِرُهَا، وَاجْتَمَعَتْ دَوَائِرُهَا وَاسْتَقَمَتْ عَمَائِرُهَا. فَأَيْنَ تَذْهَبُونَ عَنْهَا، أَيُّهَا الْمُعْرِضُونَ؟ كُونُوا مَعَ السَّابِقِينَ، أَوْ لَا، فَمِنَ اللَّاحِقِينَ. وَإِيَّاكُم مِّنَ الْخَالِفِينَ، فَيُنَادِيكُمْ لِسَانُ التَّقْرِيعِ بِقَوَارِعِ: رَضُوا بِأَنْ يَكُونُوا مَعَ الْخَوَالِفِ وَطُبِعَ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَهُمْ لَا يَفْقَهُونَ [التوبة  87] [19]

“Sungguh Nahdlatul Ulama adalah perhimpunan yang telah menampakkan tanda-tanda menggembirakan, daerah-daerahnya menyatu, bangunan-bangunannya telah berdiri tegak. Maka kemana kamu akan pergi darinya, wahai orang yang berpaling? Jadilah kalian bersama generasi awalnya. Bila tidak, maka jadilah generasi yang menyusulnya. Jangan sampai kalian menjadi golongan yang tertinggal (tidak memasukinya), sehingga suara penggoncang akan menggoncang-goncangkan dengan perkataan: “Kaum munafik rela tinggal (tidak berjihad) bersama perempuan-perempuan yang tinggal di rumah, dan hati mereka dibutakan, maka mereka tidak memahami kebaikan.”


[1] Wakil Sekretaris PW LBM NU Jawa Timur dan Tim Aswaja NU Center PWNU Jawa Timur. Artikel juga pernah dimuat di website: aswajamuda.com 
[2] Muhammad Hasyim Asy’ari, Risalah Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah (Jombang: Maktabah at-Turats al-Islami, 1418 H), Cet. I, 9.
[3] Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU (Ttp.: PT. Duta Aksara Mulia, 2010), cet. III, 3-4.
[4] Statuen Perkoempoelan Nahdlotoel ‘Oelama, (1926: pasal 2 dan 3).
[5] Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan NU, 36-37.
[6] Ibid., 37.
[7] Ibid.
[8] Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran; Refleksi 65 Th. Ikut NU (Surabaya: Khalista, 2007), cet. IV, 25-26.
[9] Ibid., 26-27.
[10] Ibid., 27.
[11] LTN PBNU, Ahkamul Fuqoha, Solusi Problematika Hukum Islam; Keputusan Muktamar Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (Surabaya: Khalista, 2011), cet. I, 757.
[12] Soeleiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU; Sejarah, Istilah, Amaliah Uswah (Surabaya: Khalista, 2010), cet. III, I/176.
[13] Choirul Anam, Pemikiran K.H. Achmad Siddiq tentang: Aqidah, Syari’ah dan Tasawuf, Khitthah NU 1926, Hubungan Agama dan Pancasila, Negara Kesatuan RI Bentuk Final, Watak Sosial Ahlussunnah, Seni dan Agama (Jakarta: PT. Duta Aksara Mulia, 2010), cet. II, 71.
[14] An-Nadwah al-‘Alamiyah li asy-Syabab al-Islami, al-Mausu’ah al-Muyassarah fi al-Ayan wa al-Madzahib, wa al-Ahzab al-Mu’ashirah (ttp.: Dar an-Nadwah al-‘Alamiyah, tth.), bab al-Harakah wa al-Jama’ah al-Islamiyah. CD al-Maktabah asy-Syamilah, al-Ishdar ats-Tsani, vol. 2.11.
[15] Anam, Pemikiran K.H. Achmad Siddiq, IX .
[16] Ibid., 83-83.
[17] Arif Hanafi A.H., Narasi Resolusi Jihad, 7-9.
[18] LTN PBNU, Ahkamul Fuqoha, 746-758.
[19] Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, 11, dan Muhammad Hasyim Asy’ari, at-Tibyan fi an-Nahyi ‘an Muqatha’ah al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan (Jombang: Maktabah at-Turats al-Islami, 1418 H), 26.
Ilustrasi: www.pcnunisel.com

Sejarah Di Balik Lahirnya Pancasila

Perjuangan memerdekakan Indonesia dari kolonialiasme telah melalui tahapan dan usaha yang panjang tetapi matang. Selain perjuangan fisik, bangsa Indonesia secara gigih mampu membangun pondasi kemerdekaan dengan merumuskan dasar dan ideologi negara melalui persiapan-persiapan yang dilakukan oleh para tokoh bangsa dengan wadah BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada Maret 1945 dan PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada Agustus 1945.

Sejarah mencatat, ketika Jepang semakin terdesak dalam Perang Dunia II, Pemerintah Pendudukan Bala Tentara Jepang di Jawa melalui Saiko Syikikan Kumakici Harada mengumumkan secara resmi berdirinya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 1 Maret 1945 yang berjumlah 69 anggota. KRT Radjiman Wedyodiningrat (seorang tokoh Budi Utomo) ditunjuk sebagai Ketua. Walaupun badan ini dibentuk oleh Jepang, bagi para pemimpin perjuangan yang duduk di dalamnya, badan ini diarahkan untuk kepentingan kehidupan bangsa.

BPUPKI menggelar dua kali sidang. Sidang pertama dibuka pada tanggal 29 Mei-1 Juni 1945 di gedung Cuo Sangi In dan 10-16 Juli 1945. Sidang pertama menetapkan Dasar Negara Pancasila dan sidang kedua menetapkan rancangan UUD 1945. Dalam sidang pertama, tepatnya pada tanggal 29 Mei 1945, Mohamad Yamin mengucapkan pidato yang berisi tentang asas-asas yang diperlukan sebagai dasar negara. Pada sidang tanggal 31 Mei, Soepomo juga mengungkapkan uraian tentang dasar-dasar negara. Akhirnya pada tanggal 1 Juni 1945, Soekarno secara gagah menyodorkan 5 poin yang diusulkan menjadi dasar negara. Pada saat itu, ia jugalah yang pertama kali menyebut “Pancasila” untuk 5 dasar yang diajukannya itu.

Persiapan yang dilakukan oleh para tokoh bangsa termasuk salah satu perumus Pancasila KH Abdul Wahid Hasyim dari kalangan tokoh agama tidak lantas membuat mereka optimis dalam menyiapkan kemerdekaan. Hal ini diungkapkan oleh KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dalam salah satu kolomnya berjudul Kemerdekaan: Suatu Refleksi (Aula, 1991: 41).

Dalam tulisan tersebut, Gus Dur menjelaskan dalam konteks usaha susah payah para tokoh bangsa dalam menyiapkan kemerdekaan. Mantan Presiden ke-4 RI ini mengatakan bahwa pada sidang lanjutan tanggal 1 Juni 1945 para pemimpin rakyat peserta sidang kebanyakan masih menyangsikan kemampuan bangsa Indonesia untuk merdeka. Meskipun demikian, dalam kesangsian sikap itu, justru dimanfaatkan oleh para tokoh bangsa sebagai energi positif untuk dapat merumuskan dasar negara. Artinya, kesangsian yang timbul bukan semata dari semangat perjuangan, tetapi dari pergolakan politik yang masih berkecamuk saat itu.

Namun demikian, Gus Dur menegaskan akhirnya para pemimpin rakyat itu melalui perjuangan jiwa, raga, dan pikiran berhasil memerdekakan Indonesia dua bulan kemudian (17 Agustus 1945). Dalam konteks ini, Gus Dur ingin menyampaikan bahwa esensi kemerdekaan bukan hanya lepas dari penjajahan, tetapi juga terbangun persamaan hak (equality) di antara seluruh bangsa Indonesia yang majemuk. Secara tegas, Gus Dur mengatakan bahwa musuh kemerdekaan bukanlah terutama kekuasaan masyarakat dan negara, melainkan kesewenang-wenangan dalam penggunaan kekuasaan itu.

Peran strategis KH Wahid Hasyim dalam perumusan Pancasila

Jika balik lagi memperhatikan proses penyusunan dasar negara berupa Pancasila dan UUD 1945, apa yang dijelaskan oleh Gus Dur, itulah misi yang dibawa oleh para pemimpin rakyat agar dasar negara merupakan pondasi kokoh yang mengakomodasi kemerdekaan seluruh anak bangsa, bukan hanya Islam yang merupakan umat mayoritas. Seperti diketahui bahwa Tim 9 (sembilan) perumus dasar negara yang terdiri dari Soekarno, Muh. Hatta, A.A. Maramis, KH A. Wachid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, Abikusno Tjokrosujoso, H. Agus Salim, Ahmad Subardjo dan Muh. Yamin, merumuskan salah satu bunyi Piagam Jakarta yaitu: “Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan Syari'at Islam Bagi Pemeluk-pemeluknya”.

Sebelum Pembukaan/Muqaddimah (Preambule) disahkan, pada tanggal 17 Agustus 1945 Mohammad Hatta mengutarakan aspirasi dari rakyat Indonesia bagian Timur yang mengancam memisahkan diri dari Indonesia jika poin “Ketuhanan” tidak diubah esensinya. Akhirnya setelah berdiskusi dengan para tokoh agama di antaranya Ki Bagus Hadikusumo, KH. Wahid Hasyim, dan Teuku Muh. Hasan, ditetapkanlah bunyi poin pertama Piagam Jakarta yang selanjutnya disebut Pancasila itu dengan bunyi: “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Tokoh ulama yang berperan menegaskan konsep Ketuhanan yang akomodatif itu adalah KH Wahid Hasyim, ulama muda NU putra KH Hasyim Asy’ari yang juga tak lain ayah Gus Dur. Menurut Gus Wahid saat itu, “Ketuhanan Yang Esa” merupakan konsep tauhid dalam Islam. Sehingga tidak ada alasan bagi umat Islam untuk menolak konsep tersebut dalam Pancasila. Artinya, dengan konsep tersebut, umat Islam mempunyai hak menjalankan keyakinan agamanya tanpa mendiskriminasi keyakinan agama lain. Di titik inilah, menjalankan Pancasila sama artinya mempraktikan Syariat Islam dalam konsep hidup berbangsa dan bernegara. Sehingga tidak ada sikap intoleransi kehidupan berbangsa atas nama suku, agama, dan lain-lain.

Pancasila yang akomodatif dalam konteks sila Ketuhanan tersebut mewujudkan tatanan negara yang unik dalam aspek hubungan agama dan negara. Dalam arti, negara Indonesia bukanlah negara sekuler dan bukan pula negara Islam, melainkan negara yang berupaya mengembangkan kehidupan beragama dan keagamaan (Einar Martahan Sitompul, 2010: 91). Jika saat ini ada sebagian kelompok Islam yang menolak Pancasila, bisa dikatakan dengan tegas bahwa mereka tidak ikut berjuang merumuskan berdirinya pondasi dan dasar negara ini. 

Peran Kiai Wahid Hasyim bukan hanya mampu menjabarkan Pancasila secara teologis dan filosofis terhadap rumusan awal yang diajukan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945, tetapi juga menegaskan bahwa umat Islam Indonesia sebagai mayoritas menunjukkan sikap inklusivitasnya terhadap seluruh bangsa Indonesia yang majemuk sehingga Pancasila merupakan dasar negara yang merepresentasikan seluruh bangsa Indonesia. 

Menurut salah satu Sejarawan NU, Abdul Mun’im DZ (2016), tidak bisa dipungkiri bahwa dalam menjabarkan Pancasila, Kiai Wahid berangkat dari tradisi dan keilmuan pesantren, sehingga bisa dikatakan bahwa Pancasila merupakan kristalisasi ajaran Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Di titik inilah menurut Mun’im, NU dan seluruh bangsa Indonesia bukan hanya wajib mengamalkan, tetapi juga wajib mengamankan Pancasila.

(Fathoni Ahmad)